Agama tradisional suku naulu
Disusun untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Agama-Agama Lokal
Oleh
Mustika Diani Dewi : 11140321000046
Mashlihatuz
Zuhroh : 11140321000078
M.
Rian Sujud Taufik : 11140321000077
DAFTAR ISI
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Suku Naulu merupakan suku bangsa yang berada di Provinsi
Maluku, Indonesia. Lebih tepatnya mereka mendiami daerah pulau Seram, Maluku
tengah. Suku ini memiliki ciri khas ikat kepala yang berwarna merah yang digunakan oleh para
lelaki dewasa, sedangkan para perempuan menggunakan selendang di pinggangnya.
Suku Naulu sebenarnya lebil fleksibel menerima
modernisasi sebab suku ini telah mengenal pakaian, bahan bakar minyak dan
sebagainya. Tetapi karena tradisi yang tak lazim yang Suku Naulu lakukan,
orang-orang masih banyak menganggap Suku Naulu sebagai salah satu suku yang
masih sangat primitif. Suku Naulu menggunakan bahasa Alifuru sebagai bahasa
komunikasi sehari-hari. Jika mereka berinterakasi dengan orang lain, mereka
lebih sering menggunakan bahasa tubuh. Namun, beberapa dari mereka bisa
berbicara bahasa Indonesia yang patah-patah.
Untuk membahas lebih lanjut mengenai asal usul,
ajaran kepercayaan, upacara keagamaan, adat dan etika suku Naulu, pemakalah
akan mencoba memaparkan dengan jelas lewat
isi makalah dibawah ini.
1.2 Rumusan masalah
1.
Bagaimana
sejarah dan asal-usul Suku Naulu ?
2.
Apa
pokok ajaran kepercayaan Suku Naulu ?
3.
Apa
upacara keagamaan Suku Naulu ?
4.
Bagaimana
adat dan etika Suku Naulu ?
5.
Bagamana
interaksi Kepercayaan Suku Naulu dengan agama-agama lain ?
1.3 Tujuan penulisan
1.
Untuk
mengetahui sejarah dan asal-usul Suku Naulu.
2.
Untuk
mengetahui pokok ajaran kepercayaan Suku Naulu.
3.
Untuk
mengetahui upacara keagamaan Suku Naulu.
4.
Untuk
mengetahui adat dan etika Suku Naulu.
5.
Untuk
mengetahui interaksi kepercayaan Suku Naulu dengan agama-agama lain.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Asal Usul Suku Naulu
Gambar Peta Letak Suku Naulu Maluku https://www.google.com/search?q=profile+suku+naulu&client=firefox-b-ab&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjuiqGB1-3MAhVCu48KHQtyB9YQ_AUIBygB&biw=1093&bih=515&dpr=1.25#tbm=isch&q=peta+letak+suku+naulu&imgrc=_
Maluku adalah salah satu provinsi yang terdapat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Di sana terdapat sebuah etnik yang bernama Naulu.
Stratifikasi sosial masyarakatnya pada dasarnya dapat dibedakan menjadi
tiga golongan, yakni golongan pemimpin soa (kapitang), tokoh adat dan rakyat
biasa. Golongan kapitang terdiri atas orang-orang yang secara genealogis masih
keturunan pendiri soa. Golongan tokoh adat terdiri atas orang-orang yang masih
keturunan tokoh adat. Sedangkan, golongan rakyat biasa adalah orang-orang yang
secara genealogis bukan keturunan pendiri soa dan tokoh adat.
Suku Naulu
sering disebut juga orang Naulu atau Nuahunai, artinya orang yang berdiam di
hulu Sungai Nua yaitu daerah dari mana mereka berasal sebelum menempati daerah
yang sekarang.[1]
Suku Naulu terletak di wilayah Kecamatan Amhai, kampung Lama/Yahisiro dan
Bonara. Naulu terdiri dari dua kata Nua yang
berarti air, Ulu artinya kepala. Jadi Naulu artinya suku yang mendiami
kepala air Nua/Sungai Nua. Penamaan suku Naulu dilatar belakangi oleh tempat
tinggal nenek moyang mereka. Sungai Nua bersumber di gunung Manusela dan
terbagi menjadi 2 bagian :
-
Nua
Ulu yang bermuara ke Seram Uatar.
-
Nua
Ulu yang bermuara ke Marakiri.
Asal muasal
mereka bertempat tinggal di Weri Hulawano (Kepala air Nua) karena terjadi
perselisihan antar klan. Akibat perselisihan itu para kepala suku bersepakat
untuk pindah ke pantai. Yang menjadi masalah mereka kemudian, pantai mana yang
cocok untuk menjadi tempat tinggal mereka yang baru? mereka juga mencari
acuannya di mana matahari naik pada bagian mana matahari masuk. Masing-masing kepala
suku berebutan tempat pada kedua bagian tersebut. Akibatnya, di antara mereka
pun berselisih ladi gan mereka kembali lagi ke Pia dan Weno di Amtrino.
Sekian lamanya
mereka tinggal di Pia dan Weno, kemudian
mereka melakukan hubungan dengan Raja Sepa. Raja Sepa tidak keberatan hidup
berdampingan dengan Suku Naulu asal saja suku Naulu memenuhi persyaratan-persyaratan
yang diajukan raja Sepa. Pesyaratannya yaitu :
1.
Kebiasaan
adat suku Naulu yang suka memotong kepala mansia supaya dihilangkan dan diganti
dengan kain merah (berang) dan piring tua serta tikar sebagai pembungkus orang
meninggal.
2.
Baileu atau rumah adat yang biasanya dipakai untuk rapat-rapat supaya
dipindahkan dari tepi pantai (tempat lama) ke tempat baru. Dan tiang Leewaka
ditanggung oleh suku Naulu.
Sejak itu suku Naulu
bertempat tinggal di Kampung Lama, yakni kurang lebih 25 km dari Sepa. Mulai
saat itulah tidak ada lagi adat Suku Naulu yang suka memotong kepala manusia
dan senantiasa bergotong royong jika Baeleu
Sepu dibangun.[2]
Gambar Profile orang Naulu
2.2 Pokok Ajaran Kepercayaan Suku Naulu
a.
Konsepsi
tentang Tuhan
Upu Kuanahatana atau Upu Allah
taala suatu zat yang merupakan kepercayaan tertinggi bagi suku Naulu. Apa saja
permohonan mereka langsung dimintakan kepada Allah taala.
Untuk melaksanakan pembacaan
doa tersebut harus ada upacara adat terlebih dahulu, seperti makanan, sirih,
pinang, tembakau, kapur dan beberapa jenis daun tertentu yang diletakkan di
atas piring tua. Para tetua adat diundang dalam upacara tersebut, tetua adat
diundang dalam upacara tersebut, tetua berdiri di tengah pintu sambil membaca kabata[3]
atau sejenis dengan itu.
NamaUpu kuanahatana sering mereka
pergunakan dalam sumpah. Jika mereka bersumpah, mereka menyebut: “eh Upu kuanahatana atau eh Upu Allah taala” sambil
telunjuk mereka ke atas.
Kalaupun ada kepercayaan
kepada arwah nenek moyang hal itu adalah bentuk penghargaan atas jasa-jasa
mereka selama hidupnya. Tetapi kepercayaan utama mereka hanya kepada Upu Allah
taala.
b.
Mite
Penjadian[4]
Ada beberapa mite dalam proses
kejadian alam ini. Pertama, Awalu
(Upu kuanahatana) menjadikan Nunusaku.
Nunusaku adalah suatu yang berpribadi. Dari Nunusaku inilah menjelma
seorang berpribadi yang berbentuk laki-laki dengan seorang wanita yang berasal
dari kayangan (langit). Dari hubungan kedua lawan jenis ini lahirlah manusia-manusia,
seperti Tala, Eti dan Sapalewa. Dengan izin Upu Kuanahatana darah yang mengalir
dari kelahiran Tala, Eti dan Sapalewaa itu menjadi danau. Danau itu mengalir
menjadi 3 sungai. Ketiga sungai itu adalah :
1.
Sungai yang
mengalir ke utara bernama Sapalewa.
2.
Sungai yang
mengalir ke selatan bernama Tala
3.
Sungai yang
mengalir ke barat bernama Eti.
Dari sinilah manusia dan alam berkembang hingga saat ini.
Kedua, Upu Kuanahatana menciptakan langit sebagai
pribadi laki-laki (adam) dan bumi sebagai pribadi perempuan (hawa). Dari
persentuhan kedua pribadi tersebut, lahirlah benda-benda alam yang lain.
Setelah terjadi semua isi bumi, Upu Kuanahatana menurunkan Maatope dari langit.
Maatope diturunkan dari langit dengan tali seperti benang sutera yng sangat
halus, mengingat bumi dimana tempat turunnya Maatope ini masih cair. Berubah
padat, dan akhirnya Maatope Maanawa yakni Maatope laki-laki. Setelah itu Upu
Kuanahatana menciptakan Maatope Hihina (perempuan) dari langit. Langsung
diturunkan ke bumi. Dari Maatope Maanawa dari Maatope Hihina inilah berkembang
manusia.
Sebagai bukti bahwa
Maatope/Upu Ama itu keluar dari Nunusaku ialah Kabata yang berbunyi “ He le te Nunusaku” intinya dari ungkapan
kabata ini Maatope berasal dari Nunusaku.[5]
2.3 Upacara Keagamaan Suku Naulu
Suku ini sebenarnya memiliki dua
tradisi yang aneh yaitu mengasingkan wanita yang sedang haid dan melahirkan,
serta tradisi memenggal kepala manusia sebagai persembahan. Di
setiap pemukiman masyarakat suku ini baik yang telah dimukimkan pihak
pemerintah maupun yayasan pembinaan masyarakat terasing bahkan yang masih hidup
mengembara di pedalaman Pulau Seram, kaum lelakinya membangun gubuk-gubuk kecil
yang disebut gubuk Posuno.
Tradisi memotong kepala manusia yang
mengerikan ini untungnya sudah hilang sejak awal 1900-an. Namun sempat muncul
kembali pada tahun 2005 dua mayat tanpa kepala di Kecamatan Amahai Kabuaten
Maluku Tengah. Usut punya usut dua orang yang malang itu dipenggal kepalanya
untuk persembahan atau ritual tradisional suku Naulu.[6]
Gambar tengkorak pemotongan kepala https://www.google.co.id/search?q=suku+naulu&biw=1366&bih=657&source=lnms&tbm=isch&sa=X&sqi=2&ved=0ahUKEwi4i-zy8oHNAhXEtY8KHUCFBA4Q_AUIBigB#imgrc=HWKlVyPPXlbErM%3A
Masyarakat Suku Naulu menganggap bahwa dengan mempersembahkan
kepala manusia, maka rumah-rumah adat mereka akan terbebas dari musibah.Selain
itu, ada juga tradisi jika seorang raja Suku Naulu hendak mengambil seorang
menantu laki-laki, calon menantu tersebut harus mempersembahkan kepala manusia
sebagai mas kawin dan juga bukti kejantanannya.
Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain kepala yang
nantinya diasapi adalah jantung, lidah, dan jari-jari. Sementara anggota tubuh
yang tidak diambil dihanyutkan di aliran sungai Ruata, tidak jauh dari
perkampungan suku Naulu dari komunitas Nuane.
Gubuk
–gubuk ini dibangun sebagai tempat berlindung sementara yang aman bagi kaum
wanita saat mereka menjalani masa haid maupun melahirkan. Gubuk posuno sebagai
tempat mengasingkan diri sementara itu berukuran 2×2 meter berdinding dan
beratap daun sagu dilengkapi sebuah tempat tidur yang disebut tapalang
berukuran 1×2 meter.[7]
Gambar rumah pengasingan bagi wanita
haid dan melahirkan
Sejauh ini tidak ada yang melanggar
tradisi adat tersebut. Sanksi bagi pelanggarnya akan dikucilkan dari masyarakat
adat setempat dan juga dikenakan denda berupa pembayaran piring tua dan kain
berang (merah) bagi kaum perempuan.
Di kalangan
mereka ada suatu tradisi yang termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu.
Yaitu upacara yang berkenaan dengan masa peralihan dari masa kandungan hingga
kelahiran. Upacara tersebut dinamakan oleh mereka upacara “Suu Anaku” yang
berarti “memandikan anak”.
Ada dua versi yang berkenaan dengan tujuan upacara
ini. Versi yang pertama mengatakan bahwa tujuan dari upacara ini adalah agar
bayi baik ketika masih dalam kandungan hingga ketika dilahirkan tidak di ganggu
oleh roh-roh jahat. Versi ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan mereka
bahwa seorang perempuan yang sedang berbadan dua (mengandung) berada dibawah
pengaruh roh jahat yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan sesuatu yang tak
diinginkan (mencelakakan), baik terhadap ibunya maupun calon bayi untuk
melenyapkan pengarh roh-roh jahat tersebut maka perlu di lakukan upacara Suu
Anaku. Sedangkan versi lainnya mengatakan bahwa upacara Suu Anaku bertujuan
untuk menghilangkan pembawaan-pembawaan lahiriyah (sifat, watak, dan lain
sebagainya) yang buruk pada sang bayi. Versi ini sangat erat kaitannya dengan
kepercayaan bahwa watak seseorang ditentukan oleh watak yang di miliki oleh ama
(ayah) dan ina (ibu).
Tata laksana yang lebih
rinci upacara Suu Anaku :[9]
1.
Ketika seorang perempuan hamil tua akan
melahirkan, maka ia akan diantar oleh irihitipue dan kaum perempuan sekitar
rumah yang telah dewasa menuju ke posuno. Setelah ibu hamil sampai di posuno,
maka pihak keluarga perempuan akan memberi tahu pihak kerabat suaminya bahwa
tidak lama lagi akan berlangsung persalinannya. Pada saat kelahiran tiba,
irihitipue meminta kepada yang hadir dalam posuno untuk berdoa kepada Upu
Kuanahatana (Tuhan pencipta alam semesta) agar kelahirannya lancer. Setelah
sang bayi lahir, irihitipue mengambil kaitimana untuk memotong pusar bayi.
Setelah terpotong pusar bayi kemudian di ikat menggunakan rotan. Kegiatan
dilanjutkan pemandian bayi menggunakan air keramat yang diambil dari daerah
hulu sungai nua. Air tersebut dimasukkan ke
dalam
ruas-ruas bambu. Sama seperti sebelumnya saat pemandianpun masih diiringi
dengan doa-doa. Setelah dimandikan kemudian sang bayi diberikan kepada ibunya
sedangkan para perempuan yang mengikuti upacara akan kembali ke rumah
masing-masing.
2.
Setelah bayi berusia 8 hari upacara
kedua diadakan yaitu pemandian bayi kembali. Upacara ini dimulai atas intruksi
irihitipue kepada ukakie (saudara tertua perempuan yang melahirkan) untuk
mengambil dan menggendong bayi tersebut dari ibunya yang kemudian diserahkan
kepada irihitipue yang telah menyiapkan ruas-ruas bambu yang berisi air keramat.
Kemudian bayi dimandikan dan dikeringkan. Kemudian diberi pakaian dari sejenis
pohon cidaku, namun sekarang seiring perkembangan zaman pakaian tersebut
diganti dengan pakaian tekstil. Acara selanjutnya penyerahan kembali bayi dari
irihitipue kepada ukakie untuk acara penghentakan kaki bayi ke tanah. Maknanya
yaitu sebagai isyarat bahwa tanah merupakan sumber kehidupan. Sangat erat
kaitannya dengan mata pencaharian mereka sebagai seorang pemburu dan bercocok
tanam. Setelah acara penghentakan maka akan dibawa ukakie dan rombongan keluarga
ke rumah orang taunya.[10]
3.
Sesampai di rumah sang bayi dan ibunya
telah di tunggu oleh ayahnya. Ukakie menyerahkan kembali kepada ibunya, dan
ibunya berjalan ke arah suami menyerahkan bayinya. Oleh sang suami bayi tersebut
kemudian di perlihatkan kepada semua hadirin. Setelah selesai di perkenalkan
mereka semua dipersilahkan menuju meja upacara untuk makan bersama. Jenis
makanannya; papeda, tutupola, dan alu-alu. Seluruh makanan harus disediakan
oleh kelompok kerabat (soa) perempuan. Sebagai imbalannya pihak kerabat suami
menyerahkan sejumlah piring atau mangkuk tua buatan tiongkok. Jumlah piring
yang diberikan harus sama dengan jumlah makanan yang disediakan. Setelah
makan-makan dilanjutkan tari-tarian yang diikuti oleh semua semua peserta
upacara tari tersebut disebut tari mako. Sementara perta berlangsung irihique
memberi isyarat kepada ibu sang bayi untuk kembali ke posuno yang diiringi oleh
kerabat-kerabat perempuan. Setelah tiba di posuno, para kerabat meninggalkan ibu
dan sang bayi pergi kembali melanjutkan acara pesta adat.
4.
Setelah pesta adat maka sang ayah satu
sampai tiga hari diharuskan membawa bayi pergi ke tengah hutan untuk melakukan
bagian terakhir dari upacara Suu Anaku. Untuk itu sang ibu dan anaknya di keluarkan
oleh irihitipue dari posuno dengan disaksikan oleh para kerabat perempuan. Sang
suami kemudian menjemput sang istri untuk pergi menuju ke hutan tempat
pelaksanaan upacara selanjutnya. Setelah tiba di tempat yang ditentukan, sang
ayah mengambil daun-daun sagu dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga berbentuk
seperti tikar. Bayi mereka diletakkan diatas tikar tersebut dan di tunggui oleh
ibunya. Maksud dari upacara ini adalah untuk memperkenalkan bayi kepada roh
para leluhur, juga sebagai pernyataan syukur keluarga yang ditujukan kepada Upu
Kuanahatana atas kelahiran anak mereka. Menjelang matahari terbenam berakhirlah
acara ini, maka mereka bertiga pulang ke rumah. Kedatangan mereka telah di
tunggu oleh irihitipue bersama kelompok kerabat yang akan mengantarkan ibu
tersebut bersama bayinya kembali ke posuno hingga 40 hari setelah melahirkan.
Setelah 40 hari barulah mereka diperbolehkan untuk pulang ke rumah.[11]
B. Upacara Masa Dewasa bagi
Perempuan (Pinamou)[12]
Istilah
pinamou dalam pengertian
lokal berarti wanita
bisu karena selama berlangsungnya
upacara ini si wanita bertindak seperti orang bisu. Wanita pinamou dibolehkan
berbiacara tapi harus
berbisik tidak boleh
berbicara keraskeras. Adapun
maksud dan tujuan
penyelenggaraan upacara ini
adalah untuk mangalihkan status
seorang perempuan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Upacara
masa dewasa bagi
seoranga anak perempuan
mempunyai arti penting dalam
tata kehidupan masyarakat
suku Nuaulu, sebab
pesta adat yang diadakan
dalam kaitannya dengan
upacara ini merupakan
pernyataan bahwa didalam
masyarakat telah bertambah seorang wanita dewasa yang telah siap untuk berumah
tangga. Karena pentingnya, sehingga upacara ini tidak hanya melibatkan si gadis
yang diupacarakan bersama kelompok kerabatnya tetapi juga melibatkan masyarakat
umum.
Kerabat dari pihak ayah dan ibu bertugas menyiapkan
bahan makanan yang diperlukan didalam pesta adat nanti. Sebaliknya
kelompok kerabat wanita
selain bertugas untuk
menyediakan makanan selama si gadis berada di posuno, mereka juga terlibat dalam kegiatan
yang diupacarakan misalnya,
mempersiapkan posuno, memasukan
si gadis kedalamposunomemandikansi
gadis, menyuguhkan sirih pinang (apapua) dan sebagainya.
Proses pelaksanaann upacara
ini dibagi dalam
8 tahap. Untuk lebih
jelas tahapannya dirincikan sebagai berikut:[13]
a) Memasukan
pinamou ke dalam posuno
Ketika
sang gadis mengetahui
bahwa ia telah
mendapat haid pertama, segeralah ia memberitahukan hal
tersebut kepada salah seorang keluarganya yang wanita (wanita
dewasa) atau langsung
pada ibunya. Selanjutnya
sang ibu memberitahukan dan mengumpulkan
kerabatnya. Mereka segera mempersiapkan posune,
yang akan dipakai
sebagai tempat pengasingan
sementara dan sebagai tempat pelakasanaanya upacara.
Setelah
posuno selesai dikerjakan
si gadis yang
mendapat haid/pinamou segera mereka
bimbing untuk masuk kedalam
posuno.Sementara itu mama biang menyiapkan api
unggun. Kayu untuk
api unggun adalah
sejenis kayu yang
manakayu untuk api
diambil oleh mama
biang di rumah
adat dari marga
sang gadis.Misalnya sang gadis
bermarga sounawe maka arang api tersebut
langsung diambil dari rumah adat sounawe.
Didalam
masa upacara pinamou
si gadis hanya
mengenakan kain yang menutup dari arah dada ke bawah. Si gadis dilumuri dengan arang di seluruh
bagian tubuhnya sampai wajahnya kemudian ditutupi dengan kain dan dibagian
kepala dibuat semacam karungan
ayam sehingga tidak
kelihatan bagian muka
dan tubuhnya sampai akhirnya dia akan menggunakan pakaian adat.
Selama berada di
posuno, semua keperluan
terutama makanan dan minumam dibantu oleh ibu dan saudara
perempuan ibu. Didalam posuno, pinamou dibantu untuk belajar memasak sendiri,
membuat anyaman, menggunakan bahan logam atau yang dijual di tokoh untuk
keperluan memasak di dalam posuno semua alat
terbuat dari bahan
alam seperti tempurung
kelapa dan buah
kalabasa yang dijadikan wadah
makanan, kayu bakar
untuk memasak. Pinamou
tidak diperbolehkan untuk mandi,
jadi berapapun lamanya
didalam poseone ia
tidak boleh mandi sampai
akhirnya tiba pada
acara pemandian. Setelah
si gadis telah berada dalam posuno, anggota kelompok
kerabat lainnya, wanita dari pihak ayah
dan kerabat dari
pihak ibu diberitahukan. Karena
mereka inilah yang
akan mempersiapkan bahan-bahan makanan
yang diperlukan untuk
melakukan perburuan untuk mengadakan pesta adat nanti.
b) Menokok
sagu, berburu untuk disajikan pada pesta pinamou[14]
Selama
pinamou ada didalam
posuno, orang tua
kemudian mengadakan rapat untuk
menentukan kapan akan dilaksanakan
penebangan pohon sagu untuk menjadi
makanan, dan melakukan
kegiatan berburu dengan
anjing, atau biasa mereka sebut dengan lepas anjing.
Semuanya dilakukan untuk meyiapkan segala hal menyambut keluarnya pinamou dari
posuno.
c) Membersihkan
diri (karisa pinamou)
Jika orang tua merasa bahwa makanan yang dibutuhkan
sudah mencukupi untuk memberi makan
masyarakat sekampung, dan hari
penentuan untuk keluar telah disepakati oleh orang tua dan dukun desa/mama biang, maka tibalah waktu untuk keluar dari posuno menuju ke rumah adat. Namun sebelum keluar pinamouharus
ada dalam acara
membersihkan diri. Diawali
dengan dukun desa/mama biang mengambil air dari ruas bambu
yang telah dipersiapkan dan menyiramnya secara bergantian pada seluruh bagian
tubuh si gadis di dalam posone.
d) Pemberian
Pakaian Adat[15]
Pemberian
pakaian adat dilakukan
di depan posuno
yang diawali dengan seluruh tubuh pinamou di gosok dengan kunyit yang telah dihaluskan
dan minyak kelapa. Semua dipakaikan oleh mama biang dan kerabat yang hadir
dalam prosesi acara. Selesai pengolesan ini
semua rombongan upacara dukun/dukun atau mama biang dan anggota kelompok
kerabat juga menggosok wajah mereka dengan sisasisa kunyit
(kuning) dan minyak kelapa. Selesai acara ini tibalah satnya sang gadis diberi
pakaian. Upacara pemberian pakaian dilakukan
di bawah pimpinan mama biang dibantuoleh kerabat dari pinamou.
Pakaian yang dikenakan
kepada si gadis
adalah pakaian adat
yang dinamakan kaeng timor. Pakaian yang dikenakanpun hanya selembar
kain yang menutup bagian pinggang ke bawah sedangkan bagian atasnya ditutupi
dengan perhiasan berupa manik-manik.
Sebagai perhiasan juga konde digunakan
serarie. serarie di dibuat dari rangkaian manik-manik warna-warni. Setelah acara
pemberian pakaian selesai. Ia
kemudian dituntun untuk berjalan menuju
ke rumah adat sesuai marga sang gadis Pinamou dan
disaksikan oleh semua
orang yang ada
di tempat tersebut. Dalam perjalanan
menuju rumah adat
tersebut, rombongan wanita
ini bernyanyi sambil berpantun adat seperti berikut:[16]
Pinamou ita tani
Nusa nyamana ninia sou
Hailele numu sala hailalo
Hia,hia hoe-hoe salu-salu yanihole lete yai sioooo
Terjemahannya:
Gadis bisu menangis
Desa berbicara banyak
Musuh jatuh, salah dan tidak mati
Anak-anak muda diberi cawat dan panah lalu maju
menyerang
Sorak-sorak , mari-mri sampai disini kita berhenti.
e) Papar Gigi
di dalam Rumah Adat
Sesampai
di rumah adat,
si gadis dipersilahkan
masuk ke dalam
rumah adat kemudian duduk
di tempat yang
telah disediakan yaitu
tikar. Sang gadis duduk
dengan cara melipat
kedua kakinya kebelakang.
Selanjutnya kepala suku dan
mama biang mulai
melakukan upacara papar
gigi, yang dimulai
dengan menaikan doa. selanjutnya
mengambil sebuah batu
khusus kemudian mendoakannya dan
sang gadis diperintahkan
untuk menggosok bagian
giginya sampai seluruhnya menjadi rata. Batu yang dipakai
untuk acara papar
gigi ini, tidaklah
diketahui apa nama
dan bagaimana bentuknya karena
dianggap sakral sehingga
tidak boleh dikatahui orang luar.
Selesai acara ini
rombongan meninggalkan posone
menuju kedesa kembali.
f) Suguhan
Pinang dan Makan bersama (makan patita)
Setelah papar
gigi kemudian oleh mama biang
menyuguhkan siri pinang (apapua) dan si gadis kemudian mengambilnya dan
mulai mengunyahnya. Acara dilanjuti dengan
semua rombongan upacara
diundang untuk mengambil
bagian dalam acara makan
bersama (makan patita).
Jenis makanan wajib
yaitu pinang, kemudian diikuti
dengan makan kue
dari adonan tepung
pada umumnya dan minum teh.
g) Membuat
Nuite (menyusun sagu dan pisang )
Setelah penyuguhan pinang oleh mama biang dan makan
bersama dengan kerabat, acara
selanjutnya membuat nuite
yaitu hasil menokok
sagu dan hasil kebun
diantaraya pisang yang telah
dipersiapkan oleh kerabat
disusun bentuk lingkaran, pisang
pada posisi melingkar
sedangkan di tengah
lingkaran di beri sagu. Pembuatan nuite melibatkan peserta
upacara hadir. Sementara semua peserta
upacara terlibat dalam
pembuatan nuite sang gadis
oleh kepala soa
dari marga sang
gadis meyuguhkan siri
pinang (apapua) seperti penyuguhan
siri pinang sebelumnya
oleh mama biang.
Selanjutnya disuguhkan juga
makanan, jenis makanan yang disiapkan
diantaranya sagu dan pisang seperti yang di sediakan dalam pembuatan
nutie.
h) Pemandian
Terakhir[17]
Setelah pagi tiba, sang gadis diantarkan kesebuah
sungai yang tidak jauh jaraknya
dari nergeri tempat
kediaman. Pada sungai
dipergunakan untuk memandikan
sang gadis. Mama biang berdoa untuk
memohon keselamatan bagi sang
gadis. Demikian upacara masa
dewasa bagi gadis perempuan selesai. Sang
gadis telah sah dinyatakan sebagai gadis dewasa. Menurut Pina Erae Sounawe (35 tahun) pada
masa haid berikutnya tidak ada lagi didakan upacara-upacara khusus.
Dalam hal ini
si gadis hanya
diharuskan mengasingkan diri
ke rumah pamali (posune) selama
berlangsungya masa haid.
Setelah masa haidnya
berakhir baru kemudian ia
diperbolehkan untuk mandi
bersih dan meninggalkan
posuno. ketika seorang gadis
dimasukan ke ponose pada masa haidnya adalah tidak boleh ada seorang priapun
yang boleh melihat. Posune dan darah
disekitarnya merupakan daerah
pamali, artinya daerah
yang pantang didekati oleh para
pria. Daerah tersebut dianggap mengandung banyak kekuatan gaib yang bersifat
destruktif bagi mereka.
Pantangan lainnya yaitu
selama berada didalam
posuno, makanan yang diberikan
haruslah berupa makanan
yang dimasak didalam bambou, dan air minum harus direbus dalam yang terbalut dari tanah liat. Selama berada
di posune, dia tidak diperkenankan
menggunakan benda diluar batas garisyang
ditandai dengan daun
kelapa yang mengelilingi
posune sengaja ataupun tidak
kecuali bila hendak
diupacarakan.[18]
C. Upacara Tihi
Huau[19]
Mereka (masyarakat Nuaulu) menumbuh-kembangkan suatu
tradisi yang disebut sebagai Tihi Huau. Tradisi ini sangat erat kaitannya
dengan kepercayaan yang diyakininya. Menurut mereka, seorang anak, baik
laki-laki maupun perempuan, mudah disusupi atau dipengaruhi oleh roh jahat.
Untuk itu, perlu diadakan suatu upacara agar anak terhindar dari pengaruh
tersebut. Selain itu, yang tidak kalah penting nya adalah agar sifat-sifat
buruk (jahat) orang tuanya tidak menurun kepada anak, sehingga di kemudian hari
anak dapat melaksanakan peran sosialnya dengan baik (mematuhiaturan-aturan,
norma-norma dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya). Pemutusan pengaruh
jahat itu disimbolkan dengan pemotongan rambut karena rambut, menurut
kepercayaan mereka, merupakan bagian dari tubuh manusia yang berdaya magis.
1) Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam upacara ini adalah: (1)
bulusero, yaitu sebuah alat cukur yang terbuat dari belahan bambu; (2) sisir
yang terbuat dari sabut kelapa; (3) sebuah tempat duduk (kursi); dan (4) seruas
bambu yang pada gilirannya akan dijadikan sebagai tempat penyimpanan
rambut yang dipotong. Selainperalatan,
ada kelengkapan yang berupa makanan dan minuman, seperti: pisang, air putih dan
atau the dan beberapa jenis makanan yang terbuat dari sagu (tutupola, alu-alu,
sagutumbu, danpapeda).
2) JalannyaUpacara[20]
Upacara ini diawali dengan pendudukkan anak yang akan
dipotong rambutnya pada sebuah kursi yang telah disediakan, diikuti oleh
kerabatnya dalam posisi membentuk lingkaran (mengelilinginya). Kemudian,
momokanate (sebutan untuk kepala soa yang bertindak sebagai pemimpin upacara)
menghampirinya, membaca doa (dalam hati) dan memotong sebagian rambut anak yang
diupacarai dengan alat yang disebut bulusero. Jadi, bukan alat cukur yang
terbuat dari logam, karena menurut kepercayaan masyarakat Nuaulu, alat cukur
logam mengandung kekuatan-kekuatan sakti yang dapat membahayakan diri anak
(kekuatansakti yang sifatnya destruktif). Ketika pencukuran berlangsung pihak kerabat
tidak hanya diam tetapi juga memanjatkan doa kepada Upu Kuanahatana d8an roh nenek moyang
agar selamat.
Sebagai catatan, bagian rambut yang dicukur oleh momokanate disesuaikan dengan
status sosial dari keluarga penyelenggara upacara. Apabila yang diupacarakan adalah
anak seorang kapitang, maka rambut yang berada di bagian depan kepala tidak boleh
dicukur. Apabila anak seorang tokoh adat, maka rambut yang berada pada bagian tengah
kepala (bubungan/ubun-ubun) tidak boleh dicukur.Sedangkan apabila anak rakyat biasa,
maka rambut pada bagian belakang kepalanya tidak boleh dicukur. Dengan demikian,
rambut yang dibiarkan (tidak dicukur) sekaligus merupakan tanda pengenal bagi masyarakat.
Dengan melihat letak rambut pada bagian kepala anak tersebut orang dapat mengetahui
dari kalangan masyarakat manakah anak itu berasal.
Sebagai catatan pula bahwa kepalasoa (momokanate) yang bertindak sebagai pemimpin
upacara adalah yang berasal dari soa yang sama dengan ayah si anak yang
diupacarai. Soa adalah suatu kesatuan masyarakat yang berdasarkan genealogis teritorial.
Orang Nuaulu yang tinggal di daerah Amahi mempunyai 11 soa yang tergabung dalam
4 negeri (desa). Momokanate merupakan orang yang dipercaya untuk memimpin dan melaksanakan
upacara tihihuau karena merupakan lambing kehormatan dari soa. Dia merupakan tokoh
yang dihormati dan disegani serta dianggap memiliki kharisma-kharisma dan mempunyai
kekuatan-kekuatan sakti yang dapat mengalahkan pengaruh roh-roh jahat. Pencukuran
rambut oleh tokoh ini merupakan suatu perwujudan rasa hormat masyarakat terhadap
pemimpin soa-nya. Selain momokanate, pihak-pihak yang juga terlibat dalam kegiatan
upacara ini adalah anggota-anggota kelompok kerabat dari pihak ayah maupun ibu dari
anak yang diupacarakan.
Setelah pencukuran pada bagian tertentu (bergantungpada status sosialnya)
selesai, maka langkah selanjutnya adalah penyisiran rambut dengan sabut kepala oleh
momokanate. Selanjutnya, kepala dibersihkan dengan air yang telah dimanterai oleh
momokanate. Penyiraman ini sekaligus merupakan simbol bahwa anak telah bebas dari
pengaruh pembawaan buruk dari orang tuanya ataupun pengaruh roh jahat.[21]
Rambut dari anak yang telah diupacarakan oleh momokanate di ambil sebagian,
kemudian dimasukkan ke dalam ruas bambu yang telah dipersiapkan. Setiap ruas
bamboo dari setiap individu diberi tanda pengenal khusus untuk mencegah kekeliruan
dalam pengambilannya. Ruas bamboo itu kemudian ditempatkan di dalam numaonate atau
rumah soa sebagai data jiwa. Jadi, bila di dalam sebuah numanoate terdapat 650
ruas bambu, berarti jumlah penduduk negeri (desa) yang bersangkutan adalah 650
jiwa. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam jumlah jiwa, maka jika pemiliknya meninggal,
ruas bambu yang berisi rambutnya pun ikut dikuburkan.
Acara selanjutnya adalah santap bersama.Untuk itu, tuan rumah
(penyelenggara upacara) mempersilahkan semua undangan mencicipi hidangan yang
telah disediakan di dalam rumahnya. Santap bersama yang merupakan penutup dari rangkaian
upacara ini sekaligus merupakan ungkapan terima kasih kepada Upu Kuanahatana dan
roh-roh para leluhur karena upacara berjalan lancar.
Sebagai catatan, hidangan yang disediakan adalah makanan sehari-hari yang
biasa disantap oleh seluruh lapisan masyarakat Nuaulu. Dengan demikian, orang
dari lapisan atau golongan sosial manapun dapat melaksanakan upacara ini.
D. Ritual masa Dewasa bagi
laki-laki[22]
Dalam
kehidupan suku Nuaulu
laki-laki mempunyai kedudukan
khusus di dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat.
Anak laki-laki sejak kecil telah
ditempa sedemikian rupa
sehingga mereka setelah
dewasa mampu bertindaksebagai pria-pria
yang bertanggung jawab.
Kalau kedewasaan wanita nuaulu ditentukan oleh datangnya haid, maka
kedewasaan seorang laki-laki ditentukan berdasarkan kedewasaannya menggunakan
senjata, panah dan
tombak. Kelangsungan hidup masyarakat suku Nuaulu
sangat ditentukan oleh
tombak dan panah.
Kalau pada masa dulu
kedua alat ini berfungsi untuk mempertahankan diri dari kemungkinan
serangan musuh dan
berburu, maka kini
fungsi pertama sudah
hilang.
Pewarisan
nilai-nilai budaya yang
terdapat dalam tombak dan
panah dilakukan sejak
seorang anak laki-laki
masih berada dalam usia muda,
pada usia 5-6 tahun anak laki-laki sudah diperkenalkan dengan kedua senjata
ini. Mulai dari
cara memegangnya menimbang-nimabangnya sampai akhirnya
ia memiliki kemampuan
dan ketrampilan menggunakannya. Proses pewarisan
nilai-nilai ini dilakukan
secara langsung. Misalnya
dengan mengikutsertakan sang anak dalam kegiatan berburu. Pada masa
lampau, seorang anak
laki-laki dinyatakan dewasa apabila
dia telah sanggup
melakukan pengayungan
(pemenggalan) dengan membawa
pulang kepala seorang
pria dewasa. Jadi kedewasaan dalam pengayungan menentukan
kedewasaan seorang anak laki-laki. Dengan
demikian ia dapat dikategorikan sebagai
pelindung dan pembela
warga masyarakatnya
khususnya anak-anak dan
kaum wanita. Namun
dewasa ini nampaknya telah
terjadi pergeseran nilai
dalam kriteria penentuan
kedewasaan tidak lagi ditentukan
dari kemampuan menganng
kepala manusia tetapi
oleh kemampun berburu, menokok
sagu dan bertani.
Kalau dan segera
orang tuanya bersiap-siap untuk
mengadakan upacara masa dewasa
bagi anak-anak.[23]
Dalam
bahasa daerah setempat
upacara masa dewasa
bagi anak laki-laki disebut pataheri
yang berarti pemakaian
cidaku dan kain
berang (kain merah) yang
mempunyai arti penting
bagi kehidupan seorang
pria Nuaulu karena mengandung arti
pengakuan masyarakat secara
yuridis formal akan
hak dan kewajiban seorang
anak laki-laki serta dianggap sebagai
ajang melepaskan dosa dan harus
berdiri sendiri. Upacara
ini biasanya diadakan
dalam tujuh tahap.
Pertama kurungan selama3 hari kedua, tahap berburu
dan mencari dammar ketiga pemandiandan taha pemakaian cawat
(cidaku) keempat,menuju ke
baeleokelima,pemotongan kepala ayam dan pembelahan kelapa , keenam pataheri dan
ketujuh papar gigi.
Ritual pataheri adalah ritual inisiasi bagi anak-anak
laki-laki Nuaulu
yang telah berakil balig. Bagi masyarakat suku Nuaulu pemakaian kain berang
merah dikepala merupakan simbol kematangan dalam menjalankan tanggung jawabnya
sebagai masyarakat Nuaulu.
Maksud dan tujuan
upacara pataheri ini
pada dasarnya sama dengan
upacara pinamou yang
diselenggarakan bagi seorang wanita, yaitu
mengalihkan status anak
laki-laki dan masa
kanak-kanan ke masa dewasa.
Dengan demikian ketiga tahap pelaksanaan upacara ini bertujuan untuk
mengesahkan kedudukan anak
laki-laki sebagai anggota
masyarakat yang dianggap telah mampu
bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat. oleh karena itu secara adat ia
diperkenankan untuk membentuk keluarga.
Adapun
beberapa syarat yang
dipakan sebagai patokan
dalam menentukan keperkasaan dan kekuatan mereka adalah sebagai
berikut:a) Mengerti bahasa,b) Bertanggung jawab, c) Dapat diandalkan, d) Tangguh, gesit dan disiplin.[24]
Tempat pelaksanaan upacara masa dewasa bagi anak
laki-laki yaitu berrlangsung pada
tempat di mana
dahulu diambil tiang
pertama beileo (rumah adat)
suku Nuaulu yang
letaknya di dekat
tanjung (daerah ini
banyak sekali pohon-pohon besar). kepala
suku (Matoke) sebagai pemimpin upacara, dibantu oleh kapitan yang juga merangkap
sebagai kepala soa dari soa yang
ada. Selain mereka
rombongan upacara nantinya
juga adalah pria dewasa dari suku nuaulu, mereka
berfungsi sebagai saksi dari pelaksana upacara dan nantinya ada dalam kegiatan
tarian maku-maku. Upacara masa dewasa
bagi seorang anak laki-laki merupakan peristiwa yang penting bagi suku nuaulu,
oleh karena pelaksanaannya memerlukan persiapan-persiapan yang baik. Setelah para orang tua
melaporkan anaknya yang
mengikuti upacara ini,
karena menurut mereka anak-anak
mereka telah cukup
mahir dalam menggunakan
tombak dan panah untk
berburu, juga mampu
berladangn, kebun dan
menokok sagu. Maka diadakanlah peburuan
masal oleh seluruh
pria dewasa dalam
lingkungan suku Nuaulu. Oleh para
ibu disiapkan semua perbekalan baik itu sagu, pinang, ubi jalar, ubi talas,
singkong dan lain sebagainya.
Jauh
sebelumnya telah dipersiapkan
pula cawat yang
nantinya akan dikenakan oleh
si anak (cidaku)
itu biasanya dibuat
dari kulit kayu reime/semacam kayu pohon daun gondal
putih (kayu khusus) yang biasanya ada didalam
hutan. Setelah batang
kayu diambil kemudian
diolah dan digunting membentuk cawat.
Selain cawat, dipersiapkan
pula 2 helai
kain berang (kain berwarna merah darah) untuk
masing-masing anak yang akan diupacarakan, satu buah kelapa 1 ekor ayam untuk
setiap anak. Untuk diketahui, bahwa selama ritual ini berlangsung pada siang
hari akan diadakan tarian cakalele sedangkan malamhari akan dilangsungkan
tarian maku-maku (semua laki-laki saling bergandengan tangan membentuk
lingkaran megelilingi baeleo).
Adapun
beberapa tahap yang dilakukan dalam pelaksanaan upacara
pataheri adalah sebagai berikut:[25]
a)
Kurungan Selama 3 hari
Setelah semua
persiapan selesai dilakukan,
pada hari yang
telah ditentukan dilaksanakanlah rangkaian upacara. Semua peserta
pataheri berkumpul kemudian diberikan nasihat dan pengarahan oleh kepala adat
Matoke dan kepala soa serta
tua-tua adat lainnya,
setelah kegiatan penghargaan
selesai, maka selanjutnaya mereka
dipersilahkan secara khusus oleh kepala suku untuk berdoa. Anggota pataheri dimasukkan/dikurung dalam
rumah kepala suku
dan selama masa
kurungan mereka tidak melakukan apa-apa. Di dalam masa kurungan mereka
merenungkan nasib mereka, karena setelah ritual ini selesai mereka punya
tanggung jawab yang besar, sudah harus berdiri sendiri
serta membangun keluarga
nantinya, mereka harus benar-benar siap dalam menjalankan setiap rangakaian
prosesi ritual yang akan dilaksanakan.
Selama masa kurungan,
mereka tidak diperbolehkan
dilihat oleh kaum perempuan
oleh karena itu segala keperluannya
dilayanioleh kepala suku. Setelah tiga hari mereka dikelurakan kemudian dipakaian
cawat yang tadiya telah disiapkan masing-masing.
b)
Berburu dan mencari kayu dammar[26]
Langkah berikutnya adalah beruburu dihutan. Kegiatan berburu
ini hanya dilakukan
oleh pemuda yang
akan melakukan pataheri. Berburu
berlangsung selama 2 hari saja.
c)
Pemandian, pemakaian cawat dan berang
merah diikat dipingang
Upacara
pataheri kemudian dilanjutkan
berjalan pataheri membersihkan diri/ mandi kemudian mereka
dipakaikan cawat yang tadinya digantung dibaeleo. Selanjutnya kain
berang (kain merah)
dipakaikan menutupi bagian
depan (kelamin laki-laki), atau
seiring mereka sebut
sebagai pakaian adat
(laki-laki) yang telah disiapkan
oleh orang tua
(ina) mereka masing-masing. Setelah
itu mereka akan berjalan berbaris menuju ke baeleo.
d)
Menuju ke baeleo
Acara
puncaknya ada dibaeleo,
yakni setelah mereka
di baeleo maka pertama-tama yang
harus dilakukan adalah
semuanya berjalan mengelilingi tempat yang dikeramatkan di dekat baeleo selama lima
kali putaran. Setelah itu masing-masing
soa terpencar berdasarkan
soa masing-masing. Didalam
baeleobiasanya mereka akan
berada selama lima
hari, akan tetapi
sesudah tiga hari mereka
akan dinilai oleh
tua-tua adat. Jika
ada diantara mereka
yang dianggap nantinya mampu
menggantikan kedudukan kepala suku matoke atau tua-tua adat lainnya, maka
mereka ini disebut
sebagai laki-laki perkasa
dari suku nuaulu. Selama di baeleo
patahari ini berpuasa selama 5
hari puasa dilakukan hanya pada
(malam hari saja sedangkan siangnya mereka boleh makan).
e)
Pemotongan kepala ayam dan buah kelapa[27]
Setelah tiba di dalam baeleo, hari pertama yang
dilakukan pataher i
adalah memotong kepala ayam.
Masing-masing pataheri memotong
ayamnya masingmasing. Setelah itu
ayam tersebut akan diolah orang tuanya masing-masing untuk nantinya dimakan
oleh pataheri. Menurut informasi dahulu kala, ritual pataheri ini adalah bentuk
pengukuran kehebatan laki-laki
suku nuaulu karena
sebenarnya yang harus dilakukan adalah
memenggal kepala manusia. Namun karena hukum yang sudah
semakin tegas di
Indonesia kegiatan pemenggalam
kepala manusia dini
digantikan dengan pemenggalan
kepala binatang (ayam)
dan pembelahan buah kelapa.
Keesokan harinya buah
kelapa yang telah
digantikan dengan
pemenggalan kepala binatang
(ayam) dan pembelahan
buah kelapa. Keeseokan harinya buah kelapa yang telah
dipesiapkan oleh masing-masing anggota pataheridibawah dan dibelah oleh kepala
suku. Berapapun jumlah buah kelapa semuannya akan dibelah.
f)
Pataheri (pemakaian kain berang dan
cidaku merah)
Air yang keluar
dari buah kelapa terebut akan dipercikkan kepada masing-masing pataheri sebagai tanda bahwa mereka telah dikukuhkan.
Namun sebelum acara pengukuhan tokoh-tokoh adat
suku Nuaulu yakni, kepala suku kapitan, dan tuan-tuan tanah, maka pertama-tama
mereka akan mengadakan doa khusus kepada air kelapa tersebut juga kepada semua
anggota pataheri. Setelah itu acara adat
ini akan dilanjutkan oleh kepala suku
bapak matoke dengan melakukan percikan air tersebut ke atas kepala pataheri
sebagai suatu tanda bahwa mereka telah mampu berdiri sendiri.
Setelah percikan air
itu selesai, maka
tahap selanjutnya adalah pemakaian kain
berang (kain merah)
di kepala masing-masing
sebagai tanda penghargaan
laki-laki suku nuaulu. Hari ketiga, akan dilakukan pemakaian cidaku merah
(kain merah) sebagai salah satu tanda bahwa mereka telah sah menjalani
proses urutan ritual
pataheri, pemakaian cidaku
ini dilakukan oleh
kepala suku Matoke.
g)
Papar gigi[28]
Setelah acara
pemakaian cidaku selesai maka langkah selannjutnya adalah papar gigi.
Acara ritual papar
gigi akan dilakukan
oleh orang yang
sudah dikhususkan untuk memapar
gigi. Batu yang
dipakai untuk memapar
gigi pataheri adalah batu
yang sama dipakai
untuk memapar gigi
pinamou. Setelah urutan proses
acara ini selesai, maka acara penutupan
adalah diadakannya pesta makan bersama
(makan patita). Proses acara ini di tutup/dikunci dengan doa yang
dilakukan oleh kepala suku Matoke. Demikian upacara masa dewasa bagi laki-laki
(pataheri) yang merupakan
suatu tugas dan
tanggung jawab yang
harus dilaksanakan bagi laki-laki
dewasa suku Nuaulu.
Sebagaimana pada ritual pinamou yang pantang dilihat dan
didekati oleh pria pada saat di posune demikian pula sebaliknya
yang menjadi pantangan
pada ritual ini
adalah pada saat pelaksanaan upacara pantang untuk dilihat oleh kaum wanita.
Kehadiran mereka dapat menganggu jalannya
upacara dan bisa
menggagalkannya sama sekali (pamali). Menurut Bapa Raja Sahune Matoke dan Bapak
Tuale Matoke upacara pataheri
bisa berlangsung 30
bahkan sampai 40
hari hal ini
dikarenakanpersiapan untuk pesta
pateheri memakan waktu
yang cukup lama.
Dari mulai mencari hewan
buruan sampai menyajikan
hidangan untuk acara
makan patita (makan bersama).
E. Upacara Ritual Kematian[29]
Upacara
yang terakhir suku Nuaulu adalah upacara ritual kematian
setiap makhluk bernyawa akan
sampai pada kematian. Karena kematian adalah sesuatu yang pasti akan datang
bagi semua makhluk
hidup, termasuk manusia.
Dalam kehidupan orang Nuaulu
upacara kematian adalah suatu upacara siklus hidup penting yang harus dilaksanakan agar orang yang
meninggal memperoleh tempat di
surga dan juga ruh
mereka (orang meninggal)
dapat menjadi pelindung
bagi orang-orang yang hidup.
Keseluruhan prosesi upacara
adat kematian ini
akan dipimpin oleh seorang
pendeta adat.
Berikut beberapat tahap dalam prosesi ritual
kematian suku Nuaulu :
1)
Memukul tifa
Apabila dalam suku Nuaulu ada yang meninggal, maka
salah satu anggota keluarga akan memberitahukan kepada
pendeta adat. Segeralah
pendeta adat menglilingi kampung
dengan membunyikan tifa
sebagai tanda pemberitahuan kepada seluruh
warga/tetangga kerabat bahwa
ada salah satu
dari anggota suku Nuaulu mereka yang meninggal. Sesudah diberitahukan
kepada seluruh anggota
masyarakat dengan membunyikan tifa,
maka berbondong-bondonglah warga
menuju ke rumah duka untuk
melihat dan meratapinya.
2)
Memandikan jenazah dan melepaskan
Jenazah[30]
Jenazah
orang meninggal kemudian
dimandikan oleh pendeta
adat dan seseorang dari
pihak keluarga kemudian
diberi pakaian/baju. Setelah
jenazah di bawa ke rumah
adat dengan pakaiannya untuk menunggu keluarga besarnya dan
setiap marga membawa
piring-piring kecil/besar (pirune).
Setelah itu mayat dibawa ke rumah adat dan digunting
pakaiannya untuk di letakan ke
tikar (kinoe)Jenazah yang digunting pakaiannya di tutup dengan kain
(nipae). Jenazah yang mau dibawa ke tempat pemakamannya harus
dibawa dengan pakaiannya, seperti patah, baju, celana, dan kain merah (tunue,
papite,taka dan karanunu). Setelah itu
orang tua adat menyuruh 2 orang mama untuk mencari rumput (monote mosone
putieh) untuk mengusir
lalat. Dan memerintahkan10 orang
bapak bapak untuk pergi
memotong bambu (wanate)
dan 2 orang
mengambil rotan (meute).Selanjutnya bapak bapak itu kembali
dan mayat itu dibungkus dengan tikar lalu diikat untuk
dibawah ke tempat
pemakamannya dan tempat
pemakamannya kurang lebih 3 km dari kampung Nua Nea. Sesampai di tempat pemakamannya 10 orang
bapak yang bertugas
tersebut harus memotong
kayu untuk membuat para
para (hotune) dan
selanjutnya jenazah diletakan
di para-para. Setelah meletakan
jenazah mereka harus membersihkan tempat
jenazah tersebut dengan menyapu tempat peristirahtan 1 orang 5 kali gerakan
menyapu. Maka tibalah saatnya untuk melepaskan jenazah oleh pendeta adat. pihak
keluarga memberikan sepatah
dua kata yang
didalamnya meminta maaf
kepada seluruh warga masyarakat,
jika selama orang
tersebut hidup ada
hal-hal yang dibuat menyingung
perasaan, atau ada kealahan lainnya dibuat, mohon dimaafkan. Selanjutnya acara
diambil alih oleh pendeta
adat dengan memanjatkan
doa khusus kepada
upu (Tuhan) dengan maksud
agar menerima orang
tersebut. Selanjutnya mereka
kembali pulang ke rumah. 10 orang bapak itu pulang harus
mendapatkan piring piring masing masing 1
untuk dibawa pulang
ke rumah. Intinya jenazah suku Nuaulu tidak
dimasukan/dikuburkan akan tetapi diletakan
di suatu tempat yang jauh
dari kampung dan
diletakan diatas para-para.
Namun ada marga yang sekaran jenazah mulai dikuburkan. Untuk
informasi terkait budaya
ritual kematian sebenarnya
dianggap tabu untuk dijelaskan kepada orang lain di luar
suku Nualu.
3)
Pukul sagu dan berburu[31]
Setelah
disepakati maka keesokan
harinya berkumpulah laki-laki
suku Nuaulu untuk menokok pohon sagu yang telah disediakan keluarga khusus untuk orang yang
sudah meninggal tersebut,
sebagai suatu rangkain
upacara kematian untuk nantinya
diolah dan disantap
dalam acara makan
bersama (patita) memperingati hari
kematian yang meninggal.
Kegiatan menokon sagu
ini biasanya dilakukan dalam
jangka waktu 3 hari saja. Setelah selsesai meramunya maka hasilnya
akan dibawa pulang
oleh mereka dalam
bentuk tumang sagu (tempat
sagu yang terbuat
dari daun sagu
di bentuk menjadi
seperti keranjang). Sagu ini
kemudian akan diolah
oleh para wanita
menjadi sagu dan papeda, semuanya dilakukan dalam jangka
waktu satu hari.Setelah pulang dari kegiatan meramu sagu, maka keesokan harinya
mereka kembali mempersiapkan diri untuk melakukan kegiatan berburu di hutan
dengan anjing. Biasanya bila
kegiatan berburu dengan
melepaskan anjing akan mendapatkan banyak hasil buruan, karena
anjing dijadikan sebagai alat pelacak.
Untuk diketahui,setiap rumah/keluarga dari
suku Nuaulu memiliki
1-2 ekor anjing. Anjing
ini nantinya akan
berperan sebagai pelacak
dalam kegiatan perburuan mereka.
Biasanya kepala suku
serta tua-tua adat
memiliki lebih dari dua
ekor anjing. Kegiatan
berburu ini hanya
dilakukan selama tiga
hari. Hasil buruan kemudian
dibawa pulang dan
diolah oleh kaum
wanita. Biasanya hasil buruan mereka itu berupa babi, rusa,
dan kusu (kus-kus).
4)
Kegiatan malam pertama dan malam kedua[32]
Setela
pulang dari kegiatan
berburu, malamnya langsung
dirayakan upacara kematian malam
pertama. Pada hakekatnya
prosesi kematian
dilaksanakan di ruma
adat. Kemudian tua-tua
adat diundang oleh
keluarga, dan pendeta adat
kemudian memulai ritual
upacaranya. Semua orang
dipersilahkan masuk ke rumah
besar (kebagian dalam
rumah), sedangkan pendeta
adat adat kemudian mengambil
dua buah priring
(tersbuat dari aluminium/blek) dan mengisi piring
tersebut dengan abu
yang berasal dari
bekas pembakaran tungku (tempat memask) dari rumah yang
meninggal. Setelah itu meletakan kedua piring tersebut pada kedua pintu masuk
rumah-rumah yang terletak pada bagain
depan rumah (kiri dan kanan). Pendeta
adat bersama dengan
tua-tua adat dan
keluarga memanjakan bentuk doa
kepada arwah orang
yang telah meninggal
terrsebut dengan tujuan agar dia akan bangkit dari kematian
dan hidup dialam lain. Sebagai tandanya akan mereka melihat pada abu yang tadi
telah ditaruh pleh pendeta adat, dengan adanya bekas telapak
kaki pada abu
dalam piring tersebut.
Mereka percaya bahwa
itu adalah telapak kaki dari orang
yang baru saja meninggal, sehingga ada sukacita yang mereka
rasakan.setelah itu piring abu itu akan diangkat dan disimpan oleh
keluarga. Sebagai bentuk
ungkapan sukacita akan
tanda bahwa orang
yang meninggal sudah tiba
dialam lain, mereka
rayakan dengan melakukan
acara makan bersama atas keberhasilan upacara ritual kematian dan berlangsung
dengan khidmadnya. Makan yang
telah dimasak tersebut
adalah sebagai suatu
bentuk persembahan kepada orang yang telah meninggal.Hari berikutnya,
yaitu malam kedua
akan diadakan kapata
(nyanyian sambil berpantun) dan
tari-tarian (baendang) yang
diiringi dengan lantunan
tifa.[33]
Demikian
rangkaian upacara ritual
kematian dilaksanakan. Adapun pantangan dari
pelaksanaan upacara kematian
menurut bapak Raja
hanya ketika jenazah akan
dimakamkan, proses pelaksanaanya
harus berlangsung pada
pagi hari siang, atau
sore hari. Sedangkan
pada malam hari
tidaklah diperkenankan untuk melaksanakan
kegiatan pemakaman, karena
merupakan pamali suatu pantangan bagi
mereka. Menurut narasumber
untuk upacara kematian
suku Nuaulu sepertinya tidak
ada bagian yang
dapat dikembangkan sebagai
budaya kewarganegaraan
kalaupun ada Cuma
beberapa.
c.
Upacara Ritual Perkawinan[34]
Dalam sistem kepercayaan masyarakat Nuaulu, upacara
perkawinan merupakan salah satu rangakaian siklus hidup yang
senantiasa dilalui oleh semua orang
dan oleh karenannya
perlu dirayakan karena merupakan
salah satu budaya
lokal yang masih
dilestarikan. Itulah sebabnya masyarakat
Nuaulu percaya bahwa
perkawinan bukanlah merupakan
urusan dari kedua individu, melainkan merupakan urusan kelompokkelompok kerabat
dari kedua belah
pihak yang akan
melaksanakan perkawinan
terebut.
Prosesi perkawinannya ada 4 tahap yaitu:
a) Acara peminangan,
b)
Pembicaraan harta kawin dan tanggal perkawinan,
c) Bawa harta
(Rori Susau) di acara perkawinan,
d) Menyuapi pengantin perempuan (Pamana) dan Makan
Patita.
Makan Patita
adalah upacara makan bersama,
yang didahului sebelumnya dengan
dilaksanakan upacara pamana
yakni menyuapi pengantin perempuan. Acara
ini dipimpin oleh
istri kepala suku
Matoke. Dalam acara
ini, beberapa saudara dari pengantin laki-laki baik itu kaka/adik, oom
dan tante akan mengambil
sedikit-sedikit dari setiap makanan
yang sudah tersedia
danmenyuapkannya kepada pengantin perempuan. Maksudnya supaya dia tidak
lagi merasa malu-malu atau asing dirumah mertuanya. Setelah itu dilanjutkan dengandiadakannya makan bersama. Berakhirnya makan bersama ini maka berakhir pula ritual
upacara perkawinan meminang (maso minta ) ini.
2.4 Adat dan Etika Suku Naulu
Rumah adat Suku Naulu https://www.google.com/search?q=profile+suku+naulu&client=firefox-b-ab&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjuiqGB1-3MAhVCu48KHQtyB9YQ_AUIBygB&biw=1093&bih=515&dpr=1.25#imgrc=EgMVKqcctgcXMM%3A
Kebanyakan dalam
etika Naulu, sebelum calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-kali
menikah. Calon pengantin laki-laki tersebut melaksanakan perkumpulan keluarga
dahulu dalam rangka membicarakan tujuan calon pengantin laki-laki untuk
meminang calon pengantin perempuan dan mementukan pula kapan pernikahan akan
dilaksanakan. Seterusnya keluarga calon pengantin laki-laki keluar meninggal
rumah huniannya untuk meminang calon pengantin perempuan di rumah pengantin
perempuannya.
Persiapan calon
pengantin laki-laki dalam mempersiapkan pernikahannya, calon pengantin
laki-laki harus memenuhi syarat dari calon pengantin perempuan. Rata-rata dalam
etika naulu telah ditetapkan persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk calon
pengantin laki-laki berupa seperti :
1. 5 buah piring lanjut umur yang telah menjadi
warisan turun temurun dari nenek moyang suku naulu untuk anak cucu mereka
2. Kain merah 5 m
3. Uang minimal 5 juta
4. Kain 100 buah beserta
kebaya yg dapat di bagikan terhadap seluruh keluarganya, baik keluarga calon
pengantin laki-laki maupun perempuan.
Semuanya ditanggung oleh keluarga calon pengantin laki-laki.
Adapun persyaratan bagi calon pengantin perempuan berupa:
1. Sirih pinang yang dibagikan kepada kedua
keluarga.
2. Makanan kala perkawinan berjalan.
Kemajuan
zaman cukup mempengaruhi
sikap, tingkah laku
dan cara berpakaian mereka.
Bila ditelusuri dulu
orang laki-laki dewasa
memakai cidaku yaitu sehelai
kain yang berbentuk
empat persegi panjang
(mirip sepotong selendang) cidaku
ini sebenarnya adalah
celana. Cara memakainya
yaitu melilit aurat dan
diikat pada pinggang.
Ujungnya bagian depan
tergantung ke bawah. Karena termasuk kelompok masyarakat
adat patalima maka ujung cidakunya agak panjang yang
membedakannya dengan cidaku
pada kelompok masyarakat
adat patasiwa yang agak
pendek pada bagian
bawah dari celana/cidaku. Cidaku
ini biasanya diukir atau
dilukis dengan berbagai
ragam hiasan yang
disesuaikan dengan ketentuan dari masing-masing soa.Cidaku ini
dipakai oleh laki-laki
dewasa untuk bekerja
sebagai pakaian biasa/harian juga
dipakai pada upacara-upacara adat.
Untuk wanita cidaku
ini dibuat menyerupai sebuah
rok pendek. Dalam
perkembangan selanjutnya
masyarakat telah memakai
pakaian sehari-hari yang
dibeliti ditoko-toko atau pedagang
keliling sehingga bentuk
dan kenisnya sudah
sama saja dengan masyarakat lain
di daerah ini.
Pakaian anak-anak untuk
berpergian sama saja dengan
anak-anak lain, ada
yang memakai celana
pendek dengan kaus
panjang tanpa pengalas kaki,
dan ada juga
yang mengenakan celana
panjang dengan kemeja/kaus
tergantung dari kemampuan untuk membeli
dan acara yang dilaksanakan. Pakaian laki-laki untuk
berpergian terdiri dari celana panjang/pendek dan kemeja atau baju kaus
dengan memakai alas
kaki ataupun juga tidak. Pakaian wanita untuk
berpergian terdiri dari
kain dan baju
yang berbentuk seperti kebaya
jawa dan jenis
baju ini disebut
kebaya pendek atau bahkan baju pada umumnya. Pakaian ini
dikenakan tanpa perhiasan kecuali sandal sebagai pengalas kaki.
Jadi
pakaian masyarakat suku Nuaulu
dapat dibedakan menjadi dua versi yaitu :
(1) Pakaian sehari-hari, Untuk pakaian sehari-harinya masyarakat
suku Nuaulu biasanya memakai
pakaian seperti masyarakat
pada umumnya.
(2) pakaian
adat yang hanya
digunakan khusus untuk acara-acara
adat.[37]
2.5 Interaksi Kepercayaan Suku Naulu dengan Agama-agama Lain
Suku Naulu adalah suku yang bermukim di bagian utara
pulau Seram di provinsi Maluku Indonesia. Pulau Seram selama ini lebih dikenal
dengan suku Alifuru sebagai penduduk asli di pulau Seram ini, tapi di bagian utara pulau ini, terdapat pemukiman
suatu suku yang hidupnya masih terasing dan dikategorikan sebagai suku
primitif, yaitu suku Naulu. Interaksi
suku Naulu dengan agama masyarakat sekitar dapat dikatakan saling
menghargai, bahkan saat ada tradisi mereka yang dilarang karena bertentangan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia, mereka pun rela melepas tradisi mereka.
Salah satunya adalah tradisi yang kontroversial yaitu dimana ada rumah adat
yang baru atau memeperbaiki rumah adat yang lama, maka mereka akan menggunakan
kepala manusia dalam ritual sakral ini.
Namun pada Juli 2005 lalu, Pemerintah melarang suku
Naulu untuk melakukan ritual ini, karena berlawanan dengan hukum yang berlaku
di Indonesia, serta menghormati agama-agama sekitar yang sangat menjunjung
tinggi kemanusiaan. Awal mula dilarangnya tradisi ini karna warga Masohi
kecamatan Amahai kabupaten Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan dua sosok
manusia yang sudah terpotong-potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly
Lakrene adalah korban persembahan tradisi suku Naulu saat akan melakukan ritual
adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe. Kepala manusia yang dikorbankan
diyakini mereka akan menjaga rumah adat mereka dari bahaya ataupun gangguan
roh-roh jahat yang diyakini oleh suku Naulu. Bagian tubuh kedua korban yang
diambil selain kepala yang nantinya diasapi adalah jantung, lidah, dan
jari-jari. Sementara anggota tubuh yang tidak diambil makan akan dihanyutkan di
aliran sungai Ruata (sungai yang mengalir di provinsi Maluku).
Menurut penuturan ketua adat suku Naulu, bahwa
tindakan yang dilakukan warganya disebabkan karena ketidaktahuan akan hukum
formal yang berlaku di Indonesia. Motivasi pembunuhan dengan mengambil kepala
manusia dilakukan karena merupakan keyakinan mereka untuk melakukan ritual adat
yang dinilai sudah terjadi sejak zaman nenek moyang mereka dan sangat sakral.
Mereka tidak tahu kalau membunuh itu dilarang, dan bertentangan dengan hukum
yang berlaku di Indonesia.[38]
Suku Naulu hidup dengan cara memanfaatkan hasil
hutan, seperti menjelajah hutan untuk berburu dan mencari apa saja di dalam
hutan untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Selain itu mereka juga memiliki
ladang yang ditanami beberapa jenis tanaman yang bisa menunjang kehidupan
mereka. Suku Naulu umumnya masih menganut agama tradisional yang mereka sebut
agama suku Noaulu. Kepercayaan ini diwariskan oleh para nenek moyang dan tokoh
adat melalui tuturan (cerita dari turun-temurun). Pemerintah daerah setempat
memasukkan agama kepercayaan mereka ini dalam kelompok agama Hindu, meskipun
mereka menolaknya.
Suku Naulu yang berdiam di dusun Sepa, lebih terbuka
untuk menerima agama Kristen dan Islam, sehingga beberapa warga mereka bisa
dikatakan lebih maju dibanding dengan suku Naulu yang berada di dusun Nuanea,
karena di dusun Sepa Mereka saling berinteraksi satu sama lainnya karena dusun
mereka saling berdekatan. Dan dalam hal peribadatan, suku Naulu yang masih
dapat dikatakan menyembah makhluk hidup dan benda mati ini tetap mengerti
bagaimana cara peribadatan Kristen dan Islam yang juga saling berbeda dengan
rasa saling menghargai. Mereka juga menerima masukan dan saling berbagi cara
bercocok tanam dan berburu kepada orang-orang diluar suku Naulu yang masih
bertetangga dengan mereka.
Dengan demikian, suku Naulu masih sangat menjaga
hubungan baik dengan agama-agama sekitar dan lingkungan dimana mereka tinggal.
Meskipun mereka tetap berpegang teguh terhadap kepercayaan mereka, namum mereka
mau menerima masukan apabila tradisi mereka yang telah ada itu melanggar hukum
di Indonesia.[39]
BAB
III
PENUTUP
Suku Naulu sering disebut juga orang Naulu atau Nuahunai, artinya orang
yang berdiam di hulu Sungai Nua yaitu daerah dari mana mereka berasal sebelum
menempati daerah yang sekarang.Suku Naulu terletak di wilayah Kecamatan Amhai,
kampung Lama/Yahisiro dan Bonara.Naulu terdiri dari dua kata Nua yang berarti air, Ulu artinya
kepala. Jadi Naulu artinya suku yang mendiami kepala air Nua/ Sungai Nua.
Penamaan suku Naulu dilatar belakangi oleh tempat tinggal nenek moyang mereka.
Konsepsi tentang Tuhan agama suu Nauu iaa baa Upu Kuanahatana atau Upu Allah taala suatu zat yang merupakan kepercayaan
tertinggi bagi suku Naulu. Apa saja permohonan mereka langsung dimintakan
kepada Allah taala.
DAFTAR PUSTAKA
·
Hp,Suradi dkk. Upacara Tradisional Daerah Maluku. (Ambon: Departemen Pendidikan
Kebudayaan.
1982).
·
J, Melalatoa. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid
A--K. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1995).
·
Mufid,
Ahmad Syafi’I. Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia.
(Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI. 1999).
·
Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
·
http://suku-dunia.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-suku-naulu-di-maluku.html?m=1 diakses pd tgl 12 maret 2016.
·
http://www.itoday.co.id/metafisika/kontroversi-tradisi-suku-naulu-malukupada tanggal 16
maret 2016.
[1]http://suku-dunia.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-suku-naulu-di-maluku.html?m=1 diakses
pd tgl 12 maret 2016.
[2]Ahmad
Syafi’I Mufid, Tradisi dan Kepercayaan
Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia,
(Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999), h. 104.
[3] Kabata
adalah semacam
nyanyi-nyanyian adat yang di iramakan ketika melaksanakan upacara ritual adat
suku Naulu
[7]Melalatoa, J.
1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[8] Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[11]Suradi Hp, dkk, Upacara Tradisional Daerah
Maluku, (Ambon: Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1982)
[12]Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[16] Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[18]Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[19] Suradi Hp, dkk. UpacaraTradisional
Daerah Maluku. (Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982)
[25] Universitas Pendidikan Indonesia |
repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
[38]Diakses
dari http://protomalayans.blogspot.co.id/2012/11/suku-naulu-maluku.html?m=1pada
tanggal 16 maret 2016.
[39]Diakses dari http://www.itoday.co.id/metafisika/kontroversi-tradisi-suku-naulu-malukupada tanggal 16 maret
2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar