Senin, 30 Mei 2016

Responding Paper Suku Toraja


A.      Asal-Usul Suku Toraja
Kepercayaan  aluk to dolo adalah kepercaayaan asli tanah toraja yang terletak kurang lebih 300 km, disebelah utara ujung pandang, sulawesi selatan. Secara harfiah, aluk artinya kepercayaan to artinya orang dolo artinya dulu jadi aluk todolo artinya kepercayaan orang dulu atau kepercayaan peninggalan nenek moyang
DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut. Ketika bangsa Bugis sekian lama berkembang di daratan Sulawesi, barulah mereka mengetahui bahwa ada suatu penduduk yang bermukim di sekitar pegunungan, yang memiliki budaya dan peradaban yang berkembang lebih lama dari kehadiran suku Bugis di wilayah ini. Menurut cerita Bugis istilah Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.[1]
B.       Pokok-Pokok Ajaran Aluk To Dolo
Dalam konsep Ketuhanan, tidak berbeda dengan konsep anemisme lainya, aluk to dolo mempercayai adanya kekuatan gaib pada alam, iya berada dimana-mana, seperti dipinggir langit, ditepi laut, disungai, dalam lapisan tanah, lapisan batu, didalam matahari, di hutan, di laut, di poju, di tempat para arwah yang sudah meninggal.
Ajaran Aluk Todolo,selain memuja dan menyembah kepada Puang Matua juga memuja dan menyembah pula kepada Deata – Deata yang mana Deata – deata ini terbagia atas 3 ( tiga ) golongan yang masing – masing :Deata Tangngana Langi’( Sang Pemelihara di Langit ) yaitu Deata atau Dewa yang menguasai seluruh isi langit dan cakrawala.
1        Deata Kapadanganna( Sang Pemelihara Permukaan Bumi ) Yaitu Deata atau Dewa yang menguasai seluruh apa yangterdapat diatas muka bumi.
2        Deata Tangngana Padang( Sang Pemelihara dibawah permukaan bumi atau didalam perut bumi ) yaitu Dewa atau Deata yang menguasai segala isi tanah, lautan dan sungai.[2]
C.       Upacara Keagamaan Masyarakat Toraja
Toraja sangat dikenal dengan upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara dikenal 2 (dua) macam pembagian yaitu Upacara kedukaan disebut Rambu Solo'.
Upacara ini meliputi 7 (tujuh) tahapan,yaitu :
a. Rapasan
b. Barata Kendek
c. Todi Balang
d. Todi Rondon.
e. Todi Sangoloi
f.  Di Silli'
g. Todi Tanaan.
Upacara kegembiraan disebut Rambu Tuka'.
Upacara ini juga meliputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu
a. Tananan Bua’
b. Tokonan Tedong
c. Batemanurun
d. Surasan Tallang
e. Remesan Para
f. Tangkean Suru
g. Kapuran Pangugan
Upacara Pernikahan Suku Toraja
Pernikahan bagi orang Toraja harus dengan restu kedua pasang orang tua, jika itu dilanggar maka pria dan wanita yang menikah tersebut akan diasingkan atau tidak diakui sebagai anak. Pada jaman dahulu pernikahan tentu belum seperti sekarang, pria dan wanita belum bebas dan orang tua serta keluarga besar memegang kendali dalam proses perjodohan tersebut. Perjodohan atau pernikahan diawali dengan sebuah hantaran berinteraksi sirih dari keluarga pria ke keluarga calon mempelai wanita. Ini sebagai langkah awal untuk mengetahui apakah ada jalan untuk meneruskan ke jenjang berikutnya atau tidak. Keluarga pria akan mengutus orang yang dipercaya untuk membawa sirih ke rumah perempuan. Bila diterima dengan baik maka artinya keluarga pihak pria bisa melanjutkan dengan acara lamaran.
Pelamaran
Pada waktu melamar disebutkan tentang ganti kerugian yang nilainya juga akan disebutkan pada upacara resmi perkawinan. Pembayaran tersebut dinilai dengan kerbau. Dalam adat pernikahan orang Toraja tidak ada disebutkan tentang mas kawin, kecuali jika sang wanita menikah dengan pria yang tidak disetujui orang tuanya. Si pria harus membayar mas kawin yang terdiri dari:
1. Untuk wanita golongan puang 1-12 ekor kerbau.
2. Wanita golongan tumakaka 1-3 ekor kerbau.
3. Wanita golongan hamba 1 ekor kerbau.[3]
D.      Interaksi Orang Tanah Toraja Dengan Agama Lain
Injil yang disemai sejak 100 tahun silam di Tana Toraja telah memberikan berkat melimpah bagi orang Toraja. Seperti dikatakan Jonathan L. Parapak, “sebelum Injil masuk, suasana masyarakat Toraja tidaklah ramah. Ada jual beli budak dan perebutan anak dimana-mana” jelasnya. Tapi dengan datangnya Injil, terutama yang masuk melalui pendidikan, keadaan masyarakat berubah total.
Injil yang ditaburkan oleh GZB (Gereformerde Zendingsbond) di tana Toraja tumbuh dan dibina selama 34 tahun lamanya. Paham Teologi GZB yang pietis itu banyak mempengaruhi paham teologi warga Gereja Toraja, bahkan sampai saat ini.[4]

Referensi
YAPAMA. Tabloid Reformata. Yayasan Pelayanan Media Anthiokhia. 2013
http://bugismakassartrip.com/upacara-pernikahan-suku-toraja.html
http://asiantribal.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-asal-usul-suku-toraja.html




[1] Diakses pada 28 April 2016 dari http://asiantribal.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-asal-usul-suku-toraja.html
[2] Diakses pada 28 April 2016 dari  http://toraja-culture.blogspot.co.id/2013/11/ajaran-percaya-dan-memuja-kepada-tiga-oknum-dalam-ajaran-aluk-todolo.html
[3] Diakses pada 28 April 2016 dari http://bugismakassartrip.com/upacara-pernikahan-suku-toraja.html
[4] YAPAMA, Tabloid Reformata, (Yayasan Pelayanan Media Anthiokhia, 2013), h. 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar