A. Sejarah dan Profil Suku Banjar
Suku bangsa Banjar diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,-setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan-terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala). Orang Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus, orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar (Kuala) mendiami sekitar Banjarmasin (dan Martapura). Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya adalah bahasa Melayu-sama halnya ketika berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya-, yang di dalamnya terdapat banyak kosa kata asal Dayak dan asal Jawa. Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu-sebelum dihapuskan pada tahun 1860-, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman, terakhir di Martapura, nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.
Suku
Banjar (bahasa banjar: Urang Banjar / اورڠ
بنجر) adalah suku bangsa yang menempati wilayah Kalimantan
Selatan, serta sebagian Kalimantan
Tengah dan sebagian Kalimantan Timur. Populasi Suku Banjar dengan jumlah
besar juga dapat ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Utara dan
Semenanjung Malaysia karena migrasi orang Banjar pada abad ke-19
ke Kepulauan Melayu.
Berdasarkan sensus penduduk 2010 orang
Banjar berjumlah 4,1 juta jiwa. Sekitar 2,7 juta orang Banjar tinggal di
Kalimantan Selatan dengan hampir separuh orang Banjar lainnya berada di
perantauan.
Menurut hikayat Banjar, dahulu kala penduduk pribumi Kalimantan Selatan
belum terikat dengan satu kekuatan politik dan masing-masing puak masih menyebut
dirinya berdasarkan asal Daerah Aliran Sungai misalnya orang batang Alai, orang batang Amandit, orang batang Tabalong, orang batang Balangan, orang batang Labuan Amas, dan sebagainya. Sebuah entitas politik yang bernama
Negara Dipa terbentuk yang mempersatukan puak-puak yang mendiami semua daerah
aliran sungai tersebut. Negara Dipa kemudian digantikan oleh Negara Daha. Semua
penduduk Kalsel saat itu merupakan warga Kerajaan Negara Daha, sampai ketika
seorang Pangeran dari Negara Daha mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai
Barito yaitu Kesultanan Banjar. Dari sanalah nama Banjar berasal, yaitu dari nama kampung Banjar yang terletak di muara sungai Kuin, di tepi kanan sungai Barito. Kampung ini dipimpin
oleh seorang Patih (Kepala Kampung) yang bernama Patih Masih. Gabungan nama kampung Banjar dan nama Patihnya
tersebut sehingga kampung ini lebih dikenal dengan nama panjangnya Kampung Banjar Masih. Kelak kampung ini berkembang menjadi Kerajaan Banjar Masih dengan raja pertama Sultan Suriansyah, yang merupakan keponakan dari penguasa Kerajaan Hindu Negara Daha yang
terletak di pedalaman.
Kerajaan Banjar Masih merupakan kerajaan baru yang
muncul untuk memisahkan diri dari Negara Daha. Kerajaan Banjar Masih dengan
rakyatnya yang dikenal sebagai orang Banjar Masih, merupakan entitas politik yang dibenturkan dengan orang Negara Daha (atau disebut juga orang Banjar Lama/Proto Banjar) yang merupakan warga negara Kerajaan Negara Daha
yang menjadi rivalnya. Kerajaan Negara Daha (atau disebut juga wilayah batang banyu) akhirnya berhasil ditaklukan dan wilayahnya dimasukan ke dalam Kerajaan
Banjar Masih. Kekuatan Kerajaan Banjar Masih didukung penuh oleh Kesultanan
Demak yang memberi persyaratan bahwa raja dan rakyat Banjar Masih (beserta
bekas Negara Daha) harus menerima agama baru yaitu agama Islam, yang kini
menjadi identitas orang Banjar sebagai etnoreligius/kultur grup Muslim yang
membedakannya dari masyarakat sekitarnya pada masa itu.
Jadi pada pra-Islam, penduduk kampung Banjar Masih dan
kampung sekitarnya yang ada di hilir sungai Barito tergolong sebagai
warganegara Kerajaan Negara Daha atau Orang Negara Daha. Namun belakangan nama Banjar lebih populer sehingga
dipakai untuk menamakan penduduk pada kedua wilayah tersebut, walaupun pada
kenyataan kebudayaan di wilayah Batang Banyu merupakan kebudayaan Banjar yang
lebih klasik. Penduduk Banjar dan Negara Daha sebenarnya menggunakan bahasa
yang sama namun berbeda dialek. Peperangan antara Banjar melawan Negara Daha
yang dimenangkan oleh Banjar ini hampir mirip dengan peperangan antara Demak
melawan Majapahit yang dimenangkan oleh Demak, namun pebedaannya adalah Banjar
kemudian dipakai sebagai nama etnik dan sedangkan Demak bukan merupakan nama
etnik. Di daerah asalnya, sekarang ini suku Banjar terbagi menjadi tiga
kelompok menurut lokasi pemukimannya, berturut-turut kelompok pertama yaitu kelompok orang Banjar Masih yang kini lebih dikenal sebagai orang Banjar Kuala karena secara
geografis mendiami bagian kuala/hilir, sedangkan kelompok kedua yaitu bekas penduduk
kerajaan Hindu Negara Daha (Banjar klasik) dikenal sebagai Banjar Batang Banyu,
sedangkan kelompok ketiga dikenal sebagai Banjar Pahuluan yang hidup secara
harmonis dengan tempat tinggal yang bersisian langsung dengan beberapa sub suku
Dayak yang masih menganut agama Kaharingan. Di wilayah Pahuluan bagian utara
masih dapat ditemukan kantong-kantong permukiman sub-sub Dayak Maanyan seperti
Dayak Warukin dan Dayak Balangan. Sedangkan di wilayah Pahuluan bagian tengah
dan selatan, ditemukan sub-sub Dayak Meratus (Banjar arkhais) seperti Dayak
Pitap, Dayak Labuhan dan lain-lain.
1. Upacara Adat Aruh Baharin
Lima balian (tokoh adat) yang memimpin upacara ritual
,berlari kecil sambil membunyikan gelang hiang (gelang terbuat dari tembaga
kuningan) mengelilingi salah satu tempat pemujaan sambil membaca mantra, Dihadiri
warga Dayak sekitarnya. Prosesi adat ini dikenal dengan Aruh Baharin, pesta syukuran yang dilakukan
gabungan keluarga besar yang berhasil panen padi di pahumaan
(perladangan) . Upacara Adat Aruh Baharin, Pesta yang berlangsung tujuh hari
itu terasa sakral karena para balian yang seluruhnya delapan orang itu setiap
malam menggelar prosesi ritual pemanggilan roh leluhur untuk ikut hadir dalam
pesta tersebut dan menikmati sesaji yang dipersembahkan.
Upacara Adat
Aruh Baharin, Prosesi berlangsung pada empat tempat pemujaan di balai yang
dibangun sekitar 10 meter x 10 meter. Prosesi puncak dari ritual ini terjadi
pada malam ketiga hingga keenam di mana para balian melakukan proses batandik
(menari) mengelilingi tempat pemujaan. Para balian seperti kerasukan saat
batandik terus berlangsung hingga larut malam dengan diiringi bunyi gamelan dan
gong.
Untuk ritual
pembuka, disebut Balai Tumarang di mana pemanggilan roh sejumlah raja, termasuk
beberapa raja Jawa, yang pernah memiliki kekuasaan hingga ke daerah mereka. Selanjutnya,
melakukan ritual Sampan Dulang atau Kelong. Ritual ini memanggil leluhur Dayak,
yakni Balian Jaya yang dikenal dengan sebutan Nini Uri. Berikutnya, Hyang
Lembang, ini proses ritual terkait dengan raja- raja dari
Kerajaan Banjar masa lampau. Para balian itu kemudian juga melakukan ritual
penghormatan Ritual Dewata, yakni mengisahkan kembali Datu Mangku Raksa Jaya
bertapa sehingga mampu menembus alam dewa. Sedangkan menyangkut kejayaan para
raja Dayak yang mampu memimpin sembilan benua atau pulau dilakukan dalam
prosesi Hyang Dusun.
Pada
ritual-ritual tersebut, prosesi yang paling ditunggu warga adalah penyembelihan
kerbau. Kali ini ada 5 kerbau. Berbeda dengan permukiman Dayak lainnya yang
biasa hewan utama kurban atau sesaji pada ritual adat adalah babi, di desa ini
justru hadangan atau kerbau.
warga dan
anak-anak berebut mengambil sebagian darah hewan itu kemudian memoleskannya ke
masing-masing badan mereka karena percaya bisa membawa keselamatan. Daging
kerbau itu menjadi santapan utama dalam pesta padi tersebut.
“Baras hanyar (beras hasil panen) belum bisa dimakan sebelum dilakukan Aruh
Baharin. Ibaratnya, pesta ini kami bayar zakat seperti dalam Islam,” kata
Narang.
Sedangkan
sebagian daging dimasukkan ke dalam miniatur kapal naga dan rumah adat serta
beberapa ancak (tempat sesajian) yang diarak balian untuk disajikan kepada dewa
dan leluhur.
Menjelang akhir
ritual, para balian kembali memberkati semua sesaji yang isinya antara lain
ayam, ikan bakar, bermacam kue, batang tanaman, lemang, dan telur. Ada juga
penghitungan jumlah uang logam yang diberikan warga sebagai bentuk pembayaran
”pajak” kepada leluhur yang telah memberi mereka rezeki.
Selanjutnya,
semua anggota keluarga yang menyelenggarakan ritual tersebut diminta meludahi
beberapa batang tanaman yang diikat menjadi satu seraya dilakukan pemberkatan
oleh para balian. Ritual ini merupakan simbol membuang segala yang buruk dan
kesialan.
Akhirnya sesaji
dihanyutkan di Sungai Balangan yang melewati kampung itu. Bagi masyarakat
Dayak, ritual ini adalah ungkapan syukur dan harapan agar musim tanam berikut
panen padi berhasil baik. Lokasi terletak sekitar 250 kilometer utara Banjarmasin
,Desa Kapul, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan
Selatan. (Aruh Baharin, Pesta Padi Dayak Halong kompas.com)
2. Upacara Adat Maccera Tasi
Upacara Adat
Macceratasi merupakan upacara adat masyarakat nelayan tradisional di Kabupaten
Kota Baru, Kalimantan Selatan. Upacara ini sudah berlangsung sejak lama dan
terus dilakukan secara turun-temurun setiap setahun sekali. Beberapa waktu
lalu, upacara ini kembali digelar di Pantai Gedambaan atau disebut juga Pantai
Sarang Tiung. Prosesi utarna Macceratasi adalah penyembelihan kerbau, kambing,
dan ayam di pantai kemudian darahnya dialirkan ke laut dengan maksud memberikan
darah bagi kehidupan laut. Dengan pelaksanaan upacara adat ini, masyarakat yang
tinggal sekitar pantai dan sekitarnya, berharap mendapatkan rezeki yang
melimpah dari kehidupan laut.
Kerbau, kambing,
dan ayam dipotong. Darahnya dilarungkan ke laut. Itulah bagian utama dari
prosesi Upacara Adat Macceratasi. Kendati intinya hampir sama dengan upacara
laut yang biasa dilakukan masyarakat nelayan tradisional lainnya. Namun upacara
adat yang satu ini punya hiburan tersendiri.
Sebelum
Macceratasi dimulai terlebih dahulu diadakan upacara Tampung Tawar untuk
meminta berkah kepada Allah SWT. Sehari kemudian diadakan pelepasan perahu
Bagang dengan memuat beberapa sesembahan yang dilepas beramai-ramai oleh
nelayan bagang, baik dari Suku Bugis, Mandar maupun Banjar. Keseluruhan upacara
adat ini sekaligus melambangkan kerekatan kekeluargaan antarnelayan.
Untuk meramaikan
upacara adat ini, biasanya disuguhkan hiburan berupa kesenian hadrah, musik
tradisional, dan atraksi pencak silat. Usai pelepasan bagang, ditampilkan
atraksi meniti di atas tali yang biasa dilakukan oleh lelaki Suku Bajau.
Atraksi ini pun selalu dipertunjukkan bahkan dipertandingkan pada saat Upacara
Adat Salamatan Leut (Pesta Laut) sebagai pelengkap hiburan masyarakat.
3. Upacara Adat Babalian Tandik
Selain Upacara Adat Macceratasi, Kabupaten Kota Baru juga mempunyai upacara adat lainnya, seperti Upacara Adat Babalian Tandik, yakni kegiatan ritual yang dilakukan oleh Suku Dayak selama seminggu. Puncak acara dilakukan di depan mulut Goa dengan sesembahan pemotongan hewan qurban. Upacara ini diakhiri dengan Upacara Badudus atau penyiraman Air Dudus. Biasanya yang didudus (disiram) seluruh pengunjung yang hadir sehingga mereka basah semua.
Selain Upacara Adat Macceratasi, Kabupaten Kota Baru juga mempunyai upacara adat lainnya, seperti Upacara Adat Babalian Tandik, yakni kegiatan ritual yang dilakukan oleh Suku Dayak selama seminggu. Puncak acara dilakukan di depan mulut Goa dengan sesembahan pemotongan hewan qurban. Upacara ini diakhiri dengan Upacara Badudus atau penyiraman Air Dudus. Biasanya yang didudus (disiram) seluruh pengunjung yang hadir sehingga mereka basah semua.
4.
Upacara Adat Mallasuang Manu
Yakni upacara melepas sepasang ayam untuk diperebutkan kepada masyarakat
sebagai rasa syukur atas melimpahnya hasil laut di Kecamatan Pulau Laut
Selatan. Upacara ini dilakukan Suku Mandar yang mendominasi kecamatan tersebut,
setahun sekali tepatnya pada bulan Maret. Upacara ini berlangsung hampir
seminggu dengan beberapa kegiatan hiburan rakyat sehingga berlangsung meriah.
Upacara Adat
Macceratasi, biasanya diadakan menjelang perayaan tahun baru di Pantai
Gedambaan, Kabupaten Kota Baru. Mudah menjangkau kabupaten berjuluk Bumi
Saijaan ini. Dari Jakarta naik kapal terbang ke Bandara Syamsuddin Noor,
Banjarmasin. Keesokan paginya melanjutkan perjalanan udara dengan pesawat
Trigana Air ke Bandara Stagen, Kota Baru. Bisa juga naik Kapal Cepat Kirana
Jawa-Sulawesi-Kalimantan. Selanjutnya mencarter mobil travel ke lokasi upacara.
5.
Upacara Adat Mallasung Manu
Ritual khas kaum muda mudi suku Mandar yang berdomisili di Kecamatan Laut Selatan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Mallassung Manu adalah sebutan bagi ritual adat melepas beberapa pasang ayam jantan dan betina sebagai bentuk permohonan meminta jodoh kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pesta adat yang juga telah menjadi event wisata ini dilakukan secara turun temurun di Pulau Cinta, sebuah pulau kecil yang konon berbentuk hati dan berjarak sekitar dua mil dari Pulau Laut, pulau terbesar di perairan tenggara Kalimantan yang menjadi Ibu Kota Kabupaten Kotabaru. Pulau Cinta memiliki luas sekitar 500 m2 dan hanya terdiri dari batu-batu besar dan sejumlah pohon di dalamnya.
Ritual khas kaum muda mudi suku Mandar yang berdomisili di Kecamatan Laut Selatan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Mallassung Manu adalah sebutan bagi ritual adat melepas beberapa pasang ayam jantan dan betina sebagai bentuk permohonan meminta jodoh kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pesta adat yang juga telah menjadi event wisata ini dilakukan secara turun temurun di Pulau Cinta, sebuah pulau kecil yang konon berbentuk hati dan berjarak sekitar dua mil dari Pulau Laut, pulau terbesar di perairan tenggara Kalimantan yang menjadi Ibu Kota Kabupaten Kotabaru. Pulau Cinta memiliki luas sekitar 500 m2 dan hanya terdiri dari batu-batu besar dan sejumlah pohon di dalamnya.
Dalam pesta adat
yang unik ini, para peserta berangkat secara bersama-sama dari Pulau Laut
(Kotabaru) menuju Pulau Cinta dengan menggunakan perahu. Sesampainya di Pulau
Cinta, pesta adat melepas sepasang ayam jantan dan betina dilaksanakan dengan
disaksikan oleh ribuan penonton.
Keinginan agar
mudah mencari jodoh dapat melahirkan ekspresi budaya yang khas. Kekhasan itulah
yang dapat disaksikan dalam Pesta Adat Malassuang Manu. Ritual utama dalam
upacara ini, yaitu melepas ayam jantan dan betina, dilaksanakan di atas sebuah
batu besar yang bagian tengahnya terbelah sepanjang kira-kira 10 meter. Dari
atas batu itu, sepasang ayam tersebut dilemparkan sebagai tanda permohonan
kepada Tuhan supaya dimudahkan dalam mencari jodoh.
Usai melepas
sepasang ayam tersebut, para muda-mudi ini kemudian mengikatkan pita atau tali
rafia (yang di dalamnya telah diisi batu atau sapu tangan yang indah) di atas
dahan atau ranting pepohonan yang terdapat di Pulau Cinta. Hal ini sebagai
perlambang, apabila kelak memperoleh jodoh tidak akan terputus ikatan tali
perjodohannya sampai maut menjemput.
Kelak, pita atau
tali rafia tersebut akan diambil kembali bila permohonan untuk bertemu jodoh
telah terkabul. Pasangan yang telah berjodoh ini akan kembali ke Pulau Cinta
untuk mengambil pita atau tali rafia tersebut dengan menggunakan perahu klotok
yang dihias dengan kertas warna-warni. Makanan khas yang selalu menjadi
hidangan dalam ritual kedua ini adalah sanggar (semacam pisang goreng yang
terbuat dari pisang kepok yang dibalut dengan tepung beras dan gandum dengan
campuran gula dan garam), serta minuman berupa teh panas.
Pasangan ini
akan diiringi oleh sanak saudara untuk mengadakan selamatan. Usai memanjatkan
doa, mereka kemudian melepaskan pita atau tali rafia yang dulu diikatkan di
dahan atau ranting pohon untuk disimpan sebagai bukti bahwa keinginannya telah
terkabul. Selain itu, ritual kedua ini juga merupakan permohonan supaya dalam
kehidupan selanjutnya selalu dibimbing menjadi keluarga yang sejahtera.
Pesta adat yang
pelaksanaannya didukung oleh pemerintah daerah setempat ini juga dimeriahkan
oleh tari-tarian adat dan berbagai macam perlombaan, seperti voli, sepakbola,
dan lain-lain. Berbagai event lomba tersebut biasanya akan memperebutkan trophy
Bupati Kotabaru atau Gubernur Kalimantan Selatan. Biasanya Pesta
Mallasung Manu diselenggarakan pada bulan Maret—April.
Pesta adat
Mallassuang Manu diselenggarakan di Teluk Aru dan Pulau Cinta, Kecamatan Laut
Selatan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, Indonesia. Ibu Kota
Kabupaten Kotabaru terletak di ujung utara Pulau Laut. Dari Ibu Kota Kalimantan
Selatan, Banjarmasin, Kotabaru terletak sekitar 350 kilometer dengan kondisi
jalan yang kurang mulus. Wisatawan yang menggunakan bus, bus mini, atau mobil
carteran akan menghabiskan waktu sekitar 9—10 jam untuk sampai di pelabuhan
penyeberangan. Perjalanan darat ini akan dilanjutkan dengan menyeberangi laut
menggunakan kapal ferry menuju Pelabuhan Tanjung Serdang, Kotabaru. Dari
Pelabuhan ini, perjalanan darat menuju Kotabaru masih memerlukan waktu sekitar
1 jam dengan jarak sekitar 40 kilometer. Selain
perjalanan darat, jika memilih transportasi laut, wisatawan dapat pula
memanfaatkan penyeberangan dari Pelabuhan Batulicin (Kabupaten Tanah Bumbu)
menuju Pelabuhan Tanjung Serdang (Kotabaru). Pesawat udara,
transit terlebih di Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin (Kalimantan Selatan)
atau Bandara Sepinggan Balikpapan (Kalimantan Timur) sebelum menuju Bandara
Stagen Kotabaru
C. Mitologi Suku Banjar
Mitologi Suku Dayak Meratus (Suku Bukit)
menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama Banjar Pahuluan) dan Suku Bukit
merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh/Datung
Ayuh/Dayuhan/Sandayuhan yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Siwara/Bambang
Basiwara yang menurunkan suku Banjar. Dalam khasanah cerita prosa rakyat berbahasa Dayak
Meratus ditemukan legenda yang sifatnya mengakui atau bahkan melegalkan
keserumpunan genetika (saling berkerabat secara geneologis) antara orang Banjar
dengan orang Dayak Meratus. Dalam cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus
dimaksud terungkap bahwa nenek moyang orang Banjar yang bernama Bambang
Basiwara adalah adik dari nenek moyang orang Dayak Meratus yang bernama
Sandayuhan. Bambang Basiwara digambarkan sebagai adik yang berfisik lemah tapi
berotak cerdas. Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang berfisik
kuat dan jago berkelahi.
Sesuai dengan
statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-bakal orang Dayak Maratus, maka nama
Sandayuhan sangat populer di kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-tempat
di seantero pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya diceritakan berasal-usul
dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya adalah tebing batu
berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan berkepala
tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu kontak fisik yang sangat
menentukan.
Suku bangsa Banjar terbentuk dari suku-suku Bukit,
Maanyan, Lawangan dan Ngaju yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu yang
berkembang sejak zaman Sriwijaya dan kebudayaan Jawa pada zaman Majapahit,
dipersatukan oleh kerajaan yang beragama Buddha, Hindu dan terakhir Islam, dari
kerajaan Banjar, sehingga menumbuhkan suku bangsa Banjar yang berbahasa Banjar.
Suku bangsa Banjar terbagi menjadi tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar)
Batang Banyu, dan (Banjar) Kuala. Banjar Pahuluan pada asasnya adalalah
penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke
pegunungan Meratus, lalu Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara,
sedangkan orang Banjar Kuala mendiami sekitar BanjarMasin dan Martapura. Bahasa
yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang terbagi ke dalam dua
dialek besar yaitu Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Nama Banjar diperoleh karena
mereka dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860) adalah
warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama
ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di Martapura), nama tersebut
nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.
Sejak abad
ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatera dan
Malaysia, di Malaysia, suku
Banjar digolongkan sebagai bagiandari Bangsa Melayu.
Kesultanan
Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah seperti saat ini, kemudian pada abad ke-16 terpecah di sebelah barat menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma bin Sultan Mustain Billah
dan pada abad ke-17 di sebelah timur menjadi kerajaan
Tanah Bumbu yang
dipimpin Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah yang berkembang menjadi
beberapa daerah: Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau
Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel dan Tjingal.
Wilayah
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer orang
Banjar, selanjutnya dengan budaya maadam, orang Banjar merantau
hingga ke luar pulau misalnya ke Kepulauan Sulu, bahkan menjadi salah satu dari lima etnis yang
pembentuk Bangsa Sulug atau Tausug (yakni percampuran orang Buranun,
orang Tagimaha, orang Baklaya, orang Dampuan/Champa dan orang Banjar).
Hubungan antara Banjar dengan Kepulauan Sulu atau
Banjar Kulan terjalin ketika para pedagang Banjar mengantar seorang Puteri dari
Raja Banjar untuk menikah dengan penguasa suku Buranun (suku tertua di
Kepulauan Sulu). Salah satu
rombongan bangsa Suluk yang menghindari kolonial Spanyol dan mengungsi ke
Kesultanan Banjar adalah moyang dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Suku
Banjar juga memiliki hubungan historis suku Sasak di Kerajaan Selaparang, pulau
Lombok. Selain itu Suku Banjar juga terkait dengan suku Sumbawa di pulau
Sumbawa, yang merupakan gabungan dari lima suku yang menjadi akar masyarakat
Sumbawa masa kini, salah satunya suku Banjar.
bausungan adalah salah satu adat perkawinan suku banjar yang sudah mulai tidak dipakai
kuriding adalah salah satu alat musik tiup suku banjar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar