Kamis, 19 Mei 2016

Responding Paper Suku Samin


            Masyarakat Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang terdapat di Blora, sebuah daerah yang berada di kawasan Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat Samin memiliki kepercayaan, adat istiadat dan norma-norma tersendiri yang berbeda dengan masyarakat di Jawa pada umumnya. Mereka hidup berkelompok bersama di luar masyarakat umum, seakan-akan membentuk suatu komunitas.[1]
            Nama Samin berasal dari arti kata Samin itu sendiri, yaitu kata yang ditasbihkan dari nama seorang tokoh bernama Samin Surosentiko yang berpengaruh dan membuat sebuah gerakan pemberontakan terhadap pemerintah jajahan belanda.[2]
            Konon pengikutnya sendiri tidak suka dengan sebutan nama Samin sendiri. Mereka lebih suka dengan sebutan “Wong Sikep” yang berarti orang yang mempunyai cara atau adat istiadat tersendiri.
            Jika dilihat pada zaman sekarang ciri khas masyarakat Samin di antaranya ialah: Tidak bersekolah, Memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikat di kepala, Tidak berpoligami, Tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut, Tidak berdagang karena bagi mereka berdangang menimbulkan sikap ketidak jujuran dan tidak baik.
B.    Pandangan Hidup, Kepercayaan dan Ajaran Orang Samin
            Penganut Saminisme mempercayai akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mengakui segala bentuk kebaikan agama karena agama mengajarkan kebaikan kepada setiap umatnya.[3]
a.     Agama
                  Agama menurut orang Samin berarti “gaman” (senjata), yaitu “gamane wong lanang”. Mereka sering mengatakan “aku iki wong, agamaku Adam, jenengku lanang. Adam itu pengucapku”, dari Adamlah asal hidup dan mati, dan segalanya bersumber pada Dia.[4]
b.     Manusia dan Kehidupan Alam Dunia
                  Menurut ajaran Samin, dunia ini hanya satu, yaitu urip (hidup). Di antara semua makhluk yang berada di muka bumi ini yang tertinggi dan Yang Maha Kuasa adalah manusia “wong”. Yang disebut wong (manusia) oleh ajaran Samin itu adalah manusia yang baik, yang tidak pernah melakukan kejahatan, atau mereka yang menyebutnya “wong Jawa”. Wong Jawa di sini tidak diartikan secara harfiah suku Jawa, melainkan orang yang jujur, tidak jahat, tidak suka berdusta, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Agar seseorang menjadi manusia “wong”, maka orang tersebut harus melakukan praktek hidup dan tingkah laku yang dijalani dengan sepenuh hati. Seperti menjauhi perbuatan dusta (goroh), menghina (ngina sapa-pada), iri hati dan sebagainya. Orang yang sudah melaksanakan praktek hidup dan tingkah laku tersebut baru dianggap sempurna sebagai manusia “wong”.[5]

c.      Upacara Keagamaan Masyarakat Samin

a)     Upacara Kelahiran
                  Kelahiran menurut masyarakat Samin adalah sesuatu hal yang dianggap biasa saja, dan mereka beranggapan bahwa seseorang yang baru lahir telah membawa jeneng (nama) sendiri-sendiri. Nama jeneng itu dibagi menjadi jeneng lanang (nama laki-laki) dan jeneng wedok (nama wanita). Anggapan orang Samin ketika bayi menangis dalam bayi itu berarti sang bayi sudah ada roh dan telah mendapatkan tempat ngenger (mengabdikan hidup). Sama seperti masyarakat Jawa, pada umumnya masyarakat Samin juga mengenal brokohan bancakanmbel-mbel yang dibagi-bagikan kepada tetangga dinamakan mbrokohiturunan. Kemudian setelah sang bayi berusia lima hari dibuatkan juga mbel-mbelsepasaran, lalu pada saat bayi berusia sembilan hari juga dibuatkan mbel-mbel selapan.[6]
Penanaman tembuni bagi anak laki-laki ditanam di dalam rumah agar si anak laki-laki itu ketika dewasa bisa membantu sang ayah dalam mencari penghasilan. Sementara itu, anak perempuan tembuninya ditanam di luar rumah dengan harapan si anak cepat mendapat jodoh.
b)     Upacara Khitan atau Ditoreh
                  Masyarakat Samin sebenarnya tidak mengenal khitan atau sunat. Mereka mempunyai pandangan, mengapa anggota tubuh yang sudah ada sejak lahir harus dikurangi atau dihilangkan. Tidak ada upacara resmi dalam melaksanakan sunat atau ditoreh, hanya si anak dibawa ke bong supit, yang disebut dengan istilah calak. Masyarakat Samin mengatakan bahwa disunat atau ditoreh itu mengandung pengertian memperindah alat kelamin.[7]
c)     Upacara Perkawinan
                  Dalam perkawinan, ini harus didasari atas suka sama suka (pada demen) dan tidak ada unsur paksaan. Monogami adalah prinsip dari perkawinan mereka.[8]
                  Hal yang unik dari prosesi perkawinan masyarakat Samin ialah adanya masa magang, serta tidak melibatkan aparat pemerintahan atau petugas pencatatan sipil. Cukup dihadiri orang tua atau wali dan beberapa saksi, perkawinan sudah sah. Perkawinan menurut ajaran Saminisme, ialah alat untuk meraih keluhuran budi yang selanjutnya untuk menciptakan atmaja  (keutamaan) yaitu seorang anak yang mulai. Perkawinan bukan saja pertemuan antara seorang laki-laki dan perempuan saja, melainkan kedua pasangan ini nantinya harus menjadi satu, teman hidup, teman tidur, dan sebagainya sampai maut yang memisahkan mereka.[9]
                  Sebelum dilangsungkan upacara perkawinan terlebih dahulu diadakan peminangan dari calon pengantin laki-laki ke calon pengantin perempuan. Setelah peminangan diterima, calon mempelai laki-laki diantarkan oleh orang tuanya ke rumah calon pengantin perempuan untuk bertempat tinggal (mbateh) dan hidup bersama dengan calon pengantin perempuan agar hidup “rukun” (malakukan hubungan seksual), inilah hal yang paling kontroversial dari tata cara perkawinan masyarakat Samin yaitu hidup serumah sebelum melangsungkan perkawinan disebut juga sebagai masa magang (menunggu). Bila keduanya sudah benar-benar bisa melakukan senggama (rukun), maka calon pengantin laki-laki menghadap calon mertua untuk siap mengawini mempelai perempuan. Sebaliknya, jika pada masa tunggu ini laki-laki itu tidak berhasil “menggauli” si perempuan, apabila pihak perempuan menyatakan tidak suka atau ora demen maka perkawinan tidak bisa dilaksanakan. Setelah keduanya merasakan suka sama suka, orang tua kedua belah pihak mendatangi kepala Desa setempat untuk mengadakan ijab kabul dengan mendatangkan saksi-saksi.[10]
d)     Upacara Kematian
                  Masyarakat Samin mempunyai tata cara tersendiri  dalam hal kematian. Sama seperti halnya kelahiran, kematian juga merupakan peristiwa yang biasa. Menurut orang Samin, orang yang mati itu disebut sebagai salin sandhang (berganti pakaian). Ini maksudnya apabila roh lepas dari raga (jasmani, tubuh), jiwa mereka masih tetap hidup dengan memakai jasad yang baru. Manusia itu tidak pernah mati, yang mati dan rusak itu adalah jasadnya saja.[11]

e)     Etika dalam Masyarakat Samin

                  Praktek pengalaman ajaran Samin yang diyakini kebenarannya pada gilirannya mempunyai implikasi yang sangat kuat pada pembentukkan watak dan karakter mereka. Beberapa watak yang menonjol dari mereka adalah:

a)     Memegang teguh janji dan menepatinya “kukoh janji”.
b)     Jujur. Sikap seorang Samin sangat bersahaja, memiliki kejujuran yang mengagumkan dan pantang berdusta.
c)     Sabar dan tidak suka kekerasan.
d)     Ikhlas atau “nerimo”. Mereka orang yang ikhlas dan menerima.
e)     Santun dalam menerima tamu.[12]
Ajaran orang Samin :
a)     Angger-angger pangucap (Hukum Bicara)
b)     Angger-angger pratikel (Hukum Tindak Tanduk)
c)     Angger-angger lakonono (Hukum Perihal yang perlu di jalankan)

C.    Interaksi Kepercayaan Orang Samin dengan Agama-Agama Lain

            Interaksi kepercayaan orang Samin dengan masyarakat sekitar, khususnya yang ada di desa Klopoduwur dan Sambungrejo cukup baik dan akrab, terutama terhadap sesama masyarakat Samin dan juga terhadap agama lain  dan masyarakat lain,karena ajaran Samin menganggap semua agama yang ada dan yang dianut banyak orang adalah baik dan kepercayaan yang dianutnya juga baik. Bahkan dikatakan sertiap manusia derajatnya sama, tidak boleh menilai orang lain tetapi menilailah diri sendiri, mereka tidak mengganggu agama lain sehingga orang lain juga tidak mengganggunya dan ajaran mereka yang paling menonjol adalah tentng budi pekerti dan menciptakan suatu kerukunan.




[1] Dra. Neng Darol Afia (ed.), Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998), h. 29.
[2] Titi Mufangati dkk., Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, (Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004), h. 20.
[3]Ibid.
[4] Neng Darol Afia, op. cit., h. 33.
[5] Neng Darol Afia, op. cit., h. 36.
[6] Tashadi dkk., op. cit., h. 107.
[7] Neng Darol Afia, op. cit., h. 37.
[8]Ibid.
[9] Ratrie Devi Aprilianti, Sejarah Tata Cara Pernikahan Masyarakat Samin Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora Tahun 1970-2009, Journal Of Indonesia Historis (Februari 2012)
[10] Neng Darol Afia, op. cit., h. 38.
[11] Titi Mufangati, op. cit., h. 31.
[12] Neng Darol Afia, op. cit., h. 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar