Kamis, 19 Mei 2016

Responding Paper Suku Jawa


A.    Kepercayaan tradisional Jawa dan aneka laku yang di praktekkan
1.     Tahlilan
Tahlilan berasal dari kata Hallala, Yuhallilu, Tahlillan. Artinya membaca kalimah La Ilaha Illallah. Biasanya dilakukan di masuki, musholah, rumah atau lapangan.
2.     Ziarah Kubur
Ziarah kubur adalah mengunjungi makam sudah menjadi pemandangan umum di masyarakat kalau tidak kamis sore kadang Jum,at pagi.[1] Hal ini dilakukan karena sejak jaman agama Islam belum masuk ke Jawa. Masyarakat Jawapun melakukan ziarah kubur namun masih dalam kepercayaan Hindu-Buddha.
3.     Haul
Kata “Haul” berasal dari Arab artinya setahun. Peringatan haul berarti peingatan genap satu tahun biasanya peringatan-peringatan seperti ini kebanyakan dilakukan oleh masyarakat Islam jawa, gema haul akan terasa dahsyat apabila yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar, atau pendiri sebuah pesantren. Rangkaian acaranya biasnya dapat bervariasi, ada pengajian, tahlil akbar, mujahadah dan musyawarah.[2]
B.    Upacara keagamaan dan makna Keselamatan Orang jawa
Slametan, dengan demikian, merupakan upacara dasar yang inti di sebagaian msyarakat Mojokuto dimana pandangan dunia abangan paling menonjol. Pada beberapa peritiwa, melalui perjalan, umpamanya, slametan itu mungkin mencakup keseluruhan upacara : pada peristiwa lain, seperti pesta perkawinan.[3] Slametan terbagi dalam empat jenis yaitu :
1.     Yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya
2.     Yang ada sangkutannya dengan intregasi sosial desa, bersih desa, (harfiah berarti pembersihan desa, yakni dari roh-roh jahat
3.     Slametan sela yang Yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan seperti kelahiran, khitanan dan kematian
4.     diselenggarakan dalam waktu yang tidak tepat, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang. Keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung dan sebagainya.[4]
Selametan ini mempunyai makna sebagai wujud rasa syukur kita kepada Tuhan yang Esa atas nikmat yang Ia berikan. Dalam slametan ini ada beberapa makanan yang wajib disajikan seperti sesajin, bubur merah, air putih, dll.
C.    Kepercayaan kejawen ( kepercayaan orang abangan di jawa )
Dalam kepercayaan kejawe klasik, apa yang disebut “leluhur” itu adalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat luhur pada masa hidupnya dan setelah meninggal mereka masih senantiasa di hubungi oleh orang-orang yang masih hidup denga cara melakukan upacara adat.  Dan masyarakat Jawa mempunyai kepercayaaan terhadap makhluk halus, ada tiga jenis seperti :
1)     Memedi : Roh yang Menakut-nakuti
Memedi adalah istilah Jawa untuk jenis roh yang paling mudah di pahami orang barat, karena ia hampir tepat sama dengan apa yang dalam bahasa Inggris disebut Spooks (hantu).
2)     Tuyul : Makhluk Halus Yang Karib
Tuyul adalah soal lain. Walaupun beberapa orang mengatakan bahwa mereka itu bisa di daptkan lewat puasa dan meditasi dan orang lain lagi mengatakan bahwa kita malahan tak perlu melakukan itu ( semuanya itu tergantung dari tuyul sendiri, kalau ia ingin menolong kita ia akan menolong dan kalau ia tidak mau, ia akan menolak, tak peduli apapun yang kita lakukan ) tetapi kebanyakan orang bernggapan bahwa orang perlu membuat semacam perjanjian dengan setan, supaya tuyul mau menerima tawarannya.
3)     Lelembut : Roh Yang Menyebabkan kesurupan
Teori jawa tentang kesurupan sudah berkembang agak lanjut. Lelembu menurut beberapa orang selalu msuk kedalam tubuh dari bawah melalui kaki (itulah sebabnya orang membasuh kakinya sebelum bersembahyang di Masjid).
4)     Demit : Makhluk Halus Yang Menghuni Suatu Tempat
Ada banyak versi tentang mitos penciptaan Jawa, babad Tanah Jawi. Dalam suatu dongeng yang dikisahkan kepada saya oleh seorang dalang di desa sebelah utara Mojokuto, kisah itu mulai dengan Semar. Pelawak wayang kulit yang lucu dan bija,pahlawan kebudayaan jawa yang berbicara kepada seorang pendeta Hindu-Muslim, orang pertama dari rangkaian panjang para kolonis. Penda itu berkata kepada semar : Ceritakan kepadaku kisah pulau Jawa seblum ada manusia. Semar mengatakan bahwa pada masa itu seluruh pulau diliputi oleh hutan belantara kecuali sebidang kecil sawah tempat semar bertanam padi di kaki gunung Merbabu (sebuah gunung berapi di Jawa Tengah). sebenarnya kata semar, aku bukan manusia aku adalah makhluk halus yang tertua, raja dan nenek moyang sekalian makhluk halus, dan melalui mereka ini menjadi raja seluruh manusia.
5)     Danyang : Roh Pelindung
Danyang umumnya adalah nama lain dari demit (yang adalah akar kata Jawa yang berarti “Roh”) seperti demit. Danyang tinggal menetap pada suatu tempat yang disebut punden seperti demit, mereka menerima permohonan orng untuk minta tolong dan sebagai imbalnnya menerima persembahan slametan. [5]
Sebagian besar dari masyarakat Jawa adalah Jawa Kejawen atau Islam abangan, dalam hal ini mereka tidak menjalani kewajiban-kewajiban agama Islam secara utuh misalnya tidak melakukan sembayang lima waktu, tidak ke mesjid dan ada juga yang tidak berpuasa di saat bulan Ramadhan. Dasar pandangan mereka adalah pendapat bahwa tatanan alam dan masyarakat sudah ditentukan dalam segala seginya. Mereka menganggap bahwa pokok kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya jadi mereka harus menaggung kesulitanhidupnya dengan sabar. Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari roh nenek moyang yang seperti Tuhan sehingga menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman
            Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa. Pemahan orang Jawa Kejawen ditentukan oleh kepercayaan mereka pada pelbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk melindungi semuanya itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun bunga serta kemenyan.
Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa Kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir, semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat orang dapat menjadi lebih kuat rohaninya dan kelak akan mendapat manfaat.
D.    Kitab-kitab Kejawen (Kitab Serat Wulangreh, Kitab Serat Weddatama, Kitab Hidayat Jati, Kitab Darmogandul, Kitab Gatoloco)
a.     Serat Wulang Reh
Wulang Reh atau Serat Wulangreh adalah karya sastra berupa tembang macapat karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Raja Surakarta, yang lahir pada 2 September1768. Dia bertahta sejak 29 November1788 hingga akhir hayatnya pada 1 Oktober1820.Naskah Wulang Reh saat ini disimpan di Museum Radya Pustaka di Surakarta[6]
b.     Serat Wedhatama
Serat Wedhatamaadalah sebuah karya sastra Jawa Baru yang bisa digolongkan sebagai karya moralistis-didaktis yang sedikit dipengaruhi Islam. Karya ini secara formal dinyatakan ditulis oleh KGPAAMangkunegara IV. Serat ini dianggap sebagai salah satu puncak estetika sastra Jawa abad ke-19 dan memiliki karakter mistik yang kuat. Bentuknya adalah tembang, yang biasa dipakai pada masa itu.Serat ini terdiri dari 100 pupuh (bait, canto) tembang macapat, yang dibagi   dalam lima lagu. [7]
c.      Serat Wirid Hidayat Jati
Gambaran umum dan garis besar isi serat Wirid Hidayat Jati ini sebagaimana Damogandhul dan Gatholoco dipergunakan oleh Prof. Dr. H. M. RRasasyidi untuk menggambarkan apa yang dinamakan Aliran Kebatinan. Jadi dijadikan sampel yang mewakili aliran Kebatinan. Serat Wirid Hidayat Jati merupakan salah satu dari sekian banyak hasil karya pujangga masyhur kraton Surakarta Raden Ngabehi Rongggowarsito. Tulisan ini disempurnakan atau diselesaikan penulisnya pada tahun Jawa 1791 atau tahun 1862 yang ditulis dalam bahasa Jawa karma gancaran (prosa) yang halus dan indah dengan tulisan huruf Jawa. [8]
d.     Kitab Darmogandul
Banyak versi yang menjelaskan tentang kitab Darmogandul, terutama tentang jati diri orang yang menulis kitab tersebut dan kapan kitab tersebut ditulis. Ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa kitab tersebut ditulis oleh Ki Kalamwadi yang mempunyai guru bernama Raden Budi Sukardi. Ki Kalamwadi ini mempunyai murid yang bernama Darmo Gandhul. Nama dari muridnya inilah yang kemudian menjadi nama kitabnya. Dalam versi itu juga disebutkan bahwa kitab ini ditulis pada tahun 1478 M, yakni ketika kerajaan Majapahit masih berdiri.
e.     Kitab Gatoloco
Adapun “kitab suci” aliran kebatinan yang mirip dengan Darmogandul adalah Gatoloco. Kitab ini diperkirakan sudah ada pada abad ke 19 M. Gatoloco sendiri adalah nama tokoh utama dari kitab tersebut. Dia digambarkan memiliki wajah dan penampilan yang buruk. Orangnya kerdil, tidak memiliki mata, hidung, dan telinga.
F.       Interaksi Kepercayaan Orang Jawa dengan agama-agama lain
Jawa dinilai sebagai sebuah kebudayaan yang memiliki kekokohan untuk menjadikannya tetap eksis. Kedatangan agama Budha ke dalam kebudayaan Jawa tidak menciptakan Jawa yang Budha. Masuknya agama Hindu juga tidak mampu menciptakan Jawa yang Hindu. Begitupun Islam, betapa luasnya pengaruh agama ini, terlebih paska kemunduran dan kehancuran kerajaan Majapahit yang ditandai dengan kebangkitan Demak, tidak mampu menciptakan Jawa yang Islam. Yang terbentuk dari semua persentuhan agama-agama tersebut adalah Budha, Hindu dan Islam yang Jawa, bukan sebaliknya.
Pandangan umum tentang Jawa telah sampai pada kesimpulan bahwa Interaksi cukup kuat antar agama-agama yang masuk ke Jawa menciptakan bentuk keislaman yang tidak lagi murni dan terbebas dari unsur-unsur yang tidak Islami, atau ;lebih tepatnya tetap dipengaruhi secara dominan oleh anasir agama sebelumnya.
Pandangan lain yang cukup terkenal adalah pandangan dikotomis yang dimunculkan oleh Clifford Geerzt dalam Religion of Java yang mengkalisfikasikan masyarakat Jawa kedalam tiga kategori besar; Santri, Abangan dan Priyayi.[9]
   Orang Jawa kejawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang cukup penting. Dalam kesusastraan kuno orang Jawa, orang yang berabad-abad bertapa dianggap sebagai orang keramat karena dengan bertapa orang dapat menjalankan kehidupan yang ketat ini dengan disiplin tinggi serta mampu manahan hawa nafsu sehingga tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Kegiatan orang Jawa kejawen yang lainnya adalah meditasi atau semedi. Menurut Koentjaraningrat, meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata (bertapa) dan dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya di gunung, makam keramat, ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada umumnya orang melakukan meditasi adalah untuk mendekatkan atau menyatukan diri dengan Tuhan.
Spiritualitas Jawa
            Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan  Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. [10]
Masuknya ajaran Hindu dan Budha ternyata tidak menghapus agama asli masyarakat Jawa. Agama asli tidak punah, tetapi justru menemukan bentuk dan tempatnya yang lebih baik bagi perkembangan keyakinan tersebut. Walau demikian, Hindu-Budha memberikan konsep baru dengan mentranformasikan keyakinan masyarakat akan kekuatan pada benda-benda dan ruh menuju pada kekuatan figur-figur tertentu, yakni raja-raja. Raja dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Dari kosep ini muncullah budaya untuk patuh tanpa reserve pada raja.
Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar. Dimulai dari transformasi keyakinan dari Hindu-Budha ke Islam. Transformasi ini didukung oleh raja yang juga ikut memeluk Islam. Penyebar Islam di Jawa adalah Walisongo, sebagai juru dakwah dan guru tarekat. Corak Islam Jawa adalah bercorak tasawuf. Sementara itu, pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya bercorak mistik sehingga pandangan Islam yang bercorak tasawuf ini sejalan dengan keyakinan mereka.[11]










































[1] Abdul Jamil Dkk. Islam Dan Kebudayaan Jawa.(Yogyakarta:Gama Media.2002).h.17
[2] Zain Mukhtarom. Islam Di Jawa Dalam Prespektif Santri Dan Abangan.(Jakarta:Salembah Diniyah.2002).h.24
[3]Clifford Geertz. Abangan,Santri,Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta:Pustaka Jaya.Cet.II,1983).h.59
[4] Clifford Geertz. Ibid.h.38
[5] Clifford Geertz. Ibid, h. 21-32
[6]https://id.wikipedia.org/wiki/Wulang_Reh diakses pada tanggal 10 Maret 2015
[7] Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan. (Jakarta: PT. Grafindo Persada. Cet.1,1996). h.69
[8]Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. (Jakarta: UI Press. Cet.1,1988). h. 69
                                                                                                                                        
[10]http://gpmb.perpusnas.go.id/index.php?module=artikel&id=10
[11] Rahmad Subagja, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hal. 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar