LAPORAN OBSERVASI JAWA BARAT
“KAMPUNG BUDAYA SINDANGBARANG & KAMPUNG ADAT URUG BOGOR”
Untuk memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester
Matakuliah Agama Lokal
Dosen Pengampu : Siti Nadroh, M.A.
Disusun Oleh :
Shabrina Ghaisani
Misbahul Huda
Rexy Oktaviani
Mahfudloh
Fauziah Gustapo
Wardah Humaeroh
Riky Setiawan
Mashlihatuz Zuhroh
Dodi Mario
Akbar
|
:
11140321000051
:
11140321000053
:
11140321000059
:
11140321000065
:
11140321000067
:
11140321000070
:
11140321000075
:
11140321000078
:
11140321000080
|
|
PROGRAM STUDI
PERBANDINGAN AGAMA SEMESTER 4 (B)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA
PENGANTAR
Segala
puji kami limpahkan kepada Allah SWT yang menciptakan segala sesuatu lalu
menyempurnakannya, yang mengutus Rasul-Nya Muhammad SAW. Dengan membawa agama
ini, lalu ia menyampaikan dan menjelaskannya. Dia memilihkan bagi nya sahabat
dan pengikut yang memiliki semangat yang tinggi untuk menyampaikan dan
mengajarkannya memelihara dan membukukannya, sehingga agama ini sampai ketangan
orang - orang khalaf sebagaimana yang diterima oleh orang - orang salaf, segar
mempesona sepanjang masa.
Atas
karunia Allah pula kami bisa menyusun laporan kegiatan observasi
matakuliah Agama Lokal ini dengan baik dan lancar,
yang nantinya laporan ini akan menjadi bukti bahwa kami
telah mengunjungi obyek observasi di Kampung Budaya
Sindangbarang dan Kampung Adat Urug.
Laporan kegiatan observasi
ini telah kami lengkapi dengan gambar-gambar dan informasi dari obyek-obyek observasi
sejauh informasi yang telah kami dapatkan dari Kampung Budaya Sindangbarang dan
Kampung Adat Urug Bogor Jawa Barat.
Laporan hasil kegiatan observasi
yang kami susun ini mungkin sangatlah jauh dari kata sempurna. Kami mohon maaf
jika ada kesalahan dalam penyusunan laporan kegiatan observasi ini. Untuk itu
saya mohon kritik dan saran demi kesempurnaan laporan ini.
Ciputat,
13 Mei 2016
(Penulis)
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia
adalah Negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman etnik atau suku bangsa dan
budaya, serta kekayaan dibidang seni dan sastra. Semua sejalan dengan
keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan
potensi nasional.
Salah satu
ragam suku yang memiliki kekayaan budaya adalah Desa Sindangbarang. Desa ini
terletak di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Di desa ini
terdapat sebuah kampung budaya yang bernama Kampung Budaya Sindangbarang.
Kampung ini dahulu merupakan keraton tempat tinggal salah satu isteri dari
Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda.
Rumah-rumah di
Kampung Budaya Sindangbarang merupakan hasil rekonstruksi dan revitalisasi yang
dilakukan para budayawan Sunda serta para kokolot Sindangbarang. Sebagai
perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur,
bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak sama dengan apa
yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang di masa lampau.
Berdasarkan
penjelasan di atas kami akan mencoba memberikan informasi lebih mendalam
tentang sejarah, upacara, kesenian, rumah adat dan juga peninggalan-peninggalan
lainnya yang masih terjaga di kampung Sindangbarang ini.
1.2
Batasan
dan Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, objek dari penelitian ini adalah masyarakat etnis
kampung Sindangbarang. Fokus penelitian ini dibatasi pada masalah tradisi keagamaan
masyarakat tersebut dengan melihat tradisi agama.
Agar pembahasan ini lebih terarah maka perlu dirumuskan
permasalahan-permasalahan tersebut berdasarkan pertanyaan-pertanyaan berikut :
1.
Bagaimana
sejarah kampung budaya Sindangbarang?
2.
Bagaimana
bentuk rumah adat kampung budaya Sindangbarang?
3.
Bagaimana
upacara-upacara kampung budaya Sindangbarang?
4.
Bagaimana
kesenian kampung budaya Sindangbarang?
1.3
Tujuan
Observasi
Tujuan yang ingin dicapai dalam observasi ini adalah untuk
mengetahui lebih jauh tentang gambaran kehidupan agama dan sosial masyarakat
etnis kampung budaya Sindangbarang. Penelitian ini juga ditunjukkan untuk
mengetahui lebih jauh perubahan sosial budaya yang terjadi dalam tradisi
mereka.
Adapun hasil observasi ini diharapkan dapat memiliki kegunaan yang
bersifat teoritik dan praktis. Secara teoritik, penelitian ini merupakan satu
sumbangan sederhana bagi pengembangan studi agama lokal, terutama karena observasi
ini mengkaji tentang kepercayaan-kepercayaan yang ada pada etnis kampung
tersebut. Adapun secara praktis, penelitian ini akan memberikan pemahaman
terhadap masyarakat akan adanya kepercayaan yang ada di etnis kampung tersebut.
Disamping itu, observasi ini diharapkan memperkaya khazanah kepustakaan
mengenai kepercayaan yang di anut pada etnis kampung Sindangbarang ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan
Observasi
Hari : Senin, 02 Mei 2016
Pukul : 13.00 WIB
Tempat : Kp.
Sindangbarang Ds. Pasir Eurih Kec. Tamansari Kab. Bogor
B.
Narasumber
Bpk. Maki (08567371489)
sebagai Ketua Adat Kampung Budaya Sindangbarang
1.1.
Sejarah
Kampung Budaya Sindangbarang
Kampung Sindangbarang diyakini sudah ada sekitar abad ke-XII. Keberadaan kampung ini tersurat dalam
dokumentasi masa lalu, seperti dalam babad Padjajaran dan pantun Bogor. Sindangbarang diyakini sebagai kerajaan bawahan Prabu Siliwangi
dengan Kutabarang sebagai ibukotanya. Sindangbarang merupakan keraton tempat
tinggal salah satu isteri dari Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik
Mayang Sunda. Guru
Gantangan adalah putra dari Prabu Siliwangi dan Kentring Manik Mayang Sunda
yang dilahirkan dan dibesarkan di Sindangbarang, yang mana penguasa Sindangbarang
pada saat itu adalah Surabima Panjiwirajaya atau Amuk Murugul. Di tempat ini
pula, zaman dahulu prajurit-prajurit Sunda ditempa agar siap membela kerajaan
dari segala marabahaya. Berlatar
sejarah tersebut, kini Sindangbarang menjelma menjadi kampung budaya yang
bertekad meneruskan kearifan lokal dari akar tradisi leluhur mereka.
Menyambangi Kampung Budaya Sindangbarang seperti menemukan jejak
kasepuhan Sunda yang telah lama hilang. Pemandangan indah dan udara sejuk khas
pegunungan di kaki Gunung Salak menjadi daya tarik lainnya. Kampung budaya ini
selalu terbuka bagi siapapun yang ingin berkunjung dan mempelajari lebih dalam
tentang tradisi Sunda Bogor, sambil mencari tahu tentang sejarah kasepuhan
Sunda Bogor di masa lalu.
Berjarak sekitar 5 km dari pusat Kota Bogor, Kampung Budaya Sindang
Barang terletak di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.
Meski jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat Kota Bogor. Menuju lokasi,
pengunjung harus melewati jalan yang berkelok, dan tidak ada angkutan umum yang
melewati kawasan tersebut. Banyak yang merekomendasikan untuk sampai ke lokasi
lebih baik menggunakan sepeda motor. Karena selain cepat, sepeda motor mampu
menjamah jalan kecil hingga sampai ke depan Kampung Budaya Sindang Barang.
1.2.
Rumah
Adat Kampung Budaya Sindangbarang
Rumah-rumah di Kampung Budaya Sindangbarang merupakan hasil
rekonstruksi dan revitalisasi yang dilakukan para budayawan Sunda serta para
kokolot Sindangbarang seperti Anis Djati Sunda, Eman Sulaeman, dll dengan didukung
oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Bogor. Tentu saja
penduduk setempat juga turut berperan dalam perkampungan ini.
Bahkan Kasepuhan Cipta Gelar Sukabumi pun mengirimkan bantuan
tenaga teknis untuk “mendirikan” kembali perkampungan ini. Perkampungan ini
memang pernah rusak karena bencana alam dalam masa yang cukup panjang. Karena
itulah, revitalisasi dan rekontruksi perkampungan ini sangat diperlukan agar
generasi muda Sunda dapat mengenal dan melestarikan jati dirinya.
Sebagai perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat
istiadat leluhur, bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak
sama dengan apa yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang
di masa lampau.
Rumah adat satu persatu mempunyai fungsi yang berbeda-beda dan
fungsi itu diambil dari pantun-pantun bogor.
a.
Imah
Gede, zaman dulu
disebut rumah raja atau dalam adat jawa modelnya seperti keraton. Karena sudah
menjadi kampung budaya kemudian tempat tersebut disebut sebagai Imah Gede yang
sekarang menjadi tempat tinggal kepala adat kampung budaya Sindangbarang.
b.
Girang
Serah, yaitu rumah
penasehat pimpinan atau penasehat raja. Kalau dalam kerajaan disebut sungkleman
silengser (Penasehat Raja).
c.
Tempat
Kesenian, tempat ini
sangat penting sekali kedudukannya karena zaman dahulu seni berfungsi untuk
menghibur keluarga raja. Berbagai kesenian asli Sunda seperti kesenian calung,
berbagai tari tradisional, hingga angklung gubrag menjadi hiburan menarik yang
selalu dipentaskan di kampung budaya ini. Menariknya, di atas panggung selalu
tersedia satu set gamelan tatalu yang bisa dimainkan oleh para tamu yang
datang.
d.
Saung
Lisung, tempat
menumbuk padi disana terdapat 2 lumbung padi yang digunakan ketika upacaran
penumbukan padi atau saat upacara Seren Taunan.
e.
2
Bangunan Pasanggrahan,
sebagai tempat istirahat para tamu adat yang datang untuk berkunjung. Dahulu
tamu tidak diperbolehkan menginap serumah dengan kepala adat. Jadi kepala adat
menyediakan rumah khusus bagi tamu adat yang datang.
f. `Bale
Riungan, yaitu sebagai
tempat musyawarah mufakat ketika ada event-event tahunan. Juga sebagai tempat berkumpul
dan bermusyarawah masyarakat dengan ketua adat dan para kokolot. Kokolot adalah
mereka yang dianggap sebagai sesepuh kampung Sindangbarang.
g. Bale
Pertirtaan, biasanya
digunakan sebagai tempat untuk menjamu para tamu yang baru datang. Meski
demikian, tidak jarang bangunan yang lebih mirip pendopo ini juga digunakan
sebagai tempat pameran pernak pernik hasil karya masyarakat Sindangbarang dan
berbagai acara internal tamu yang datang.
h.
2
Bangunan Tampian,
zaman dahulu kamar mandi tidak diperbolehkan berada di dalam rumah. Sebab dulu
ritual dilaksanakan terus-menerus jadi setiap hari rumah itu harus dalam
keadaan bersih.
i. Tanjung
Bale Agung, kalau sekarang
di sebut musholla sebagai tempat ibadah masyarakat kampung Sindangbarang.
j.
3
bangunan Panengeun, rumah
para kokolot/pengelola rumah adat.
k.
6
bangunan Pangiwa.
1.3.
Upacara-upacara
Kampung Budaya Sindangbarang
Pada awalnya
upacara Seren Taun pada masyarakat Sunda Wiwitan terbagi menjadi tiga, yaitu:
1) Seren Taun
Kuara Bakti yang dilaksanakan 8 tahun sekali,
2) Guru Beni
yang dilaksanakan 4 tahun sekali,
3) Majetin Pare
yang dilaksanakan setelah panen padi.
Kemudian pada
abad ke 16 kerajaan Padjadjaran bubar lalu digantikan oleh pemerintahan islam.
Untuk mengangkat kembali budaya islam Seren Taun berubah menjadi sedekah bumi,
yang awalnya di peringati dengan memotong kepala kerbau atau kambing dan
menguburnya. Kemudian para ulama melakukan sedekah bumi dengan mengubah waktu
peringatan Seren Taun pada bulan 1 muharram.
Jadi, perbedaan
seren taunan pada Banten, Cibubur, dan Sindangbarang yaitu kalau banten dan
cibubur itu lebih mengarah panen padi tetapi kalau sindang barang ini lebih ke
peringatan tahun baru islam yang terjadi pada 1 muharrom.
Upacara Seren Taunan ini merupakan bentuk rasa syukur kepada yang
Maha Kuasa atas hasil panen dan hasil bumi yang melimpah. Acara ini
diselenggarakan dengan membawa rengkong untuk mengangkut padi dan dongdang yang
berisi sayur-sayuran dan buah-buahan untuk di arak keliling kampung. Setelah
itu hasil bumi diperebutkan warga sekitar untuk mendapatkan berkah. Padi-padi
kemudian disimpan di lumbung padi atau leuit. Upacara ini merupakan tradisi
yang paling ditunggu-tunggu karena juga diiringi oleh pertunjukan lainnya
seperti angklung gubrak, pencak silat, dan parebut seeng.
Pelaksanaan Seren Taunan
selama 3 hari dianjurkan pada hari jum’at sampai minggu:
1.
Pada
malam jum’at para kokolot berkumpul melakukan ritual.
2.
Jum’at
pagi pengambilan air di 7 mata air yang diambil oleh para kokolot di iringi
dengan seni-senian.
3.
Jum’at
sore mengambil ikan di sungai. Berhubung karena ikan nya sekarang sudah tidak
ada jadi panitia menyiapkan ikan sebanyak 1 kwintal.
4.
Malam
sabtu yaitu siraman rohani dengan membacai air tersebut dengan ayat-ayat suci
5.
Sabtu
pagi yaitu sedekah kue
6.
Lugel
munding memotong kerbau. Pala, satu paha, dan jeroan kerbau dibagikan ke para
tamu. Yang selebihnya diberikan ke anak yatim dan janda.
7.
Sabtu
sore semua kesenian yang terdapat di kampung budaya ini di tampilkan
8.
Sabtu
malam hiburan adat sunda
9.
Minggu
pagi masyarakat membawa hasil panen yang mereka punya, lalu pemimpin upacara
ersebut berdoa. Setelah berdoa mereka memperebutkan hasil panen yang mereka bawa.
1.4.
Kesenian
Kampung Budaya Sindangbarang
Menjejak Kampung Budaya
Sindangbarang seperti masuk ke mesin waktu ke masa ratusan tahun lampau di mana
kerharmonisan manusia dan alam masih begitu lekat. Inilah perkampungan yang
merepresentasikan jatidiri orang-orang sunda, lengkap dengan tradisi budaya
yang masih lekat dan dijunjung tinggi oleh warganya. Di sini akan dengan mudah
ditemui anak-anak yang sedang belajar kesenian tradisional, ibu-ibu sibuk
menumbuk padi dengan lesung atau memasak dengan menggunakan hawu (tungku
tradisional), dan para petani yang sedang bekerja di sawah. Kehidupan yang
sudah sangat sulit kita temui di zaman modern ini.
Untuk melestarikan kesenian
tradisional di kampung budaya, maka diselenggarakan pelatihan tari dan gamelan untuk
generasi muda secara gratis oleh Kampung Budaya Sindang Barang, Anak-anak muda
yang telah mahir di bidang kesenian masing-masing maka akan dilibatkan dalam
pementasan menyambut tamu yang tentunya akan menambah penghasilan untuk mereka
sendiri. Pelatihan budaya ini dilaksanakan pada hari minggu dan tidak dipungut
biaya sepeserpun bagi masyarakat yang ingin mempelajari tentang kesenian
Sindangbarang ini.
Di Kampung budaya Sindangbarang sendiri
terdapat sekitar 8 macam kesenian Sunda yang telah direvitalisasi dan
dilestarikan oleh para penduduknya, antara lain yaitu: Seni Gondang, Parebut
Se’eng, Kendang Pencak, Seni Reog, Angklung gubrag, Rampak Gendang, Calung dan
Jaipong.
BAB
III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Setelah pemaparan yang telah dipaparkan oleh peniliti, maka dapat
disimpulkan:
a.
Sejarah
Kampung Sindangbarang diyakini sudah ada sekitar abad ke-XII. Keberadaan kampung ini tersurat dalam
dokumentasi masa lalu, seperti dalam babad Padjajaran dan pantun Bogor.
b.
Sebagai
perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur,
bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak sama dengan apa
yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang di masa lampau.
Rumah adat satu persatu mempunyai fungsi yang berbeda-beda dan fungsi itu
diambil dari pantun-pantun bogor.
c.
Upacara
yang ada di Sindangbarang salah satunya adalah Seren Taun, dimana waktu
pelaksanannya berbeda. Seren Taun ini merupakan bentuk rasa syukur kepada yang
Maha Kuasa atas hasil panen dan hasil bumi yang melimpah.
d.
Selain
ada upacara terdapat pula kesenian yakni adanya pelatihan tari dan gamelan untuk
generasi muda secara gratis oleh Kampung Budaya Sindang Barang, Anak-anak muda
yang telah mahir di bidang kesenian masing-masing akan dilibatkan dalam
pementasan menyambut tamu yang tentunya akan menambah penghasilan untuk mereka
sendiri.
1.2
Saran
Setiap masyarakat adat pasti memeiliki cirri khas yang melembaga
dalam ritual sehari-hari. Cirri-ciri tersebut telah menjadi identias yang harus
dihormati sebagai wujud pergulatan rasionalitas bagi penganutnya. Oleh karena
itu, tradisi keagamaan etnis kampung Budaya Sindangbarang hendaknya jangan
dipahami sekedar ritualitas belaka melainkan memiliki dimensi spiritualitas
yang mendalam yang harus diteliti, digali dan diungkapkan kepada masyarakat.
1.3
Referensi
Pram.
2013. Suku Bangsa Dunia dan Kabudayaan. Cet.1. Jakata: Cerdas Interaktif
(Penebar Swadaya Group).
BAB
IV
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pada awalnya Kampung Adat adalah kumpulan beberapa desa yang
menggunakan adat sebagai pilar kehidupan bermasyarakat. Ada tersebut dijaga dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini. Kampung adat biasanya
terletak di kampung terpencil dan asing pada teknologi dan kehidupan modern.
Seiring berjalannya waktu dan melihat pada kepentingan umum, pemerintah melalui
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan keberadaan Kampung Adat dan
mencanangkan program pelestarian berdasarkan pendidikan dan penelitian pada
kampung-kampung adat tersebut.
Kampung adat secara resmi adalah Kampung Adat yang diakui dan
dilindungi oleh Negara. Salah satu Kampung Adat di Provinsi Jawa Barat adalah
Kampung Adat Urug yang terletak di Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya
Kabupaten Bogor.
Kampung Urug merupakan salah satu Kampung Adat peninggalan Prabu
Siliwangi, di Kampung Urug ini masyarakatnya moyoritas beragama Islam. Namun,
mereka masih percaya terhadap leluhur dan menjalankan ritual-ritual sesuai
dengan ajaran nenek moyang. Di Kampung Urug ini ada tujuh upacara yang
dilaksanakan dua diantaranya di masjid dan selebihnya di Rumah Adat Urug
tersebut. Dalam laporan ini kami akan mencoba memaparkan hasil observasi mulai
dari awal mula berdirinya Kampung Adat Urug sampai kepada upacara-upacara adat
yang ada didalamnya.
1.2
Batasan
dan Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, objek dari penelitian ini adalah Kampung Adat Urug di
Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor. Fokus penelitian ini
dibatasi pada masalah sejarah, upacara, peninggalan, rumah adat, dan keagamaan
di kampung adat tersebut.
Agar pembahasan
ini lebih terarah, maka perlu dirumuskan permasalahan-permasalahan tersebut
berdasarkan pertanyaan-prtanyaan berikut:
1.
Bagaimana
sejarah Kampung Adat Urug?
2.
Apa
saja upacara-upacara yang dilaksanakan di Kampung Adat Urug?
3.
Bagaimana
bentuk dan tujuan dari rumah adat di Kampung Adat Urug?
4.
Apa
peninggalan yang ada di Kampung Adat Urug?
5.
Bagaimana
situasi keagamaan masyarakat di Kampung Adat Urug?
1.3
Tujuan
Penelitian
Tujuan dari observasi yang kita
lakukan ini yaitu untuk :
1.
Mengetahui
bagaimanakah sejarah Kampung Adat Urug
2.
Mengetahui
bagaimana upacara-upacara yang dilaksanakan di Kampung Adat Urug
3.
Mengetahui
bagaimana bentuk dan tujuan dari rumah adat di Kampung Adat Urug
4.
Mengetahui
tentang peninggalan yang ada di Kampung Adat Urug
5.
Mengetahui
bagaiamana situasi keagamaan masyarakat di Kampung Adat Urug.
BAB
V
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaa Observasi
Hari :
Jum’at-Minggu
Tanggal : 06 Mei 2016-08 Mei 2016
Tempat : Kp. Urug Ds. Kiara Pandak Kec. Sukajaya Kab. Bogor
B. Narasumber
1. Abah Ukat Raja Aya (ketua Adat)
2. Abah Maman (Kepala Kampung)
3. Bapak Ujang (Tokoh Masyarakat)
1.1. Sejarah Kampung Adat Urug
Kampung Urug adalah sebuah kampung
adat yang terletak di sebuah lembah yang subur dan masuk dalam wilayah
admisnistrasi Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Kata Urug
dijadikan nama kampung, karena menurut mereka berasal dari kata
"Guru", yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri
sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata "Guru" berdasarkan etimologi
rakyat atau kirata basa adalah akronim dari digugu ditiru. Jadi seorang guru
haruslah “digugu” dan “ditiru”, artinya dipatuhi dan diteladani segala
pengajaran dan petuahnya.
Masyarakat Kampung Urug menganggap
bahwa mereka berasal dari keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Padjajaran
Jawa Barat. Bukti dari anggapan tersebut di antaranya menurut seorang ahli yang
pernah memeriksa konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, beliau
menemukan sambungan kayu tersebut sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada
salah satu bangunan di Cirebon yang merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan
Pajajaran.
Kampung Urug menurut Abah Kolot (Kepala Adat di Kampung Urug) yang dipercaya masih merupakan penerus Kerajaan Padjajaran generasi ke-11 dari keturunan Prabu Siliwangi ke-2, yang merupakan Raja ke-5 Kerajaan Padjajaran. Bahwa Kampung Urug merupakan walikan aksara dan juga Pancer Bumi atau pusat bumi atau bisa jadi pusat dari kasepuhan adat pedalaman masyarakat keturunan Padjajaran.
Kampung Urug menurut Abah Kolot (Kepala Adat di Kampung Urug) yang dipercaya masih merupakan penerus Kerajaan Padjajaran generasi ke-11 dari keturunan Prabu Siliwangi ke-2, yang merupakan Raja ke-5 Kerajaan Padjajaran. Bahwa Kampung Urug merupakan walikan aksara dan juga Pancer Bumi atau pusat bumi atau bisa jadi pusat dari kasepuhan adat pedalaman masyarakat keturunan Padjajaran.
1.2. Upacara Kampung Adat Urug
Masyarakat Kampung Adat Urug hingga kini
masih melaksanakan berbagai upacara/ritual
adat yaitu diantaranya:
a. Muludan, memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW (tanggal 12 Rabbi’ul Awal). Dalam
acara ini ketua Adat bersama warga khusus mengirim do’a untuk nabi Muhammad karena
sudah berjasa membawa agam Islam. Biasanya dalam acara tersebut dihidangkan makanan-makanan khas daerah
dan olahan lauk-pauk yang akan dibagikan kepada warga setelah di doakan.
Adapun proses mauludan itu dilaksanakan
sebagai berikut:
1. Pukul 05.30 masyarakat datang ke rumah adat dengan
membawa ayam,
2. Ratusan orang berkumpul untuk proses pemotongan
ayam bersama,
3. Pukul 07.00-11.00 dilakukan dzikir oleh para
bapak-bapak dengan dihidangkan kue,
4. Selesai dzikir bersama para bapak pulang kemudian
ibu-ibu datang ke rumah adat dengan membawa tumpeng,
5. Kemudian acara terakhir doa bersama oleh kepala
adat dan ustadz.
b. Seren taun
(Sukuran hasil panen) dilaksanakan sebagai ungkapan rasa sukur dari petani yang
dipimpin oleh ketua Adat, rasa sukur ini ditujukan kepada yang pertama telah
memberikan bibit pokok dalam masalah pangan kepada manusia, yaitu yang maha
kuasa pertama karena pada hakekatnya bumi tempat tumbuh berbagai macam tanaman
yang bermanfaat bagi manusia, maka ketika akan mengambilnya harus meminta izin
kepada yang punya. Kegiatan ini dilakukan
setelah setelah semua warga selesai panen, dalam proses.
Seren
Taun ditandai dengan peyembelihan kerbau yang dagingnya dimasak dan dijadikan
untuk selametan, selanjutnya warga dan ketua adat melakukan ziarah ke makam
leluhur ketua adat, dan selanjutnya masyarakat pun melakukan ziarah ke makam
kerabatnya. Sepulang ziarah mengadakan selametan lagi sebagai tanda telah
mengadakan ziarah kemakam leluhur setelah itu warga mempersiapkan hidangan buat
warga dan juga tamu yang sengaja datang
dari luar baik tamu dari instansi pemerintah, mahasiswa, dan juga pedagang.
Selanjutnya mengadakan selametan yang dipimpin oleh ketua adat, setelah selesai
selametan baru hiburan dimulai seperti jaipongan, golek dan sebagainya, dan
kesokan harinya warga mengadakan selametan kembali dengan membawa pangang ayam
dan nasi sebakul, ayam yang di pangang di sembelihnya dekat rumah adat.
c.
Sedekah
rowahan, tanggal 12 bulan Rowah (Bulan
sya’ ban), dilaksanakan pada bulan (sya’ban), pagi hari masyarakat membawa ayam
satu ekor per-keluarga, dan disembelih dihalaman rumah adat, setelah selesai
dimasak, dibawah lagi ke rumah adat, selametannya di lakukan bada dhuhur, acara
ini dan doa yang dikirim sebagai wujud bakti kepada nabi adam alaihi salam
karena menjadi induk semua umat manusia.
d. Sedekah bumi, lewat beberapa bulan
setelah selesai bulan Rowah (syaban), puasa (Ramadhan), syawal. Acara ini
diadakan sebelum menanam padi. Semua warga makan bersama di halaman rumah adat,
sebelum makan bareng warga memanjat Doa agar ketika selama menanam padi selamat
dari hama dan tanpa kendala.
e.
Seren pataunan adalah sebuah acara adat penutup tahun. Acara ini bertujuan agar bisa diselamatkan tahun yang sudah dijalani, ritual
adat hampir sama dengan seren taun. Yaitu ada acara pemotongan kerbau lalu dilakukan
syukuran. Setelah pemotongan kerbau kepala adat menuju bumi alit digiring
masyarakat, dan samapai pada malam puncak sekitar pukul 08.00.
1.3.
Rumah Kampung Adat Urug
Rumah adat di Kampung Urug
ada beberapa macam: Bumi Ageung atau Gedong Ijo, sesuai warnanya yang dominan
hijau, kemudian yang kedua di depan Bumi Ageung berdiri pula sebuah
rumah panggung yang lebih kecil dalam nuansa warna yang sama, bumi alit (alias
rumah kecil). Bangunan itu
terletak paling ujung dan terpencil, terkurung dalam pagar kawat, dan cukup
memberi kesan keramat dan sakral. Adapun penjelasan lebih rincinya adalah sebagai berikut:
1. Bumi Ageung yaitu rumah yang ditempati oleh ketua adat dan biasa
dipakai penerimaan tamu ataupun upacara-upacara yang ada di Kampung Urug yang
dijadikan sebagai pusat kegiatan. Suasana di dalam Bumi Ageung tampak luas dan sedikit remang-remang. Aroma serbuk
kayu memenuhi ruangan (kebetulan saat itu sedang ada pemugaran di bagian
belakang rumah). Perabot kayu antik menjadi penyekat antar ruang yang
terbuka.
2. Rumah Panggung yaitu sebuah rumah yang berada di depan Bumi
Ageung sebagai tempat paniisan (Istirahat arwah leluhur). Tempat ini
tidak bisa dikunjungi oleh orang lain, hanya saja yang biasa ke tempat ini
adalah seseorang yang membersihkan dan merawat sebanyak 2 kali dalam sebulan.
Sedangkan selain dari petugas kebersihan yang boleh masuk adalah Ketua Adat
(Abah Ukat) dan Istrinya itupun hanya dilakukan 1 tahun sekali. Tempat ini juga
biasa dilakukan untuk semadi kepala adat.
3. Bumi Alit terletak paling ujung dan terpencil, terkurung dalam pagar kawat,
dan cukup memberi kesan keramat dan sakral. Tempat bumi alit ini yaitu kuburan nenek moyang yang
tidak diketahui. Seseorang yang bisa masuk yaitu sama hanya Ketua Adat dan
istrinya dan itupun dilakukan 2 kali dalam setahun.
4. Leuit yaitu tempat penyimpanan padi setelah panen dan sebelum
ditumbuk. Biasanya diambil pada hari-hari tertentu yaitu kamis dan minggu.
1.4. Kearifan Lokal
Kampung Adat Urug
Kearifan
lokal Kampung Urug ini memilik tiga fungsi yaitu mengatur, mngendalikan dan
memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia baik dalam bermasyarakat,
hubungannya denagn alam dan juga hubungannya dengan sang pencipta.
Ada
beberapa kearifan lokal yang ada di Kampung Adat Urug diantaraya adalah konsep
ajaran Ngaji Diri yang merupakan falsafah atau pandangan hidup warga
kesepuhan adat Urug yang diturunkan oleh leluhur dan dijalankan dan dipakai
dalam rutinitas kehidupan. Selanjutnya ialah budaya pamali yang
merupakan talek atau aturan, misalnya aturan dalam pengelola pertanian,
bahan pangan (padi) dan penggunaan bahan bangunan rumah adat dan rumah warga
kasepuhan. Selanjutnya ialah budaya Gotong royong.
1.
Konsep Ngaji Diri
Konsep Ngaji Diri (memahami diri sendiri atau mawas diri)
adalah suatu ajaran pembinaan moral yang didalamnya tercermin pengertian
koreksi diri. Di Kampung Adat Urug, ajaran Ngaji Diir disebut juga Tapa Manusia
(memahami siapa sebenarnya jati diri manusia, hakekat manusia).
Adapun prinsip-prinsp dalan Ngaji Diri:
a.
Mipit kudu amit, ngala kudu menta (mengambil atau memetik
itu harus meminta izin kepada yang mempunyainya dengan kata lain jangan
mencuri)
b.
Muruh bacot muruh concot (sikap ramah tamah kepada tamu
dan harus menjamu tamu dengan hidangan sekedarnya)
c.
Ulah harep teuing bisi tijongklok, ulah tukang teuing
bisi tijengkang (jangan terlalu depan nanti tersungkur, jangan teralalu
belakang nanti terlentang)
d.
Nafsu kasasarnya lampah, badan anu katempuhan (bila kita
terbawa nafsu maka badan yang akan menanggung akibatnya)
2.
Budaya Pamali
Pamali (Tabu)
adalah suatu aturan atau norma yang mengikat kehidupan masyarakat adat, dan
merupakan turunan ajaran konsep Ngaji Diri.
3.
Budaya Gotong Royong
Gotong royong
adalah budaya dan kearifan lokal yang ada di setiap suku-suku bangsa di
Indonesia, tak terkecuali di Kampung Adat Urug, nilai gotong royong bisa kita
lihat dalam falsafah sunda yaitu “silih asih, silih asah, silih asih silih
elingan bejan, ilmu pangempuh kadagelas istilah tersebut mempunyai nilai
untuk saling melindungi, membantu, mengayomi, membantu dan menasehati. Nilai
yang terkandung dalam falsafah tersebut adalah seperangkat nilai dan pegangan
dalam perilaku masyarakat, seperti prilaku gotong royong yang ada di Kampung
Adat Urug. Perilaku gotong royong tersebut ialah dalam melakukan proses
pertanian yang dilakukan secara bersama-sama seperti penanaman padi bareng,
pengurusan irigasi secara bersama-sama, dan panen padi bersama-sama.
1.5.
Sistem Kekerabatan dan Kepemimpinan
Mengenai sistem kekerabatan, di Kampung Urug dikenal dengan tali
kekerabatan yang disebut Tatali Kahuripan karena semua yang tinggal di kampung
Urug masih memiliki hubungan saudara. Di Kampung Urug dipimpin oleh Ki Kolot
Ukat, Ki Kolot Ukat ini yang bertugas mengendalikan dan mempertahankan adat
istiadat yang sudah turun temurun. Adapun sistem kepemimpinan di Kampung Urug
ini, ada tingkatan tertentu yaitu tingkatan tertinggi yaitu ketua suku, kedua
ketua kampung, selanjutya RW dan RT. Mengenai pemilihJadi an ketua suku atau
ketua adat, di kampung Urug ini menggunakan wangsit. yang menjadi pemimpin adat
tidaklah harus keturunan dari pemimpin adat yang sebelumnya, melainkan yang
jadi pemimpin suku selanjutnya itu hanya pemimpin adat (yang sekarang Abah Ukat)
yang dapat mengetahuinya.
1.7.
Jadwal Kegiatan Observasi
Kampung Adat Urug
A.
Hari Pertama (Jum’at, 06 Mei 2016)
08.00-09.00 Preparing (Halte UIN)
13.00-13.30 ISHOMA (Musholla kampung Urug)
13.30-14.15 Ramah Tamah dengan keluarga Abah Ukat
14.15-17.00 Membaur dengan warga (wawancara dengan bapak Ujang)
17.00-19.30 ISHOMA
19.30-22.00 Belajar Mengenal sejarah Kampung Adat Urug Bogor
08.00-09.00 Preparing (Halte UIN)
13.00-13.30 ISHOMA (Musholla kampung Urug)
13.30-14.15 Ramah Tamah dengan keluarga Abah Ukat
14.15-17.00 Membaur dengan warga (wawancara dengan bapak Ujang)
17.00-19.30 ISHOMA
19.30-22.00 Belajar Mengenal sejarah Kampung Adat Urug Bogor
22.00-05.00 Istirahat Tidur
B.
Hari Kedua (Sabtu, 07 Mei 2016)
05.00-07.00 Sholat, Olah Raga, Sarapan Pagi
07.00-08.00 Menyaksikan Tradisi penumbukan padi
08.00-10.30 Traking ke sungai bersama anak-anak kampung urug
10.30-13.00 ISHOMA
13.00-16.15 Traking ke tempat penyimpanan padi
16.15-17.00 Diskusi
17.00-19.00 ISHOMA
19.00-20.15 berkunjung ke rumah Sekretaris Desa
20.15-22.30 Wawancara dengan Abah Maman kepala kampung
22.30-22.45 Diskusi
05.00-07.00 Sholat, Olah Raga, Sarapan Pagi
07.00-08.00 Menyaksikan Tradisi penumbukan padi
08.00-10.30 Traking ke sungai bersama anak-anak kampung urug
10.30-13.00 ISHOMA
13.00-16.15 Traking ke tempat penyimpanan padi
16.15-17.00 Diskusi
17.00-19.00 ISHOMA
19.00-20.15 berkunjung ke rumah Sekretaris Desa
20.15-22.30 Wawancara dengan Abah Maman kepala kampung
22.30-22.45 Diskusi
22.45-04.50
Istirahat Tidur
C. Hari ketiga (Minggu, 08 Mei 2016)
C. Hari ketiga (Minggu, 08 Mei 2016)
04.50-07.00
Prepare Pulang, sarapan Pagi
07-00-09.45
Gotong-royong pembongkaran rumah Adat
10.45-11.30
Makan siang, Perpisahan dengan keluarga Abah Ukat
11.30-12.00
Ramah tamah dengan warga sekitar dan Check Out
BAB VI
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Setelah pemaparan di atas maka dapat disimpulkan sebabgai
berikut:
1.
Masyarakat Kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal
dari keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Padjajaran Jawa Barat. Kata
Urug dijadikan nama kampung, karena menurut mereka berasal dari kata
"Guru", yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri
sekarang dibaca dari sebelah kanan.
2.
Masyarakat Kampung Adat
Urug hingga kini masih melaksanakan berbagai upacara/ritual
adat yaitu diantaranya:
Muludan, Seren taun, Sedekah Rowahan, Sedekah bumi, Seren pataunan.
3.
Rumah
adat terdiri dari: Bumi Ageung, Rumah
Panggung , Bumi Alit dan Leuit.
4.
Kearifan
lokal Kampung Adat Urug terdiri dari 3 yaitu ngaji diri, budaya pamali dan
budaya gotong royong
5.
Adapun
sisitem kekerabatannya dalam satu kampung itu masih ada hubungan saudara.
1.2. Saran
Setiap masyarakat adat pasti memiliki
ciri khas yang melembaga dalam ritual kehidupan sehari-hari. Ciri-ciri tersebut
telah menjadi identitas yang harus dihormati sebagai wujud pergulatan
rasionalitas bagi para penganutnya. Oleh karena itu, tradisi keagamaan
masyarakat etnis Kampung Adat Urug hendaknya jangan dipahami sekedar ritualitas
belaka melainkan memiliki dimensi spirititualitas yang mendalam yang harus
diteliti dan digali kepada masyarakat.
1.3. Referensi
Astuti Dewi, Risma Rismawati. 1987. Adat Istiadat:
Masyarakat Jawa Barat. Bandung: PT. Sarana Panca Karyanusa.
Halimi. 2013. Kearifan
Lokal dalam Upaya Ketahanan Pangan di Kampung Urug Bogor. Skripsi pada FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: tidak diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar