Kamis, 19 Mei 2016

Responding Paper Suku Tengger



            Masyarakat Tengger yang dimaksud disini adalah masyarakat yang berada diwilayah pegunungan Tengger, berada di  sebelah utara gunung Semeru dan masuk kedalam daerah Purbalinggo, Pasuruan, Malang dan Lumanjang. Masyarakat Tengger di sebut “Wong Tengge” yang memiliki adatistiadat atau faham kepercayaan tersendiri. Menurut sebagian kepercayaan masyarakat Tengger, namanya diambil dari dua orang suami isteri yang merupakan cikalbakal penduduk Tengger yang menetap di suatu tempat antara gunung Bromo dan Semeru
B.    Pandanganhidup, kepercayaan orang Tengger
a.      Konsep tentang Tuhan
Di dalam agama BudhaTengger tidak ditemukan suatu konsep tunggal tentang Tuhan dan dewa-dewa. Menurut agama Budha Tengger untuk daerah sekitar Ngidasari, pengertian tentang dewa Trimurti ialah Sang Hyang Betoro Guru, Sang Hyang Betoro Wisnu dan Sang Hyang Betoro Siwo.
b.     Konsep Alam
Di samping alam yang terlihat nyata, mereka pun mempercayai alam lain dibalik kehidupan yang terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka ditempatkan di Suralaya, suatu tempat tertinggi yang dianggap suci. Manusia yang baik jikaia meninggal dunia rohnya akan masuk surga. Sebaliknya, manusia jahat akan masuk neraka.
C.    Ritus dan upacara keagamaan masyarakat Tengger

a.      Hari RayaKaro

Hari raya Karo adalah hari raya pemeluk agama Budha Tengger yang dirayakan bersama-sama secara besar-besaran dan diadakan pada pertengahan bulan Karo (bulan kedua) setiap tahun. Upacara dilaksanakan selama 7 hari, selama itu mereka saling kunjung mengunjungi untuk mempererat tali persaudaraan yang disebutnya dengan istilah sambung batin.
b.     Hari raya Kesodo
Hari raya Kesodo adalah hari raya yang diadakan oleh masyarakat Tengger pada bulan ke 12 (saddo) pada pertengahan bulan. Upacara Kesodo menempati tempat yang khusus di hati masyarakat Tengger. Mereka percaya, jika mereka tidak turut merayakannya kehidupannya tidak akan tentram. Sebaliknya jika mereka melaksanakan upacara tersebut maka hidupnya akan selamat dan dimurahkan rejeki, karena itu jauh-jauh hari dari sebelumnya mereka telah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.
c.      Upacara Kelahiran
Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macamupacara yang berkaitan. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telahberumur tujuh bulan,yang bersangkutan mengadakan selamtan nyayut atau upacarasesayut. Maksud upacara adalah agar bayi lahir dengan selamat dan lancar. Setelahbayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan.Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung, kemudianditaruh di sanggar.
d.     Upacara Perkawinan
Orang Tengger dilaksanakan perkawinan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawaraatau pancawara kedua calon pengantin. Dalam kehidupan sehari-hari mereka sangat mempercayai dukun dalam menentukan apapun yang akan mereka lakukan. Mereka sangat percaya dengan hari baik berdasarkan perhitungan tanggal jawa.
D.     Interaksi kepercayaan Orang Tengger dengan agama-agama lain
            Sekarang ini agama Hindu makin berkembang di Tengger. Sebagian besar pemuka adat Tengger mendukung diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar. Maraknya revitalisasi Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama guru agama dari Bali tiba di Tengger. Rombongan inimembentuk kelas-kelas baru untuk anak-anak dan orang dewasa, dan mengajargenerasi muda Tengger membaca doa-doa dalam bahasa Sansekerta.
            Inovasi ini disambut meriah oleh warga desa. Parisada Hindu didirikan untuk menyelia agama, mengurus pernikahan dan kematian, serta melaksanakan kebijakan yang dikembangkan oleh parisada yang lebih tinggi yang berkedudukandi Surabaya.
            Menjelang tahun 1980 ketika pembaharuan Hindu di Tengger makin agresif,muncul kontroversi di antara para dukun Tengger. Hampir separuh dari dukunTengger masih menentang gerakan tersebut dan mencurigainya sebagai pembangkang tradisi Tengger, bahkan di antara para pemuka pembaharuan punterjadi perdebatan pendapat yang serius yang mengakibatkan perbedaan kebijakanyang radikal atas pelestarian peribadatan para dukun.15 Untunglah, suasana kehidupan yang beraroma konflik tersebut tidak berlangsung lama. Kebijakan pemerintah melestarikan kebudayaan lokal dan nasional, mampu meredakan kontroversi yang disinggung Hefner.[1]




               [1]Robert W. Hefner,ThePolitical Economy on Mountain Java: In Interpretive History,(Barkeley,University of California Press, 1990).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar