Senin, 30 Mei 2016

AGAMA LOKAL SUKU NAULU







Agama tradisional suku naulu
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Agama-Agama Lokal
Oleh
Mustika Diani Dewi    : 11140321000046
Mashlihatuz Zuhroh    : 11140321000078
M. Rian Sujud Taufik : 11140321000077
    
    
    

DAFTAR ISI








 

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar belakang

Suku Naulu merupakan suku bangsa yang berada di Provinsi Maluku, Indonesia. Lebih tepatnya mereka mendiami daerah pulau Seram, Maluku tengah. Suku ini memiliki ciri khas ikat kepala yang  berwarna merah yang digunakan oleh para lelaki dewasa, sedangkan para perempuan menggunakan selendang di pinggangnya.
Suku Naulu sebenarnya lebil fleksibel menerima modernisasi sebab suku ini telah mengenal pakaian, bahan bakar minyak dan sebagainya. Tetapi karena tradisi yang tak lazim yang Suku Naulu lakukan, orang-orang masih banyak menganggap Suku Naulu sebagai salah satu suku yang masih sangat primitif. Suku Naulu menggunakan bahasa Alifuru sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Jika mereka berinterakasi dengan orang lain, mereka lebih sering menggunakan bahasa tubuh. Namun, beberapa dari mereka bisa berbicara bahasa Indonesia yang patah-patah.
Untuk membahas lebih lanjut mengenai asal usul, ajaran kepercayaan, upacara keagamaan, adat dan etika suku Naulu, pemakalah akan mencoba memaparkan dengan jelas lewat  isi makalah dibawah ini.

1.2  Rumusan masalah

1.      Bagaimana sejarah dan asal-usul Suku Naulu ?
2.      Apa pokok ajaran kepercayaan Suku Naulu ?
3.      Apa upacara keagamaan Suku Naulu ?
4.      Bagaimana adat dan etika Suku Naulu ?
5.      Bagamana interaksi Kepercayaan Suku Naulu dengan agama-agama lain ?


1.3  Tujuan penulisan

1.      Untuk mengetahui sejarah dan asal-usul Suku Naulu.
2.      Untuk mengetahui pokok ajaran kepercayaan Suku Naulu.
3.      Untuk mengetahui upacara keagamaan Suku Naulu.
4.      Untuk mengetahui adat dan etika Suku Naulu.
5.      Untuk mengetahui interaksi kepercayaan Suku Naulu dengan agama-agama lain.





BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Sejarah Asal Usul Suku Naulu










Maluku adalah salah satu provinsi yang terdapat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di sana terdapat sebuah etnik yang bernama Naulu.
Stratifikasi sosial masyarakatnya pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yakni golongan pemimpin soa (kapitang), tokoh adat dan rakyat biasa. Golongan kapitang terdiri atas orang-orang yang secara genealogis masih keturunan pendiri soa. Golongan tokoh adat terdiri atas orang-orang yang masih keturunan tokoh adat. Sedangkan, golongan rakyat biasa adalah orang-orang yang secara genealogis bukan keturunan pendiri soa dan tokoh adat.
Suku Naulu sering disebut juga orang Naulu atau Nuahunai, artinya orang yang berdiam di hulu Sungai Nua yaitu daerah dari mana mereka berasal sebelum menempati daerah yang sekarang.[1] Suku Naulu terletak di wilayah Kecamatan Amhai, kampung Lama/Yahisiro dan Bonara. Naulu terdiri dari dua kata Nua yang berarti air, Ulu artinya kepala. Jadi Naulu artinya suku yang mendiami kepala air Nua/Sungai Nua. Penamaan suku Naulu dilatar belakangi oleh tempat tinggal nenek moyang mereka. Sungai Nua bersumber di gunung Manusela dan terbagi menjadi 2 bagian :
-          Nua Ulu yang bermuara ke Seram Uatar.
-          Nua Ulu yang bermuara ke Marakiri.
Asal muasal mereka bertempat tinggal di Weri Hulawano (Kepala air Nua) karena terjadi perselisihan antar klan. Akibat perselisihan itu para kepala suku bersepakat untuk pindah ke pantai. Yang menjadi masalah mereka kemudian, pantai mana yang cocok untuk menjadi tempat tinggal mereka yang baru? mereka juga mencari acuannya di mana matahari naik pada bagian mana matahari masuk. Masing-masing kepala suku berebutan tempat pada kedua bagian tersebut. Akibatnya, di antara mereka pun berselisih ladi gan mereka kembali lagi ke Pia dan Weno di Amtrino.
Sekian lamanya mereka tinggal di Pia dan  Weno, kemudian mereka melakukan hubungan dengan Raja Sepa. Raja Sepa tidak keberatan hidup berdampingan dengan Suku Naulu asal saja suku Naulu memenuhi persyaratan-persyaratan yang diajukan raja Sepa. Pesyaratannya yaitu :
1.      Kebiasaan adat suku Naulu yang suka memotong kepala mansia supaya dihilangkan dan diganti dengan kain merah (berang) dan piring tua serta tikar sebagai pembungkus orang meninggal.
2.      Baileu atau rumah adat yang biasanya dipakai untuk rapat-rapat supaya dipindahkan dari tepi pantai (tempat lama) ke tempat baru. Dan tiang Leewaka ditanggung oleh suku Naulu.
Sejak itu suku Naulu bertempat tinggal di Kampung Lama, yakni kurang lebih 25 km dari Sepa. Mulai saat itulah tidak ada lagi adat Suku Naulu yang suka memotong kepala manusia dan senantiasa bergotong royong jika Baeleu Sepu dibangun.[2]

 






Gambar Profile orang Naulu

2.2  Pokok Ajaran Kepercayaan Suku Naulu

a.       Konsepsi tentang Tuhan
Upu Kuanahatana atau Upu Allah taala suatu zat yang merupakan kepercayaan tertinggi bagi suku Naulu. Apa saja permohonan mereka langsung dimintakan kepada Allah taala.
Untuk melaksanakan pembacaan doa tersebut harus ada upacara adat terlebih dahulu, seperti makanan, sirih, pinang, tembakau, kapur dan beberapa jenis daun tertentu yang diletakkan di atas piring tua. Para tetua adat diundang dalam upacara tersebut, tetua adat diundang dalam upacara tersebut, tetua berdiri di tengah pintu sambil membaca kabata[3] atau sejenis dengan itu.
NamaUpu kuanahatana sering mereka pergunakan dalam sumpah. Jika mereka bersumpah, mereka menyebut: “eh Upu kuanahatana atau eh Upu Allah taala” sambil telunjuk mereka ke atas.
Kalaupun ada kepercayaan kepada arwah nenek moyang hal itu adalah bentuk penghargaan atas jasa-jasa mereka selama hidupnya. Tetapi kepercayaan utama mereka hanya kepada Upu Allah taala.
b.      Mite Penjadian[4]
Ada beberapa mite dalam proses kejadian alam ini. Pertama, Awalu (Upu kuanahatana) menjadikan Nunusaku. Nunusaku adalah suatu yang berpribadi. Dari Nunusaku  inilah menjelma seorang berpribadi yang berbentuk laki-laki dengan seorang wanita yang berasal dari kayangan (langit). Dari hubungan kedua lawan jenis ini lahirlah manusia-manusia, seperti Tala, Eti dan Sapalewa. Dengan izin Upu Kuanahatana darah yang mengalir dari kelahiran Tala, Eti dan Sapalewaa itu menjadi danau. Danau itu mengalir menjadi 3 sungai. Ketiga sungai itu adalah :
1.      Sungai yang mengalir ke utara bernama Sapalewa.
2.      Sungai yang mengalir ke selatan bernama Tala
3.      Sungai yang mengalir ke barat bernama Eti.
Dari sinilah manusia dan alam berkembang hingga saat ini.
Kedua,  Upu Kuanahatana menciptakan langit sebagai pribadi laki-laki (adam) dan bumi sebagai pribadi perempuan (hawa). Dari persentuhan kedua pribadi tersebut, lahirlah benda-benda alam yang lain. Setelah terjadi semua isi bumi, Upu Kuanahatana menurunkan Maatope dari langit. Maatope diturunkan dari langit dengan tali seperti benang sutera yng sangat halus, mengingat bumi dimana tempat turunnya Maatope ini masih cair. Berubah padat, dan akhirnya Maatope Maanawa yakni Maatope laki-laki. Setelah itu Upu Kuanahatana menciptakan Maatope Hihina (perempuan) dari langit. Langsung diturunkan ke bumi. Dari Maatope Maanawa dari Maatope Hihina inilah berkembang manusia.
Sebagai bukti bahwa Maatope/Upu Ama itu keluar dari Nunusaku ialah Kabata yang berbunyi “ He le te Nunusaku” intinya dari ungkapan kabata ini Maatope berasal dari Nunusaku.[5]

2.3  Upacara Keagamaan Suku Naulu

Suku ini sebenarnya memiliki dua tradisi yang aneh yaitu mengasingkan wanita yang sedang haid dan melahirkan, serta tradisi memenggal kepala manusia sebagai persembahan. Di setiap pemukiman masyarakat suku ini baik yang telah dimukimkan pihak pemerintah maupun yayasan pembinaan masyarakat terasing bahkan yang masih hidup mengembara di pedalaman Pulau Seram, kaum lelakinya membangun gubuk-gubuk kecil yang disebut gubuk Posuno.
Tradisi memotong kepala manusia yang mengerikan ini untungnya sudah hilang sejak awal 1900-an. Namun sempat muncul kembali pada tahun 2005 dua mayat tanpa kepala di Kecamatan Amahai Kabuaten Maluku Tengah. Usut punya usut dua orang yang malang itu dipenggal kepalanya untuk persembahan atau ritual tradisional suku Naulu.[6]








Masyarakat Suku Naulu menganggap bahwa dengan mempersembahkan kepala manusia, maka rumah-rumah adat mereka akan terbebas dari musibah.Selain itu, ada juga tradisi jika seorang raja Suku Naulu hendak mengambil seorang menantu laki-laki, calon menantu tersebut harus mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawin dan juga bukti kejantanannya.
Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain kepala yang nantinya diasapi adalah jantung, lidah, dan jari-jari. Sementara anggota tubuh yang tidak diambil dihanyutkan di aliran sungai Ruata, tidak jauh dari perkampungan suku Naulu dari komunitas Nuane.
Gubuk –gubuk ini dibangun sebagai tempat berlindung sementara yang aman bagi kaum wanita saat mereka menjalani masa haid maupun melahirkan. Gubuk posuno sebagai tempat mengasingkan diri sementara itu berukuran 2×2 meter berdinding dan beratap daun sagu dilengkapi sebuah tempat tidur yang disebut tapalang berukuran 1×2 meter.[7]









Gambar rumah pengasingan bagi wanita haid dan melahirkan
Sejauh ini tidak ada yang melanggar tradisi adat tersebut. Sanksi bagi pelanggarnya akan dikucilkan dari masyarakat adat setempat dan juga dikenakan denda berupa pembayaran piring tua dan kain berang (merah) bagi kaum perempuan.
A. Upacara Suu Anaku (Memandikan Anak)[8]
Di kalangan mereka ada suatu tradisi yang termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu. Yaitu upacara yang berkenaan dengan masa peralihan dari masa kandungan hingga kelahiran. Upacara tersebut dinamakan oleh mereka upacara “Suu Anaku” yang berarti “memandikan anak”.
Ada dua versi yang berkenaan dengan tujuan upacara ini. Versi yang pertama mengatakan bahwa tujuan dari upacara ini adalah agar bayi baik ketika masih dalam kandungan hingga ketika dilahirkan tidak di ganggu oleh roh-roh jahat. Versi ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan mereka bahwa seorang perempuan yang sedang berbadan dua (mengandung) berada dibawah pengaruh roh jahat yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan sesuatu yang tak diinginkan (mencelakakan), baik terhadap ibunya maupun calon bayi untuk melenyapkan pengarh roh-roh jahat tersebut maka perlu di lakukan upacara Suu Anaku. Sedangkan versi lainnya mengatakan bahwa upacara Suu Anaku bertujuan untuk menghilangkan pembawaan-pembawaan lahiriyah (sifat, watak, dan lain sebagainya) yang buruk pada sang bayi. Versi ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan bahwa watak seseorang ditentukan oleh watak yang di miliki oleh ama (ayah) dan ina (ibu).
Tata laksana yang lebih rinci upacara Suu Anaku :[9]
1.         Ketika seorang perempuan hamil tua akan melahirkan, maka ia akan diantar oleh irihitipue dan kaum perempuan sekitar rumah yang telah dewasa menuju ke posuno. Setelah ibu hamil sampai di posuno, maka pihak keluarga perempuan akan memberi tahu pihak kerabat suaminya bahwa tidak lama lagi akan berlangsung persalinannya. Pada saat kelahiran tiba, irihitipue meminta kepada yang hadir dalam posuno untuk berdoa kepada Upu Kuanahatana (Tuhan pencipta alam semesta) agar kelahirannya lancer. Setelah sang bayi lahir, irihitipue mengambil kaitimana untuk memotong pusar bayi. Setelah terpotong pusar bayi kemudian di ikat menggunakan rotan. Kegiatan dilanjutkan pemandian bayi menggunakan air keramat yang diambil dari daerah hulu sungai nua. Air tersebut dimasukkan ke dalam ruas-ruas bambu. Sama seperti sebelumnya saat pemandianpun masih diiringi dengan doa-doa. Setelah dimandikan kemudian sang bayi diberikan kepada ibunya sedangkan para perempuan yang mengikuti upacara akan kembali ke rumah masing-masing.
2.         Setelah bayi berusia 8 hari upacara kedua diadakan yaitu pemandian bayi kembali. Upacara ini dimulai atas intruksi irihitipue kepada ukakie (saudara tertua perempuan yang melahirkan) untuk mengambil dan menggendong bayi tersebut dari ibunya yang kemudian diserahkan kepada irihitipue yang telah menyiapkan ruas-ruas bambu yang berisi air keramat. Kemudian bayi dimandikan dan dikeringkan. Kemudian diberi pakaian dari sejenis pohon cidaku, namun sekarang seiring perkembangan zaman pakaian tersebut diganti dengan pakaian tekstil. Acara selanjutnya penyerahan kembali bayi dari irihitipue kepada ukakie untuk acara penghentakan kaki bayi ke tanah. Maknanya yaitu sebagai isyarat bahwa tanah merupakan sumber kehidupan. Sangat erat kaitannya dengan mata pencaharian mereka sebagai seorang pemburu dan bercocok tanam. Setelah acara penghentakan maka akan dibawa ukakie dan rombongan keluarga ke rumah orang taunya.[10]
3.         Sesampai di rumah sang bayi dan ibunya telah di tunggu oleh ayahnya. Ukakie menyerahkan kembali kepada ibunya, dan ibunya berjalan ke arah suami menyerahkan bayinya. Oleh sang suami bayi tersebut kemudian di perlihatkan kepada semua hadirin. Setelah selesai di perkenalkan mereka semua dipersilahkan menuju meja upacara untuk makan bersama. Jenis makanannya; papeda, tutupola, dan alu-alu. Seluruh makanan harus disediakan oleh kelompok kerabat (soa) perempuan. Sebagai imbalannya pihak kerabat suami menyerahkan sejumlah piring atau mangkuk tua buatan tiongkok. Jumlah piring yang diberikan harus sama dengan jumlah makanan yang disediakan. Setelah makan-makan dilanjutkan tari-tarian yang diikuti oleh semua semua peserta upacara tari tersebut disebut tari mako. Sementara perta berlangsung irihique memberi isyarat kepada ibu sang bayi untuk kembali ke posuno yang diiringi oleh kerabat-kerabat perempuan. Setelah tiba di posuno, para kerabat meninggalkan ibu dan sang bayi pergi kembali melanjutkan acara pesta adat.
4.         Setelah pesta adat maka sang ayah satu sampai tiga hari diharuskan membawa bayi pergi ke tengah hutan untuk melakukan bagian terakhir dari upacara Suu Anaku. Untuk itu sang ibu dan anaknya di keluarkan oleh irihitipue dari posuno dengan disaksikan oleh para kerabat perempuan. Sang suami kemudian menjemput sang istri untuk pergi menuju ke hutan tempat pelaksanaan upacara selanjutnya. Setelah tiba di tempat yang ditentukan, sang ayah mengambil daun-daun sagu dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti tikar. Bayi mereka diletakkan diatas tikar tersebut dan di tunggui oleh ibunya. Maksud dari upacara ini adalah untuk memperkenalkan bayi kepada roh para leluhur, juga sebagai pernyataan syukur keluarga yang ditujukan kepada Upu Kuanahatana atas kelahiran anak mereka. Menjelang matahari terbenam berakhirlah acara ini, maka mereka bertiga pulang ke rumah. Kedatangan mereka telah di tunggu oleh irihitipue bersama kelompok kerabat yang akan mengantarkan ibu tersebut bersama bayinya kembali ke posuno hingga 40 hari setelah melahirkan. Setelah 40 hari barulah mereka diperbolehkan untuk pulang ke rumah.[11]
B. Upacara Masa Dewasa bagi Perempuan (Pinamou)[12]
Istilah  pinamou  dalam  pengertian  lokal  berarti  wanita  bisu  karena selama berlangsungnya upacara ini si wanita bertindak seperti orang bisu. Wanita pinamou  dibolehkan  berbiacara  tapi  harus  berbisik  tidak  boleh  berbicara  keraskeras.  Adapun  maksud  dan  tujuan  penyelenggaraan  upacara  ini  adalah  untuk mangalihkan status seorang perempuan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Upacara  masa  dewasa  bagi  seoranga  anak  perempuan  mempunyai  arti penting  dalam  tata  kehidupan  masyarakat  suku  Nuaulu,  sebab  pesta  adat  yang diadakan  dalam  kaitannya  dengan  upacara  ini  merupakan  pernyataan  bahwa didalam masyarakat telah bertambah seorang wanita dewasa yang telah siap untuk berumah tangga. Karena pentingnya, sehingga upacara ini tidak hanya melibatkan si gadis yang diupacarakan bersama kelompok kerabatnya tetapi juga melibatkan masyarakat umum.
Kerabat dari pihak ayah dan ibu bertugas menyiapkan bahan makanan yang diperlukan didalam pesta adat nanti.  Sebaliknya  kelompok  kerabat  wanita  selain  bertugas  untuk  menyediakan makanan selama si gadis berada di  posuno, mereka juga terlibat dalam kegiatan yang  diupacarakan  misalnya,  mempersiapkan  posuno,  memasukan  si  gadis kedalamposunomemandikansi gadis, menyuguhkan sirih pinang (apapua) dan sebagainya.
Proses  pelaksanaann  upacara  ini  dibagi  dalam  8  tahap. Untuk  lebih  jelas  tahapannya  dirincikan sebagai berikut:[13]
a)  Memasukan pinamou ke dalam posuno
Ketika  sang  gadis  mengetahui  bahwa  ia  telah  mendapat  haid  pertama, segeralah ia memberitahukan hal tersebut kepada salah seorang keluarganya yang wanita  (wanita  dewasa)  atau  langsung  pada  ibunya.  Selanjutnya  sang  ibu memberitahukan dan mengumpulkan kerabatnya. Mereka segera mempersiapkan posune,  yang  akan  dipakai  sebagai  tempat  pengasingan  sementara  dan  sebagai tempat  pelakasanaanya  upacara. 
Setelah  posuno  selesai  dikerjakan  si  gadis  yang  mendapat  haid/pinamou segera mereka bimbing untuk masuk kedalam  posuno.Sementara itu mama biang menyiapkan  api  unggun.  Kayu  untuk  api  unggun  adalah  sejenis  kayu  yang  manakayu  untuk  api  diambil  oleh  mama  biang  di  rumah  adat  dari  marga  sang  gadis.Misalnya sang gadis bermarga sounawe maka  arang api tersebut langsung diambil dari rumah adat sounawe.
Didalam  masa  upacara  pinamou  si  gadis  hanya  mengenakan  kain  yang menutup dari arah dada  ke bawah. Si gadis dilumuri dengan arang di seluruh bagian tubuhnya sampai wajahnya kemudian ditutupi dengan kain dan dibagian kepala dibuat  semacam  karungan  ayam  sehingga  tidak  kelihatan  bagian  muka  dan tubuhnya sampai akhirnya dia akan menggunakan pakaian adat. Selama  berada  di  posuno,  semua  keperluan  terutama  makanan  dan minumam dibantu oleh ibu dan saudara perempuan ibu. Didalam posuno, pinamou dibantu untuk belajar memasak sendiri, membuat anyaman, menggunakan bahan logam atau yang dijual di tokoh untuk keperluan memasak di dalam posuno semua alat  terbuat  dari  bahan  alam  seperti  tempurung  kelapa  dan  buah  kalabasa  yang dijadikan  wadah  makanan,  kayu  bakar  untuk  memasak.  Pinamou  tidak diperbolehkan  untuk  mandi,  jadi  berapapun  lamanya  didalam  poseone  ia  tidak boleh  mandi  sampai  akhirnya  tiba  pada  acara  pemandian.  Setelah  si  gadis  telah berada dalam posuno, anggota kelompok kerabat lainnya,  wanita dari pihak ayah dan  kerabat  dari  pihak  ibu  diberitahukan.  Karena  mereka  inilah  yang  akan mempersiapkan  bahan-bahan  makanan  yang  diperlukan  untuk  melakukan perburuan untuk mengadakan pesta adat nanti.
b)  Menokok sagu, berburu untuk disajikan pada pesta pinamou[14]
Selama  pinamou  ada  didalam  posuno,  orang  tua  kemudian  mengadakan rapat untuk menentukan kapan akan dilaksanakan  penebangan pohon sagu untuk menjadi  makanan,  dan  melakukan  kegiatan  berburu  dengan  anjing,  atau  biasa mereka sebut dengan lepas anjing. Semuanya dilakukan untuk meyiapkan segala hal menyambut keluarnya pinamou dari posuno.
c)  Membersihkan diri (karisa pinamou)
Jika orang tua merasa bahwa makanan yang dibutuhkan sudah mencukupi untuk memberi makan  masyarakat sekampung,  dan hari penentuan untuk keluar telah disepakati oleh orang tua  dan dukun desa/mama biang, maka  tibalah waktu untuk keluar dari posuno  menuju ke rumah  adat. Namun sebelum keluar  pinamouharus  ada  dalam  acara  membersihkan  diri.  Diawali  dengan   dukun  desa/mama biang mengambil air dari ruas bambu yang telah dipersiapkan dan menyiramnya secara bergantian pada seluruh bagian tubuh si gadis di dalam posone.
d)  Pemberian Pakaian Adat[15]
Pemberian  pakaian  adat  dilakukan  di  depan  posuno  yang  diawali  dengan seluruh tubuh pinamou  di gosok dengan kunyit yang telah dihaluskan dan minyak kelapa. Semua dipakaikan oleh mama biang dan kerabat yang hadir dalam prosesi acara. Selesai pengolesan ini  semua rombongan upacara dukun/dukun atau mama biang dan anggota kelompok kerabat  juga  menggosok wajah mereka dengan sisasisa kunyit (kuning) dan minyak kelapa. Selesai acara ini tibalah satnya sang gadis diberi pakaian. Upacara pemberian pakaian dilakukan  di bawah pimpinan mama biang dibantuoleh kerabat dari pinamou. Pakaian  yang  dikenakan  kepada  si  gadis  adalah  pakaian  adat  yang dinamakan kaeng timor. Pakaian yang dikenakanpun hanya selembar kain yang menutup bagian pinggang ke bawah sedangkan bagian atasnya ditutupi dengan perhiasan  berupa manik-manik. Sebagai perhiasan  juga konde digunakan serarie. serarie di dibuat dari rangkaian manik-manik warna-warni. Setelah  acara  pemberian  pakaian selesai. Ia kemudian  dituntun untuk berjalan menuju ke rumah adat  sesuai marga sang  gadis  Pinamou  dan  disaksikan  oleh  semua  orang  yang    ada  di  tempat tersebut. Dalam  perjalanan  menuju  rumah  adat  tersebut,  rombongan  wanita  ini bernyanyi sambil berpantun adat seperti berikut:[16]
Pinamou ita tani
Nusa nyamana ninia sou
Hailele numu sala hailalo
Hia,hia hoe-hoe salu-salu yanihole lete yai sioooo
Terjemahannya:
Gadis bisu menangis
Desa berbicara banyak
Musuh jatuh, salah dan tidak mati
Anak-anak muda diberi cawat dan panah lalu maju menyerang
Sorak-sorak , mari-mri sampai disini kita berhenti.
e)  Papar Gigi di dalam Rumah Adat
Sesampai  di  rumah  adat,  si  gadis  dipersilahkan  masuk  ke  dalam  rumah adat  kemudian  duduk  di  tempat  yang  telah  disediakan  yaitu  tikar.  Sang  gadis duduk  dengan  cara  melipat  kedua  kakinya  kebelakang.  Selanjutnya  kepala  suku dan  mama  biang  mulai  melakukan  upacara  papar  gigi,  yang  dimulai  dengan menaikan  doa.  selanjutnya  mengambil  sebuah  batu  khusus  kemudian mendoakannya  dan  sang  gadis  diperintahkan  untuk   menggosok  bagian  giginya sampai seluruhnya menjadi rata. Batu yang  dipakai  untuk  acara  papar  gigi  ini,  tidaklah  diketahui  apa  nama  dan bagaimana  bentuknya  karena  dianggap  sakral  sehingga  tidak  boleh  dikatahui orang  luar.  Selesai  acara  ini  rombongan  meninggalkan  posone  menuju  kedesa kembali.
f)  Suguhan Pinang dan Makan bersama (makan patita)
Setelah papar  gigi kemudian oleh  mama  biang  menyuguhkan siri pinang (apapua) dan si gadis kemudian mengambilnya dan mulai mengunyahnya.  Acara dilanjuti  dengan  semua  rombongan  upacara  diundang  untuk  mengambil  bagian dalam  acara  makan  bersama  (makan  patita).  Jenis  makanan  wajib  yaitu  pinang, kemudian  diikuti  dengan  makan  kue  dari  adonan  tepung  pada  umumnya  dan minum teh.
g)  Membuat Nuite (menyusun sagu dan pisang )
Setelah penyuguhan pinang oleh mama biang dan makan bersama dengan kerabat, acara  selanjutnya  membuat  nuite  yaitu  hasil  menokok  sagu  dan  hasil kebun  diantaraya pisang  yang  telah  dipersiapkan  oleh  kerabat  disusun  bentuk lingkaran,  pisang  pada  posisi  melingkar  sedangkan  di  tengah  lingkaran  di  beri sagu. Pembuatan nuite melibatkan peserta upacara hadir. Sementara  semua  peserta  upacara  terlibat  dalam  pembuatan  nuite  sang gadis  oleh  kepala  soa  dari  marga  sang  gadis  meyuguhkan  siri  pinang  (apapua) seperti  penyuguhan  siri  pinang  sebelumnya  oleh   mama  biang.  Selanjutnya disuguhkan juga  makanan, jenis makanan  yang    disiapkan  diantaranya sagu dan pisang seperti yang di sediakan dalam pembuatan nutie.
h)  Pemandian Terakhir[17]
Setelah pagi tiba, sang gadis diantarkan kesebuah sungai yang tidak jauh jaraknya  dari  nergeri  tempat  kediaman.  Pada  sungai  dipergunakan  untuk memandikan sang  gadis.  Mama biang berdoa  untuk  memohon keselamatan bagi sang  gadis.  Demikian upacara masa dewasa bagi  gadis perempuan selesai. Sang gadis telah sah dinyatakan sebagai gadis dewasa.  Menurut Pina Erae Sounawe (35 tahun)  pada  masa haid berikutnya tidak ada lagi didakan upacara-upacara khusus. Dalam  hal  ini  si  gadis  hanya  diharuskan  mengasingkan  diri  ke  rumah  pamali (posune)  selama  berlangsungya  masa  haid.  Setelah  masa  haidnya  berakhir  baru kemudian  ia  diperbolehkan  untuk  mandi  bersih  dan  meninggalkan  posuno. ketika  seorang gadis dimasukan ke ponose pada masa haidnya adalah tidak boleh ada seorang priapun yang boleh melihat.  Posune dan  darah  disekitarnya  merupakan  daerah  pamali,  artinya  daerah  yang  pantang didekati oleh para pria. Daerah tersebut dianggap mengandung banyak kekuatan gaib yang bersifat destruktif  bagi  mereka.  Pantangan  lainnya  yaitu  selama  berada  didalam  posuno, makanan  yang  diberikan  haruslah  berupa  makanan  yang  dimasak  didalam bambou, dan air minum  harus direbus dalam  yang terbalut dari tanah liat. Selama berada di posune, dia tidak diperkenankan   menggunakan benda diluar batas garisyang  ditandai  dengan  daun  kelapa  yang  mengelilingi  posune  sengaja  ataupun tidak  kecuali  bila  hendak  diupacarakan.[18]
C. Upacara Tihi Huau[19]
Mereka (masyarakat Nuaulu) menumbuh-kembangkan suatu tradisi yang disebut sebagai Tihi Huau. Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan yang diyakininya. Menurut mereka, seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan, mudah disusupi atau dipengaruhi oleh roh jahat. Untuk itu, perlu diadakan suatu upacara agar anak terhindar dari pengaruh tersebut. Selain itu, yang tidak kalah penting nya adalah agar sifat-sifat buruk (jahat) orang tuanya tidak menurun kepada anak, sehingga di kemudian hari anak dapat melaksanakan peran sosialnya dengan baik (mematuhiaturan-aturan, norma-norma dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya). Pemutusan pengaruh jahat itu disimbolkan dengan pemotongan rambut karena rambut, menurut kepercayaan mereka, merupakan bagian dari tubuh manusia yang berdaya magis.
1)      Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam upacara ini adalah: (1) bulusero, yaitu sebuah alat cukur yang terbuat dari belahan bambu; (2) sisir yang terbuat dari sabut kelapa; (3) sebuah tempat duduk (kursi); dan (4) seruas bambu yang pada gilirannya akan dijadikan sebagai tempat penyimpanan rambut  yang dipotong. Selainperalatan, ada kelengkapan yang berupa makanan dan minuman, seperti: pisang, air putih dan atau the dan beberapa jenis makanan yang terbuat dari sagu (tutupola, alu-alu, sagutumbu, danpapeda).
2)      JalannyaUpacara[20]
Upacara ini diawali dengan pendudukkan anak yang akan dipotong rambutnya pada sebuah kursi yang telah disediakan, diikuti oleh kerabatnya dalam posisi membentuk lingkaran (mengelilinginya). Kemudian, momokanate (sebutan untuk kepala soa yang bertindak sebagai pemimpin upacara) menghampirinya, membaca doa (dalam hati) dan memotong sebagian rambut anak yang diupacarai dengan alat yang disebut bulusero. Jadi, bukan alat cukur yang terbuat dari logam, karena menurut kepercayaan masyarakat Nuaulu, alat cukur logam mengandung kekuatan-kekuatan sakti yang dapat membahayakan diri anak (kekuatansakti yang sifatnya destruktif). Ketika pencukuran berlangsung pihak kerabat tidak hanya diam tetapi juga memanjatkan doa kepada Upu Kuanahatana d8an roh nenek moyang agar selamat.
Sebagai catatan, bagian rambut yang dicukur oleh momokanate disesuaikan dengan status sosial dari keluarga penyelenggara upacara. Apabila yang diupacarakan adalah anak seorang kapitang, maka rambut yang berada di bagian depan kepala tidak boleh dicukur. Apabila anak seorang tokoh adat, maka rambut yang berada pada bagian tengah kepala (bubungan/ubun-ubun) tidak boleh dicukur.Sedangkan apabila anak rakyat biasa, maka rambut pada bagian belakang kepalanya tidak boleh dicukur. Dengan demikian, rambut yang dibiarkan (tidak dicukur) sekaligus merupakan tanda pengenal bagi masyarakat. Dengan melihat letak rambut pada bagian kepala anak tersebut orang dapat mengetahui dari kalangan masyarakat manakah anak itu berasal.
Sebagai catatan pula bahwa kepalasoa (momokanate) yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah yang berasal dari soa yang sama dengan ayah si anak yang diupacarai. Soa adalah suatu kesatuan masyarakat yang berdasarkan genealogis teritorial. Orang Nuaulu yang tinggal di daerah Amahi mempunyai 11 soa yang tergabung dalam 4 negeri (desa). Momokanate merupakan orang yang dipercaya untuk memimpin dan melaksanakan upacara tihihuau karena merupakan lambing kehormatan dari soa. Dia merupakan tokoh yang dihormati dan disegani serta dianggap memiliki kharisma-kharisma dan mempunyai kekuatan-kekuatan sakti yang dapat mengalahkan pengaruh roh-roh jahat. Pencukuran rambut oleh tokoh ini merupakan suatu perwujudan rasa hormat masyarakat terhadap pemimpin soa-nya. Selain momokanate, pihak-pihak yang juga terlibat dalam kegiatan upacara ini adalah anggota-anggota kelompok kerabat dari pihak ayah maupun ibu dari anak yang diupacarakan.
Setelah pencukuran pada bagian tertentu (bergantungpada status sosialnya) selesai, maka langkah selanjutnya adalah penyisiran rambut dengan sabut kepala oleh momokanate. Selanjutnya, kepala dibersihkan dengan air yang telah dimanterai oleh momokanate. Penyiraman ini sekaligus merupakan simbol bahwa anak telah bebas dari pengaruh pembawaan buruk dari orang tuanya ataupun pengaruh roh jahat.[21]
Rambut dari anak yang telah diupacarakan oleh momokanate di ambil sebagian, kemudian dimasukkan ke dalam ruas bambu yang telah dipersiapkan. Setiap ruas bamboo dari setiap individu diberi tanda pengenal khusus untuk mencegah kekeliruan dalam pengambilannya. Ruas bamboo itu kemudian ditempatkan di dalam numaonate atau rumah soa sebagai data jiwa. Jadi, bila di dalam sebuah numanoate terdapat 650 ruas bambu, berarti jumlah penduduk negeri (desa) yang bersangkutan adalah 650 jiwa. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam jumlah jiwa, maka jika pemiliknya meninggal, ruas bambu yang berisi rambutnya pun ikut dikuburkan.
Acara selanjutnya adalah santap bersama.Untuk itu, tuan rumah (penyelenggara upacara) mempersilahkan semua undangan mencicipi hidangan yang telah disediakan di dalam rumahnya. Santap bersama yang merupakan penutup dari rangkaian upacara ini sekaligus merupakan ungkapan terima kasih kepada Upu Kuanahatana dan roh-roh para leluhur karena upacara berjalan lancar.
Sebagai catatan, hidangan yang disediakan adalah makanan sehari-hari yang biasa disantap oleh seluruh lapisan masyarakat Nuaulu. Dengan demikian, orang dari lapisan atau golongan sosial manapun dapat melaksanakan upacara ini.
D. Ritual masa Dewasa bagi laki-laki[22]
Dalam  kehidupan  suku  Nuaulu  laki-laki  mempunyai  kedudukan  khusus di dalam kehidupan  sosial  budaya  masyarakat.  Anak  laki-laki sejak kecil telah ditempa  sedemikian  rupa  sehingga  mereka  setelah  dewasa  mampu  bertindaksebagai  pria-pria  yang  bertanggung  jawab.  Kalau kedewasaan wanita nuaulu ditentukan oleh datangnya haid, maka kedewasaan seorang laki-laki ditentukan berdasarkan kedewasaannya  menggunakan  senjata,  panah  dan  tombak.  Kelangsungan  hidup masyarakat  suku  Nuaulu  sangat  ditentukan  oleh  tombak  dan  panah.  Kalau  pada masa  dulu  kedua alat ini berfungsi untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan  musuh  dan  berburu,  maka  kini  fungsi  pertama  sudah  hilang.
Pewarisan  nilai-nilai  budaya  yang  terdapat dalam  tombak  dan  panah  dilakukan  sejak  seorang  anak  laki-laki  masih  berada dalam usia muda, pada usia 5-6 tahun anak laki-laki sudah diperkenalkan dengan kedua  senjata  ini.  Mulai  dari  cara  memegangnya  menimbang-nimabangnya sampai  akhirnya  ia  memiliki  kemampuan  dan  ketrampilan  menggunakannya. Proses  pewarisan  nilai-nilai  ini  dilakukan  secara  langsung.  Misalnya  dengan mengikutsertakan sang anak dalam kegiatan berburu. Pada  masa  lampau,  seorang  anak  laki-laki dinyatakan  dewasa  apabila  dia  telah  sanggup  melakukan  pengayungan (pemenggalan)  dengan  membawa  pulang  kepala  seorang  pria  dewasa.  Jadi kedewasaan dalam pengayungan menentukan kedewasaan seorang anak laki-laki. Dengan  demikian  ia  dapat  dikategorikan  sebagai  pelindung  dan  pembela  warga masyarakatnya  khususnya  anak-anak  dan  kaum  wanita.  Namun  dewasa  ini nampaknya  telah  terjadi  pergeseran  nilai  dalam  kriteria  penentuan  kedewasaan tidak  lagi  ditentukan  dari  kemampuan  menganng  kepala  manusia  tetapi  oleh kemampun  berburu,  menokok  sagu  dan  bertani.  Kalau  dan  segera  orang  tuanya bersiap-siap untuk mengadakan upacara masa dewasa bagi anak-anak.[23]
Dalam  bahasa  daerah  setempat  upacara  masa  dewasa  bagi  anak  laki-laki disebut  pataheri  yang  berarti  pemakaian  cidaku  dan  kain  berang  (kain  merah) yang  mempunyai  arti  penting  bagi  kehidupan  seorang  pria  Nuaulu  karena mengandung  arti  pengakuan  masyarakat  secara  yuridis  formal  akan  hak  dan kewajiban seorang anak  laki-laki serta dianggap  sebagai  ajang  melepaskan dosa dan  harus  berdiri  sendiri.  Upacara  ini  biasanya  diadakan  dalam  tujuh  tahap.
Pertama kurungan selama3 hari kedua, tahap berburu dan mencari dammar ketiga pemandiandan taha pemakaian  cawat  (cidaku)  keempat,menuju ke baeleokelima,pemotongan kepala ayam dan pembelahan kelapa , keenam pataheri dan ketujuh papar gigi.
Ritual pataheri adalah ritual inisiasi bagi anak-anak laki-laki Nuaulu yang telah berakil balig. Bagi masyarakat suku Nuaulu pemakaian kain berang merah dikepala merupakan simbol kematangan dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai  masyarakat  Nuaulu.  Maksud  dan  tujuan  upacara  pataheri  ini  pada dasarnya  sama  dengan  upacara  pinamou  yang  diselenggarakan  bagi  seorang wanita,  yaitu  mengalihkan  status  anak  laki-laki  dan  masa  kanak-kanan  ke  masa dewasa.  Dengan demikian ketiga tahap pelaksanaan upacara ini bertujuan untuk mengesahkan  kedudukan  anak  laki-laki  sebagai  anggota  masyarakat  yang dianggap telah mampu bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat. oleh karena itu secara adat ia diperkenankan untuk membentuk keluarga.
Adapun  beberapa  syarat  yang  dipakan  sebagai  patokan  dalam menentukan keperkasaan dan kekuatan mereka adalah sebagai berikut:a)  Mengerti bahasa,b)  Bertanggung jawab, c)  Dapat diandalkan, d)  Tangguh, gesit dan disiplin.[24]
Tempat pelaksanaan upacara masa dewasa bagi anak laki-laki yaitu  berrlangsung  pada  tempat  di  mana  dahulu  diambil  tiang  pertama  beileo (rumah  adat)  suku  Nuaulu  yang  letaknya  di  dekat  tanjung  (daerah  ini  banyak sekali pohon-pohon besar). kepala  suku  (Matoke)  sebagai pemimpin upacara,  dibantu oleh kapitan yang juga merangkap sebagai kepala soa dari  soa  yang  ada.  Selain  mereka  rombongan  upacara  nantinya  juga  adalah  pria dewasa dari suku nuaulu, mereka berfungsi sebagai saksi dari pelaksana upacara dan nantinya ada dalam kegiatan tarian maku-maku.  Upacara masa dewasa bagi seorang anak laki-laki merupakan peristiwa yang penting bagi suku nuaulu, oleh karena pelaksanaannya memerlukan persiapan-persiapan  yang baik. Setelah para orang  tua  melaporkan  anaknya  yang  mengikuti  upacara  ini,  karena  menurut mereka  anak-anak  mereka  telah  cukup  mahir  dalam  menggunakan  tombak  dan panah  untk  berburu,  juga  mampu  berladangn,  kebun  dan  menokok  sagu.  Maka diadakanlah  peburuan  masal  oleh  seluruh  pria  dewasa  dalam  lingkungan  suku Nuaulu. Oleh para ibu disiapkan semua perbekalan baik itu sagu, pinang, ubi jalar, ubi talas, singkong dan lain sebagainya.
Jauh  sebelumnya  telah  dipersiapkan  pula  cawat  yang  nantinya  akan dikenakan  oleh  si  anak  (cidaku)  itu  biasanya  dibuat  dari  kulit  kayu reime/semacam kayu pohon daun gondal putih (kayu khusus) yang biasanya ada didalam  hutan.  Setelah  batang  kayu  diambil  kemudian  diolah  dan  digunting membentuk  cawat.  Selain  cawat,  dipersiapkan  pula  2  helai  kain  berang  (kain berwarna merah darah) untuk masing-masing anak yang akan diupacarakan, satu buah kelapa 1 ekor ayam untuk setiap anak. Untuk diketahui, bahwa selama ritual ini berlangsung pada siang hari akan diadakan tarian cakalele sedangkan malamhari akan dilangsungkan tarian maku-maku (semua laki-laki saling bergandengan tangan  membentuk  lingkaran  megelilingi  baeleo).
Adapun  beberapa  tahap  yang dilakukan dalam pelaksanaan upacara pataheri adalah sebagai berikut:[25]
a)      Kurungan Selama 3 hari
Setelah  semua  persiapan  selesai  dilakukan,  pada  hari  yang  telah ditentukan dilaksanakanlah rangkaian upacara. Semua peserta pataheri berkumpul kemudian diberikan nasihat dan pengarahan oleh  kepala adat  Matoke  dan kepala soa  serta  tua-tua  adat  lainnya,  setelah  kegiatan  penghargaan  selesai,  maka selanjutnaya mereka dipersilahkan secara khusus oleh kepala suku untuk berdoa. Anggota pataheri dimasukkan/dikurung  dalam  rumah  kepala  suku  dan  selama  masa  kurungan mereka tidak melakukan apa-apa. Di dalam masa kurungan mereka merenungkan nasib mereka, karena setelah ritual ini selesai mereka punya tanggung jawab yang besar,  sudah harus berdiri  sendiri  serta  membangun  keluarga  nantinya, mereka harus benar-benar siap dalam menjalankan setiap rangakaian prosesi ritual yang akan dilaksanakan.  Selama  masa  kurungan,  mereka  tidak  diperbolehkan  dilihat oleh  kaum  perempuan  oleh  karena  itu  segala  keperluannya  dilayanioleh kepala suku. Setelah tiga hari mereka dikelurakan kemudian dipakaian cawat yang tadiya telah disiapkan masing-masing.
b)      Berburu dan mencari kayu dammar[26]
Langkah berikutnya adalah beruburu  dihutan. Kegiatan  berburu  ini  hanya  dilakukan  oleh  pemuda  yang  akan  melakukan pataheri.  Berburu  berlangsung  selama  2  hari  saja. 
c)      Pemandian, pemakaian cawat dan berang merah diikat dipingang
Upacara  pataheri  kemudian  dilanjutkan  berjalan  pataheri  membersihkan diri/ mandi kemudian mereka dipakaikan cawat yang tadinya digantung dibaeleo. Selanjutnya  kain  berang  (kain  merah)  dipakaikan  menutupi  bagian  depan (kelamin  laki-laki),  atau  seiring  mereka  sebut  sebagai  pakaian  adat  (laki-laki) yang  telah  disiapkan  oleh  orang  tua  (ina)  mereka  masing-masing.  Setelah  itu mereka akan berjalan berbaris menuju ke baeleo.
d)     Menuju ke baeleo
Acara  puncaknya  ada  dibaeleo,  yakni  setelah  mereka  di  baeleo  maka pertama-tama  yang  harus  dilakukan  adalah  semuanya  berjalan  mengelilingi tempat  yang dikeramatkan di dekat baeleo selama  lima  kali putaran. Setelah itu masing-masing  soa  terpencar  berdasarkan  soa  masing-masing.  Didalam  baeleobiasanya  mereka  akan  berada  selama  lima  hari,  akan  tetapi  sesudah  tiga  hari mereka  akan  dinilai  oleh  tua-tua  adat.  Jika  ada  diantara  mereka  yang  dianggap nantinya mampu menggantikan kedudukan kepala suku matoke atau tua-tua adat lainnya,  maka  mereka  ini  disebut  sebagai  laki-laki  perkasa  dari  suku  nuaulu. Selama di  baeleo  patahari ini berpuasa selama 5  hari  puasa dilakukan hanya pada (malam hari saja sedangkan siangnya mereka boleh makan).
e)      Pemotongan kepala ayam dan buah kelapa[27]
Setelah tiba di dalam baeleo, hari pertama yang dilakukan  pataher        i adalah memotong  kepala  ayam.  Masing-masing  pataheri  memotong  ayamnya  masingmasing. Setelah itu ayam tersebut akan diolah orang tuanya masing-masing untuk nantinya dimakan oleh pataheri. Menurut informasi dahulu kala, ritual pataheri ini adalah  bentuk  pengukuran  kehebatan  laki-laki  suku  nuaulu  karena  sebenarnya yang harus dilakukan adalah  memenggal kepala manusia. Namun karena hukum yang  sudah  semakin  tegas  di  Indonesia  kegiatan  pemenggalam  kepala  manusia dini digantikan  dengan  pemenggalan  kepala  binatang  (ayam)  dan  pembelahan buah  kelapa.  Keesokan  harinya  buah   kelapa  yang  telah  digantikan  dengan pemenggalan  kepala  binatang  (ayam)  dan  pembelahan  buah  kelapa.  Keeseokan harinya buah kelapa yang telah dipesiapkan oleh masing-masing anggota pataheridibawah dan dibelah oleh kepala suku. Berapapun jumlah buah kelapa semuannya akan dibelah.
f)       Pataheri (pemakaian kain berang dan cidaku merah)
Air yang keluar dari buah kelapa terebut akan dipercikkan kepada masing-masing pataheri  sebagai tanda bahwa mereka telah dikukuhkan. Namun sebelum acara pengukuhan tokoh-tokoh adat  suku Nuaulu yakni, kepala suku kapitan, dan tuan-tuan tanah, maka pertama-tama mereka akan mengadakan doa khusus kepada air kelapa tersebut juga kepada semua anggota  pataheri. Setelah itu acara adat ini akan dilanjutkan  oleh  kepala suku  bapak matoke dengan melakukan percikan air tersebut ke atas kepala  pataheri  sebagai suatu tanda bahwa mereka telah mampu berdiri  sendiri.  Setelah  percikan  air  itu  selesai,  maka  tahap  selanjutnya  adalah pemakaian  kain  berang  (kain  merah)  di  kepala  masing-masing  sebagai  tanda penghargaan laki-laki suku nuaulu. Hari ketiga, akan dilakukan pemakaian  cidaku merah  (kain merah) sebagai salah satu tanda bahwa mereka telah sah menjalani proses  urutan  ritual  pataheri,  pemakaian  cidaku  ini  dilakukan  oleh  kepala  suku Matoke.
g)      Papar gigi[28]
Setelah acara pemakaian cidaku selesai maka langkah selannjutnya adalah papar  gigi.  Acara  ritual  papar  gigi  akan  dilakukan  oleh  orang  yang  sudah dikhususkan  untuk  memapar  gigi.  Batu  yang  dipakai  untuk  memapar  gigi pataheri  adalah  batu  yang  sama  dipakai  untuk  memapar  gigi  pinamou.  Setelah urutan proses acara ini  selesai, maka acara penutupan adalah diadakannya pesta makan bersama  (makan patita). Proses acara ini di tutup/dikunci dengan doa yang dilakukan oleh kepala suku Matoke. Demikian upacara masa dewasa bagi laki-laki (pataheri)  yang  merupakan  suatu  tugas  dan  tanggung  jawab  yang  harus dilaksanakan  bagi  laki-laki  dewasa  suku  Nuaulu.  Sebagaimana  pada  ritual pinamou yang pantang dilihat dan didekati oleh pria pada saat di posune demikian pula  sebaliknya  yang  menjadi  pantangan  pada  ritual  ini  adalah  pada  saat pelaksanaan upacara  pantang untuk dilihat oleh kaum wanita. Kehadiran mereka dapat  menganggu  jalannya  upacara  dan  bisa  menggagalkannya  sama  sekali (pamali).  Menurut Bapa Raja Sahune Matoke dan Bapak Tuale Matoke upacara pataheri    bisa  berlangsung  30  bahkan  sampai  40  hari  hal  ini  dikarenakanpersiapan  untuk  pesta  pateheri  memakan  waktu  yang  cukup  lama.  Dari  mulai mencari  hewan  buruan  sampai  menyajikan  hidangan  untuk  acara  makan  patita (makan bersama).
E.     Upacara Ritual Kematian[29]
Upacara yang terakhir suku  Nuaulu  adalah upacara ritual  kematian  setiap  makhluk bernyawa akan sampai pada kematian. Karena kematian adalah sesuatu yang pasti akan  datang  bagi  semua  makhluk  hidup,  termasuk  manusia.  Dalam  kehidupan orang Nuaulu upacara kematian adalah suatu upacara siklus hidup penting  yang harus dilaksanakan agar orang yang meninggal memperoleh tempat di  surga  dan juga  ruh  mereka  (orang  meninggal)  dapat  menjadi  pelindung  bagi  orang-orang yang  hidup.  Keseluruhan  prosesi  upacara  adat  kematian  ini  akan  dipimpin  oleh seorang  pendeta  adat. 
Berikut beberapat tahap dalam prosesi ritual kematian suku Nuaulu :
1)      Memukul tifa
Apabila dalam suku Nuaulu ada yang meninggal, maka salah satu anggota keluarga  akan  memberitahukan  kepada  pendeta  adat.  Segeralah  pendeta  adat menglilingi  kampung  dengan  membunyikan  tifa  sebagai  tanda  pemberitahuan kepada  seluruh  warga/tetangga  kerabat  bahwa  ada  salah  satu  dari  anggota  suku Nuaulu mereka  yang meninggal. Sesudah  diberitahukan  kepada  seluruh  anggota  masyarakat dengan  membunyikan  tifa,  maka  berbondong-bondonglah  warga  menuju  ke rumah duka untuk melihat dan meratapinya.
2)      Memandikan jenazah dan melepaskan Jenazah[30]
Jenazah  orang  meninggal  kemudian  dimandikan  oleh  pendeta  adat  dan seseorang  dari  pihak  keluarga  kemudian  diberi  pakaian/baju.  Setelah  jenazah  di bawa ke rumah adat  dengan pakaiannya  untuk menunggu keluarga besarnya dan setiap  marga  membawa  piring-piring  kecil/besar  (pirune).  Setelah  itu  mayat dibawa ke rumah adat dan digunting pakaiannya untuk di  letakan ke tikar  (kinoe)Jenazah  yang digunting pakaiannya di tutup dengan kain (nipae).  Jenazah  yang mau dibawa ke tempat pemakamannya harus dibawa dengan pakaiannya, seperti patah, baju, celana, dan kain merah (tunue, papite,taka dan karanunu).  Setelah itu orang tua adat menyuruh 2 orang mama untuk mencari rumput (monote mosone putieh)  untuk  mengusir  lalat.  Dan  memerintahkan10  orang  bapak  bapak  untuk pergi  memotong  bambu  (wanate)  dan  2  orang  mengambil  rotan  (meute).Selanjutnya  bapak bapak itu  kembali    dan mayat itu dibungkus dengan tikar lalu diikat  untuk  dibawah  ke  tempat  pemakamannya  dan  tempat  pemakamannya kurang lebih 3 km dari kampung Nua Nea. Sesampai  di tempat pemakamannya 10  orang  bapak    yang  bertugas  tersebut  harus  memotong  kayu  untuk  membuat para  para  (hotune)  dan  selanjutnya  jenazah  diletakan  di  para-para. Setelah meletakan jenazah  mereka harus membersihkan tempat jenazah tersebut dengan menyapu tempat peristirahtan 1 orang 5 kali gerakan menyapu. Maka tibalah saatnya untuk melepaskan jenazah oleh pendeta adat. pihak keluarga  memberikan  sepatah  dua  kata  yang  didalamnya  meminta  maaf  kepada seluruh  warga  masyarakat,  jika  selama  orang  tersebut  hidup  ada  hal-hal  yang dibuat menyingung perasaan, atau ada kealahan lainnya dibuat, mohon dimaafkan. Selanjutnya  acara  diambil  alih  oleh pendeta  adat  dengan  memanjatkan  doa  khusus  kepada  upu  (Tuhan)  dengan maksud  agar  menerima  orang  tersebut.  Selanjutnya  mereka  kembali  pulang  ke rumah. 10 orang bapak itu pulang harus mendapatkan piring piring masing masing 1  untuk  dibawa  pulang  ke  rumah.  Intinya jenazah suku Nuaulu tidak dimasukan/dikuburkan akan tetapi diletakan  di suatu tempat  yang  jauh  dari  kampung  dan  diletakan  diatas  para-para.  Namun ada marga yang sekaran jenazah mulai dikuburkan. Untuk informasi  terkait  budaya  ritual  kematian  sebenarnya  dianggap  tabu  untuk dijelaskan kepada orang lain di luar suku Nualu.
3)      Pukul sagu dan berburu[31]
Setelah  disepakati  maka  keesokan  harinya  berkumpulah  laki-laki  suku Nuaulu untuk menokok pohon sagu yang telah  disediakan keluarga khusus untuk orang  yang  sudah  meninggal  tersebut,  sebagai  suatu  rangkain  upacara  kematian untuk  nantinya  diolah  dan  disantap  dalam  acara  makan  bersama  (patita) memperingati  hari  kematian  yang  meninggal.  Kegiatan  menokon  sagu  ini biasanya  dilakukan dalam jangka waktu 3 hari saja. Setelah selsesai meramunya maka  hasilnya  akan  dibawa  pulang  oleh  mereka  dalam  bentuk  tumang  sagu (tempat  sagu  yang  terbuat  dari  daun  sagu  di  bentuk  menjadi  seperti  keranjang). Sagu  ini  kemudian  akan  diolah  oleh  para  wanita  menjadi  sagu  dan papeda, semuanya dilakukan dalam jangka waktu satu hari.Setelah pulang dari kegiatan meramu sagu, maka keesokan harinya mereka kembali mempersiapkan diri untuk melakukan kegiatan berburu di hutan dengan anjing.  Biasanya  bila  kegiatan  berburu  dengan  melepaskan  anjing  akan mendapatkan banyak hasil buruan, karena anjing dijadikan sebagai alat  pelacak. Untuk  diketahui,setiap  rumah/keluarga  dari  suku  Nuaulu  memiliki  1-2  ekor anjing.  Anjing  ini  nantinya  akan  berperan  sebagai  pelacak  dalam  kegiatan perburuan  mereka.  Biasanya  kepala  suku  serta  tua-tua  adat  memiliki  lebih  dari dua  ekor  anjing.  Kegiatan  berburu  ini  hanya  dilakukan  selama  tiga  hari.  Hasil buruan  kemudian  dibawa  pulang  dan  diolah  oleh  kaum  wanita.  Biasanya  hasil buruan mereka itu berupa babi, rusa, dan kusu (kus-kus).
4)      Kegiatan malam pertama dan malam kedua[32]
Setela  pulang  dari  kegiatan  berburu,  malamnya  langsung  dirayakan upacara  kematian  malam  pertama.  Pada  hakekatnya  prosesi  kematian dilaksanakan  di  ruma  adat.  Kemudian  tua-tua  adat  diundang  oleh  keluarga,  dan pendeta  adat  kemudian  memulai  ritual  upacaranya.  Semua  orang  dipersilahkan masuk  ke  rumah  besar  (kebagian  dalam  rumah),  sedangkan  pendeta  adat  adat kemudian  mengambil  dua  buah  priring  (tersbuat  dari  aluminium/blek) dan mengisi  piring  tersebut  dengan  abu  yang  berasal  dari  bekas  pembakaran  tungku (tempat memask) dari rumah yang meninggal. Setelah itu meletakan kedua piring tersebut pada kedua pintu masuk rumah-rumah  yang terletak pada bagain depan rumah (kiri dan kanan). Pendeta  adat  bersama  dengan  tua-tua  adat  dan  keluarga  memanjakan bentuk  doa  kepada  arwah  orang  yang  telah  meninggal  terrsebut  dengan  tujuan agar dia akan bangkit dari kematian dan hidup dialam lain. Sebagai tandanya akan mereka melihat pada abu yang tadi telah ditaruh pleh pendeta adat, dengan adanya bekas  telapak  kaki  pada  abu  dalam  piring  tersebut.  Mereka  percaya  bahwa  itu adalah telapak kaki dari orang  yang baru saja meninggal, sehingga ada sukacita yang mereka rasakan.setelah itu piring abu itu akan diangkat dan disimpan oleh keluarga.  Sebagai  bentuk  ungkapan  sukacita  akan  tanda  bahwa  orang  yang meninggal  sudah  tiba  dialam  lain,  mereka  rayakan  dengan  melakukan  acara makan bersama atas keberhasilan upacara ritual kematian dan berlangsung dengan khidmadnya.  Makan  yang  telah  dimasak  tersebut  adalah  sebagai  suatu  bentuk persembahan kepada orang yang telah meninggal.Hari  berikutnya,  yaitu  malam  kedua  akan  diadakan  kapata  (nyanyian sambil  berpantun)  dan  tari-tarian  (baendang)  yang  diiringi  dengan  lantunan  tifa.[33]
Demikian  rangkaian  upacara  ritual  kematian  dilaksanakan.  Adapun pantangan  dari  pelaksanaan  upacara  kematian  menurut  bapak  Raja  hanya  ketika jenazah  akan  dimakamkan,  proses  pelaksanaanya  harus  berlangsung  pada  pagi hari  siang,  atau  sore  hari.  Sedangkan  pada  malam  hari  tidaklah  diperkenankan untuk  melaksanakan  kegiatan  pemakaman,  karena  merupakan  pamali  suatu pantangan  bagi  mereka.  Menurut    narasumber  untuk  upacara  kematian  suku Nuaulu  sepertinya  tidak  ada  bagian  yang  dapat  dikembangkan  sebagai  budaya kewarganegaraan  kalaupun  ada  Cuma  beberapa.
c.       Upacara Ritual Perkawinan[34]
Dalam  sistem kepercayaan masyarakat Nuaulu, upacara perkawinan merupakan salah satu rangakaian siklus hidup  yang  senantiasa  dilalui  oleh  semua  orang  dan  oleh  karenannya  perlu dirayakan  karena  merupakan  salah  satu  budaya  lokal  yang  masih  dilestarikan. Itulah  sebabnya  masyarakat  Nuaulu  percaya  bahwa  perkawinan  bukanlah merupakan urusan dari kedua individu, melainkan merupakan urusan kelompokkelompok  kerabat  dari  kedua  belah  pihak  yang  akan  melaksanakan  perkawinan terebut. 
Prosesi perkawinannya ada 4 tahap yaitu:
a) Acara peminangan,
b)  Pembicaraan harta kawin dan tanggal perkawinan,
c)  Bawa harta (Rori Susau) di acara perkawinan,
d) Menyuapi pengantin perempuan (Pamana) dan Makan Patita.
Makan Patita adalah upacara makan bersama,  yang  didahului sebelumnya  dengan  dilaksanakan  upacara  pamana  yakni  menyuapi  pengantin perempuan.  Acara  ini  dipimpin  oleh  istri  kepala  suku  Matoke.  Dalam  acara  ini, beberapa saudara dari pengantin laki-laki baik itu kaka/adik, oom dan tante akan mengambil  sedikit-sedikit  dari  setiap  makanan  yang  sudah  tersedia  danmenyuapkannya kepada pengantin perempuan. Maksudnya supaya dia tidak lagi merasa malu-malu atau asing dirumah mertuanya. Setelah itu  dilanjutkan dengandiadakannya  makan bersama.    Berakhirnya makan bersama ini maka berakhir pula ritual upacara perkawinan meminang (maso minta ) ini.

2.4  Adat dan Etika Suku Naulu









A. Adat meminang (Ruetauanamana)[35]
Kebanyakan dalam etika Naulu, sebelum calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-kali menikah. Calon pengantin laki-laki tersebut melaksanakan perkumpulan keluarga dahulu dalam rangka membicarakan tujuan calon pengantin laki-laki untuk meminang calon pengantin perempuan dan mementukan pula kapan pernikahan akan dilaksanakan. Seterusnya keluarga calon pengantin laki-laki keluar meninggal rumah huniannya untuk meminang calon pengantin perempuan di rumah pengantin perempuannya.
Persiapan calon pengantin laki-laki dalam mempersiapkan pernikahannya, calon pengantin laki-laki harus memenuhi syarat dari calon pengantin perempuan. Rata-rata dalam etika naulu telah ditetapkan persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk calon pengantin laki-laki berupa seperti :
1.  5 buah piring lanjut umur yang telah menjadi warisan turun temurun dari nenek moyang suku naulu untuk anak cucu mereka
2.  Kain merah 5 m
3.  Uang minimal 5 juta
4.  Kain 100 buah beserta kebaya yg dapat di bagikan terhadap seluruh keluarganya, baik keluarga calon pengantin laki-laki maupun perempuan.
Semuanya ditanggung oleh keluarga calon pengantin laki-laki. Adapun persyaratan bagi calon pengantin perempuan berupa:
1.  Sirih pinang yang dibagikan kepada kedua keluarga.
2.  Makanan kala perkawinan berjalan.
B. Pakian Khas Suku Naulu[36]
Kemajuan  zaman  cukup  mempengaruhi  sikap,  tingkah  laku  dan  cara berpakaian  mereka.  Bila  ditelusuri  dulu  orang  laki-laki  dewasa  memakai  cidaku yaitu  sehelai  kain  yang  berbentuk  empat  persegi  panjang  (mirip  sepotong selendang)  cidaku  ini  sebenarnya  adalah  celana.  Cara  memakainya  yaitu  melilit aurat  dan  diikat  pada  pinggang.  Ujungnya  bagian  depan  tergantung  ke  bawah. Karena termasuk kelompok masyarakat adat patalima maka ujung cidakunya agak panjang  yang  membedakannya  dengan  cidaku  pada  kelompok  masyarakat  adat patasiwa  yang  agak  pendek  pada  bagian  bawah  dari  celana/cidaku.  Cidaku  ini biasanya  diukir  atau  dilukis  dengan  berbagai  ragam  hiasan  yang  disesuaikan dengan ketentuan dari masing-masing soa.Cidaku  ini  dipakai  oleh  laki-laki  dewasa  untuk  bekerja  sebagai  pakaian biasa/harian  juga  dipakai  pada  upacara-upacara  adat.  Untuk  wanita  cidaku  ini dibuat  menyerupai  sebuah  rok  pendek.  Dalam  perkembangan  selanjutnya masyarakat  telah  memakai  pakaian  sehari-hari  yang  dibeliti  ditoko-toko  atau pedagang  keliling  sehingga  bentuk  dan  kenisnya  sudah  sama  saja  dengan masyarakat  lain  di  daerah  ini.  Pakaian  anak-anak  untuk  berpergian  sama  saja dengan  anak-anak  lain,  ada  yang  memakai  celana  pendek  dengan  kaus  panjang tanpa  pengalas  kaki,  dan  ada  juga  yang  mengenakan  celana  panjang  dengan kemeja/kaus tergantung  dari  kemampuan untuk  membeli  dan  acara  yang dilaksanakan. Pakaian laki-laki untuk berpergian terdiri dari celana panjang/pendek dan kemeja atau baju kaus dengan  memakai  alas  kaki  ataupun juga  tidak. Pakaian wanita  untuk  berpergian  terdiri  dari  kain  dan  baju  yang berbentuk  seperti  kebaya  jawa  dan  jenis  baju  ini  disebut  kebaya  pendek  atau bahkan baju pada umumnya. Pakaian ini dikenakan tanpa perhiasan kecuali sandal sebagai pengalas kaki.
Jadi  pakaian  masyarakat suku Nuaulu dapat dibedakan menjadi dua versi yaitu :
 (1) Pakaian sehari-hari, Untuk pakaian  sehari-harinya  masyarakat  suku  Nuaulu biasanya  memakai  pakaian  seperti  masyarakat  pada  umumnya.
(2)  pakaian  adat  yang  hanya  digunakan  khusus untuk  acara-acara  adat.[37]

2.5      Interaksi Kepercayaan Suku Naulu dengan Agama-agama Lain

Suku Naulu adalah suku yang bermukim di bagian utara pulau Seram di provinsi Maluku Indonesia. Pulau Seram selama ini lebih dikenal dengan suku Alifuru sebagai penduduk asli di pulau Seram ini, tapi di  bagian utara pulau ini, terdapat pemukiman suatu suku yang hidupnya masih terasing dan dikategorikan sebagai suku primitif, yaitu suku Naulu. Interaksi  suku Naulu dengan agama masyarakat sekitar dapat dikatakan saling menghargai, bahkan saat ada tradisi mereka yang dilarang karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, mereka pun rela melepas tradisi mereka. Salah satunya adalah tradisi yang kontroversial yaitu dimana ada rumah adat yang baru atau memeperbaiki rumah adat yang lama, maka mereka akan menggunakan kepala manusia dalam ritual sakral ini.
Namun pada Juli 2005 lalu, Pemerintah melarang suku Naulu untuk melakukan ritual ini, karena berlawanan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, serta menghormati agama-agama sekitar yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan. Awal mula dilarangnya tradisi ini karna warga Masohi kecamatan Amahai kabupaten Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan dua sosok manusia yang sudah terpotong-potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrene adalah korban persembahan tradisi suku Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe. Kepala manusia yang dikorbankan diyakini mereka akan menjaga rumah adat mereka dari bahaya ataupun gangguan roh-roh jahat yang diyakini oleh suku Naulu. Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain kepala yang nantinya diasapi adalah jantung, lidah, dan jari-jari. Sementara anggota tubuh yang tidak diambil makan akan dihanyutkan di aliran sungai Ruata (sungai yang mengalir di provinsi Maluku).
Menurut penuturan ketua adat suku Naulu, bahwa tindakan yang dilakukan warganya disebabkan karena ketidaktahuan akan hukum formal yang berlaku di Indonesia. Motivasi pembunuhan dengan mengambil kepala manusia dilakukan karena merupakan keyakinan mereka untuk melakukan ritual adat yang dinilai sudah terjadi sejak zaman nenek moyang mereka dan sangat sakral. Mereka tidak tahu kalau membunuh itu dilarang, dan bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.[38]
Suku Naulu hidup dengan cara memanfaatkan hasil hutan, seperti menjelajah hutan untuk berburu dan mencari apa saja di dalam hutan untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Selain itu mereka juga memiliki ladang yang ditanami beberapa jenis tanaman yang bisa menunjang kehidupan mereka. Suku Naulu umumnya masih menganut agama tradisional yang mereka sebut agama suku Noaulu. Kepercayaan ini diwariskan oleh para nenek moyang dan tokoh adat melalui tuturan (cerita dari turun-temurun). Pemerintah daerah setempat memasukkan agama kepercayaan mereka ini dalam kelompok agama Hindu, meskipun mereka menolaknya.
Suku Naulu yang berdiam di dusun Sepa, lebih terbuka untuk menerima agama Kristen dan Islam, sehingga beberapa warga mereka bisa dikatakan lebih maju dibanding dengan suku Naulu yang berada di dusun Nuanea, karena di dusun Sepa Mereka saling berinteraksi satu sama lainnya karena dusun mereka saling berdekatan. Dan dalam hal peribadatan, suku Naulu yang masih dapat dikatakan menyembah makhluk hidup dan benda mati ini tetap mengerti bagaimana cara peribadatan Kristen dan Islam yang juga saling berbeda dengan rasa saling menghargai. Mereka juga menerima masukan dan saling berbagi cara bercocok tanam dan berburu kepada orang-orang diluar suku Naulu yang masih bertetangga dengan mereka.
Dengan demikian, suku Naulu masih sangat menjaga hubungan baik dengan agama-agama sekitar dan lingkungan dimana mereka tinggal. Meskipun mereka tetap berpegang teguh terhadap kepercayaan mereka, namum mereka mau menerima masukan apabila tradisi mereka yang telah ada itu melanggar hukum di Indonesia.[39]


BAB III
PENUTUP


Suku Naulu sering disebut juga orang Naulu atau Nuahunai, artinya orang yang berdiam di hulu Sungai Nua yaitu daerah dari mana mereka berasal sebelum menempati daerah yang sekarang.Suku Naulu terletak di wilayah Kecamatan Amhai, kampung Lama/Yahisiro dan Bonara.Naulu terdiri dari dua kata Nua yang berarti air, Ulu artinya kepala. Jadi Naulu artinya suku yang mendiami kepala air Nua/ Sungai Nua. Penamaan suku Naulu dilatar belakangi oleh tempat tinggal nenek moyang mereka. Konsepsi tentang Tuhan agama suu Nauu iaa baa Upu Kuanahatana atau Upu Allah taala suatu zat yang merupakan kepercayaan tertinggi bagi suku Naulu. Apa saja permohonan mereka langsung dimintakan kepada Allah taala.


DAFTAR PUSTAKA


·         Hp,Suradi dkk. Upacara Tradisional Daerah Maluku. (Ambon: Departemen Pendidikan Kebudayaan. 1982).
·         J, Melalatoa. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1995).
·         Mufid, Ahmad Syafi’I. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI. 1999).
·         Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu










[2]Ahmad Syafi’I Mufid, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999), h. 104.

[3] Kabata adalah semacam nyanyi-nyanyian adat yang di iramakan ketika melaksanakan upacara ritual adat suku Naulu
[4] Ibid, Ahmad Syafi’I Mufid
[5]Ibid, h. 107-108.
[7]Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[8] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[9] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [10] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[11]Suradi Hp, dkk, Upacara Tradisional Daerah Maluku, (Ambon: Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1982)
[12]Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [13] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [14] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [15] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[16] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [17] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[18]Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[19] Suradi Hp, dkk. UpacaraTradisional Daerah Maluku. (Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982)
[20] Ibid, Suradi Hp, dkk

[21] Ibid, Suradi Hp, dkk
                [22] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [23] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [24] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[25] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [26] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [27] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [28] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[29] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [30] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [31] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [32] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [33] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[34] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [35] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
                [36] Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[37] Diakses dari  http://www.dahsyat.net/tradisi-suku-naulu/1477pada tanggal 16 maret 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar