A. Kepercayaan tradisional Jawa dan aneka laku yang di praktekkan
1.
Tahlilan
Tahlilan berasal dari kata Hallala, Yuhallilu, Tahlillan. Artinya
membaca kalimah La Ilaha Illallah. Biasanya dilakukan di masuki, musholah,
rumah atau lapangan.
2.
Ziarah Kubur
Ziarah kubur adalah mengunjungi makam sudah menjadi pemandangan
umum di masyarakat kalau tidak kamis sore kadang Jum,at pagi.[1] Hal ini dilakukan karena
sejak jaman agama Islam belum masuk ke Jawa. Masyarakat Jawapun melakukan
ziarah kubur namun masih dalam kepercayaan Hindu-Buddha.
3.
Haul
Kata “Haul” berasal dari Arab artinya setahun. Peringatan haul
berarti peingatan genap satu tahun biasanya peringatan-peringatan seperti ini
kebanyakan dilakukan oleh masyarakat Islam jawa, gema haul akan terasa dahsyat
apabila yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar, atau pendiri
sebuah pesantren. Rangkaian acaranya biasnya dapat bervariasi, ada pengajian,
tahlil akbar, mujahadah dan musyawarah.[2]
B.
Upacara
keagamaan dan makna Keselamatan Orang jawa
Slametan, dengan demikian, merupakan upacara dasar yang inti di
sebagaian msyarakat Mojokuto dimana pandangan dunia abangan paling menonjol.
Pada beberapa peritiwa, melalui perjalan, umpamanya, slametan itu mungkin
mencakup keseluruhan upacara : pada peristiwa lain, seperti pesta perkawinan.[3] Slametan terbagi dalam
empat jenis yaitu :
1.
Yang ada
hubungannya dengan hari-hari raya Islam seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul
Adha dan sebagainya
2.
Yang ada sangkutannya
dengan intregasi sosial desa, bersih desa, (harfiah berarti pembersihan desa,
yakni dari roh-roh jahat
3.
Slametan sela
yang Yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan seperti kelahiran, khitanan
dan kematian
4.
diselenggarakan
dalam waktu yang tidak tepat, tergantung kepada kejadian luar biasa yang
dialami seseorang. Keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat,
ganti nama, sakit, terkena tenung dan sebagainya.[4]
Selametan ini mempunyai makna sebagai wujud rasa syukur kita kepada
Tuhan yang Esa atas nikmat yang Ia berikan. Dalam slametan ini ada beberapa
makanan yang wajib disajikan seperti sesajin, bubur merah, air putih, dll.
C.
Kepercayaan
kejawen ( kepercayaan orang abangan di jawa )
Dalam
kepercayaan kejawe klasik, apa yang disebut “leluhur” itu adalah orang-orang
yang memiliki sifat-sifat luhur pada masa hidupnya dan setelah meninggal mereka
masih senantiasa di hubungi oleh orang-orang yang masih hidup denga cara
melakukan upacara adat. Dan masyarakat
Jawa mempunyai kepercayaaan terhadap makhluk halus, ada tiga jenis seperti :
1)
Memedi : Roh
yang Menakut-nakuti
Memedi adalah
istilah Jawa untuk jenis roh yang paling mudah di pahami orang barat, karena ia
hampir tepat sama dengan apa yang dalam bahasa Inggris disebut Spooks (hantu).
2)
Tuyul : Makhluk
Halus Yang Karib
Tuyul adalah
soal lain. Walaupun beberapa orang mengatakan bahwa mereka itu bisa di daptkan
lewat puasa dan meditasi dan orang lain lagi mengatakan bahwa kita malahan tak
perlu melakukan itu ( semuanya itu tergantung dari tuyul sendiri, kalau ia
ingin menolong kita ia akan menolong dan kalau ia tidak mau, ia akan menolak,
tak peduli apapun yang kita lakukan ) tetapi kebanyakan orang bernggapan bahwa
orang perlu membuat semacam perjanjian dengan setan, supaya tuyul mau menerima
tawarannya.
3)
Lelembut : Roh
Yang Menyebabkan kesurupan
Teori jawa
tentang kesurupan sudah berkembang agak lanjut. Lelembu menurut beberapa orang
selalu msuk kedalam tubuh dari bawah melalui kaki (itulah sebabnya orang
membasuh kakinya sebelum bersembahyang di Masjid).
4)
Demit : Makhluk
Halus Yang Menghuni Suatu Tempat
Ada banyak
versi tentang mitos penciptaan Jawa, babad Tanah Jawi. Dalam suatu dongeng yang
dikisahkan kepada saya oleh seorang dalang di desa sebelah utara Mojokuto,
kisah itu mulai dengan Semar. Pelawak wayang kulit yang lucu dan bija,pahlawan
kebudayaan jawa yang berbicara kepada seorang pendeta Hindu-Muslim, orang
pertama dari rangkaian panjang para kolonis. Penda itu berkata kepada semar :
Ceritakan kepadaku kisah pulau Jawa seblum ada manusia. Semar mengatakan bahwa
pada masa itu seluruh pulau diliputi oleh hutan belantara kecuali sebidang
kecil sawah tempat semar bertanam padi di kaki gunung Merbabu (sebuah gunung
berapi di Jawa Tengah). sebenarnya kata semar, aku bukan manusia aku adalah
makhluk halus yang tertua, raja dan nenek moyang sekalian makhluk halus, dan
melalui mereka ini menjadi raja seluruh manusia.
5)
Danyang : Roh
Pelindung
Danyang umumnya
adalah nama lain dari demit (yang adalah akar kata Jawa yang berarti “Roh”)
seperti demit. Danyang tinggal menetap pada suatu tempat yang disebut punden
seperti demit, mereka menerima permohonan orng untuk minta tolong dan sebagai
imbalnnya menerima persembahan slametan. [5]
Sebagian besar dari masyarakat Jawa adalah Jawa Kejawen atau Islam
abangan, dalam hal ini mereka tidak menjalani kewajiban-kewajiban agama Islam
secara utuh misalnya tidak melakukan sembayang lima waktu, tidak ke mesjid dan
ada juga yang tidak berpuasa di saat bulan Ramadhan. Dasar pandangan mereka
adalah pendapat bahwa tatanan alam dan masyarakat sudah ditentukan dalam segala
seginya. Mereka menganggap bahwa pokok kehidupan dan status dirinya sudah
ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya jadi mereka harus menaggung
kesulitanhidupnya dengan sabar. Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat
dengan kepercayaan mereka pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari roh nenek
moyang yang seperti Tuhan sehingga menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman
Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa. Pemahan orang Jawa Kejawen ditentukan oleh kepercayaan mereka pada pelbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk melindungi semuanya itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun bunga serta kemenyan.
Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa Kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir, semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat orang dapat menjadi lebih kuat rohaninya dan kelak akan mendapat manfaat.
Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa. Pemahan orang Jawa Kejawen ditentukan oleh kepercayaan mereka pada pelbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk melindungi semuanya itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun bunga serta kemenyan.
Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa Kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir, semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat orang dapat menjadi lebih kuat rohaninya dan kelak akan mendapat manfaat.
D.
Kitab-kitab
Kejawen (Kitab Serat Wulangreh, Kitab Serat Weddatama, Kitab Hidayat Jati,
Kitab Darmogandul, Kitab Gatoloco)
a.
Serat Wulang
Reh
Wulang Reh atau Serat Wulangreh adalah karya sastra berupa tembang
macapat karya Sri
Susuhunan Pakubuwana IV, Raja Surakarta, yang lahir pada 2 September1768. Dia bertahta sejak 29 November1788 hingga akhir hayatnya pada 1 Oktober1820.Naskah Wulang Reh saat ini disimpan di Museum Radya Pustaka di Surakarta[6]
b.
Serat Wedhatama
Serat Wedhatamaadalah sebuah
karya sastra Jawa Baru yang bisa digolongkan sebagai karya
moralistis-didaktis yang sedikit dipengaruhi Islam. Karya ini secara formal
dinyatakan ditulis oleh KGPAAMangkunegara IV. Serat ini
dianggap sebagai salah satu puncak estetika sastra Jawa abad ke-19 dan memiliki
karakter mistik yang kuat. Bentuknya adalah tembang, yang biasa
dipakai pada masa itu.Serat ini terdiri dari 100 pupuh (bait, canto) tembang macapat, yang
dibagi dalam lima lagu. [7]
c.
Serat Wirid
Hidayat Jati
Gambaran umum dan garis besar isi serat Wirid Hidayat Jati ini
sebagaimana Damogandhul dan Gatholoco dipergunakan oleh Prof. Dr. H. M.
RRasasyidi untuk menggambarkan apa yang dinamakan Aliran Kebatinan. Jadi
dijadikan sampel yang mewakili aliran Kebatinan. Serat Wirid Hidayat Jati
merupakan salah satu dari sekian banyak hasil karya pujangga masyhur kraton
Surakarta Raden Ngabehi Rongggowarsito. Tulisan ini disempurnakan atau
diselesaikan penulisnya pada tahun Jawa 1791 atau tahun 1862 yang ditulis dalam
bahasa Jawa karma gancaran (prosa) yang halus dan indah dengan tulisan huruf
Jawa. [8]
d.
Kitab
Darmogandul
Banyak versi
yang menjelaskan tentang kitab Darmogandul, terutama tentang jati diri orang
yang menulis kitab tersebut dan kapan kitab tersebut ditulis. Ada sebagian
kalangan yang menyatakan bahwa kitab tersebut ditulis oleh Ki Kalamwadi yang
mempunyai guru bernama Raden Budi Sukardi. Ki Kalamwadi ini mempunyai murid
yang bernama Darmo Gandhul. Nama dari muridnya inilah yang kemudian menjadi
nama kitabnya. Dalam versi itu juga disebutkan bahwa kitab ini ditulis pada
tahun 1478 M, yakni ketika kerajaan Majapahit masih berdiri.
e.
Kitab Gatoloco
Adapun “kitab
suci” aliran kebatinan yang mirip dengan Darmogandul adalah Gatoloco. Kitab ini
diperkirakan sudah ada pada abad ke 19 M. Gatoloco sendiri adalah nama tokoh
utama dari kitab tersebut. Dia digambarkan memiliki wajah dan penampilan yang
buruk. Orangnya kerdil, tidak memiliki mata, hidung, dan telinga.
F.
Interaksi
Kepercayaan Orang Jawa dengan agama-agama lain
Jawa
dinilai sebagai sebuah kebudayaan yang memiliki kekokohan untuk menjadikannya
tetap eksis. Kedatangan agama Budha ke dalam kebudayaan Jawa tidak menciptakan
Jawa yang Budha. Masuknya agama Hindu juga tidak mampu menciptakan Jawa yang
Hindu. Begitupun Islam, betapa luasnya pengaruh agama ini, terlebih paska
kemunduran dan kehancuran kerajaan Majapahit yang ditandai dengan kebangkitan
Demak, tidak mampu menciptakan Jawa yang Islam. Yang terbentuk dari semua
persentuhan agama-agama tersebut adalah Budha, Hindu dan Islam yang Jawa, bukan
sebaliknya.
Pandangan
umum tentang Jawa telah sampai pada kesimpulan bahwa Interaksi cukup kuat antar
agama-agama yang masuk ke Jawa menciptakan bentuk keislaman yang tidak lagi
murni dan terbebas dari unsur-unsur yang tidak Islami, atau ;lebih tepatnya
tetap dipengaruhi secara dominan oleh anasir agama sebelumnya.
Pandangan
lain yang cukup terkenal adalah pandangan dikotomis yang dimunculkan oleh
Clifford Geerzt dalam Religion of Java yang mengkalisfikasikan masyarakat Jawa
kedalam tiga kategori besar; Santri, Abangan dan Priyayi.[9]
Orang
Jawa kejawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang cukup penting. Dalam
kesusastraan kuno orang Jawa, orang yang berabad-abad bertapa dianggap sebagai
orang keramat karena dengan bertapa orang dapat menjalankan kehidupan yang
ketat ini dengan disiplin tinggi serta mampu manahan hawa nafsu sehingga
tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Kegiatan orang Jawa kejawen yang
lainnya adalah meditasi atau semedi. Menurut Koentjaraningrat, meditasi atau
semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata (bertapa) dan dilakukan
pada tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya di gunung, makam keramat,
ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada umumnya orang melakukan meditasi
adalah untuk mendekatkan atau menyatukan diri dengan Tuhan.
Spiritualitas Jawa
Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. [10]
Spiritualitas Jawa
Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. [10]
Masuknya ajaran
Hindu dan Budha ternyata tidak menghapus agama asli masyarakat Jawa. Agama asli
tidak punah, tetapi justru menemukan bentuk dan tempatnya yang lebih baik bagi
perkembangan keyakinan tersebut. Walau demikian, Hindu-Budha memberikan konsep
baru dengan mentranformasikan keyakinan masyarakat akan kekuatan pada
benda-benda dan ruh menuju pada kekuatan figur-figur tertentu, yakni raja-raja.
Raja dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Dari kosep ini muncullah budaya
untuk patuh tanpa reserve pada raja.
Jaman kerajaan
Jawa-Islam membawa pengaruh besar. Dimulai dari transformasi keyakinan dari
Hindu-Budha ke Islam. Transformasi ini didukung oleh raja yang juga ikut
memeluk Islam. Penyebar Islam di Jawa adalah Walisongo, sebagai juru dakwah dan
guru tarekat. Corak Islam Jawa adalah bercorak tasawuf. Sementara itu,
pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya bercorak mistik sehingga pandangan
Islam yang bercorak tasawuf ini sejalan dengan keyakinan mereka.[11]
[1] Abdul Jamil Dkk. Islam Dan
Kebudayaan Jawa.(Yogyakarta:Gama Media.2002).h.17
[2] Zain Mukhtarom. Islam Di Jawa
Dalam Prespektif Santri Dan Abangan.(Jakarta:Salembah Diniyah.2002).h.24
[3]Clifford Geertz. Abangan,Santri,Priyayi
Dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta:Pustaka Jaya.Cet.II,1983).h.59
[4] Clifford Geertz. Ibid.h.38
[5] Clifford Geertz. Ibid, h.
21-32
[7] Drs. Romdon, MA. Ajaran
Ontologi Aliran Kebatinan. (Jakarta: PT. Grafindo Persada. Cet.1,1996).
h.69
[8]Simuh. Mistik Islam Kejawen
Raden Ngabehi Ranggawarsita. (Jakarta: UI Press. Cet.1,1988). h. 69
[9]https://kabartersiar.wordpress.com/2008/07/20/membaca-jawa-studi-atas-interaksi-kebudayaan-jawa-hindu-budha-sebelum-islam/ diakses pada 10 Maret 2016
[10]http://gpmb.perpusnas.go.id/index.php?module=artikel&id=10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar