Masyarakat
Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang terdapat di Blora, sebuah daerah
yang berada di kawasan Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat Samin memiliki
kepercayaan, adat istiadat dan norma-norma tersendiri yang berbeda dengan
masyarakat di Jawa pada umumnya. Mereka hidup berkelompok bersama di luar
masyarakat umum, seakan-akan membentuk suatu komunitas.[1]
Nama
Samin berasal dari arti kata Samin itu sendiri, yaitu kata yang ditasbihkan
dari nama seorang tokoh bernama Samin Surosentiko yang berpengaruh dan membuat
sebuah gerakan pemberontakan terhadap pemerintah jajahan belanda.[2]
Konon
pengikutnya sendiri tidak suka dengan sebutan nama Samin sendiri. Mereka lebih
suka dengan sebutan “Wong Sikep” yang
berarti orang yang mempunyai cara atau adat istiadat tersendiri.
Jika
dilihat pada zaman sekarang ciri khas masyarakat Samin di antaranya ialah: Tidak
bersekolah, Memakai "iket", yaitu semacam
kain yang diikat di kepala, Tidak berpoligami, Tidak
memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut, Tidak
berdagang karena bagi mereka berdangang menimbulkan sikap ketidak jujuran dan tidak baik.
B.
Pandangan
Hidup, Kepercayaan dan Ajaran Orang Samin
Penganut
Saminisme mempercayai akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mengakui segala
bentuk kebaikan agama karena agama mengajarkan kebaikan kepada setiap umatnya.[3]
a.
Agama
Agama
menurut orang Samin berarti “gaman”
(senjata), yaitu “gamane wong lanang”.
Mereka sering mengatakan “aku iki wong,
agamaku Adam, jenengku lanang. Adam itu pengucapku”, dari Adamlah asal
hidup dan mati, dan segalanya bersumber pada Dia.[4]
b.
Manusia
dan Kehidupan Alam Dunia
Menurut
ajaran Samin, dunia ini hanya satu, yaitu urip
(hidup). Di antara semua makhluk yang berada di muka bumi ini yang tertinggi
dan Yang Maha Kuasa adalah manusia “wong”.
Yang disebut wong (manusia) oleh ajaran Samin itu adalah manusia yang baik,
yang tidak pernah melakukan kejahatan, atau mereka yang menyebutnya “wong Jawa”. Wong Jawa di sini tidak
diartikan secara harfiah suku Jawa, melainkan orang yang jujur, tidak jahat,
tidak suka berdusta, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Agar seseorang
menjadi manusia “wong”, maka orang tersebut harus melakukan praktek hidup dan
tingkah laku yang dijalani dengan sepenuh hati. Seperti menjauhi perbuatan
dusta (goroh), menghina (ngina sapa-pada), iri hati dan
sebagainya. Orang yang sudah melaksanakan praktek hidup dan tingkah laku
tersebut baru dianggap sempurna sebagai manusia “wong”.[5]
c. Upacara Keagamaan Masyarakat Samin
a) Upacara Kelahiran
Kelahiran menurut masyarakat Samin adalah sesuatu hal
yang dianggap biasa saja, dan mereka beranggapan bahwa seseorang yang baru
lahir telah membawa jeneng (nama)
sendiri-sendiri. Nama jeneng itu
dibagi menjadi jeneng lanang (nama
laki-laki) dan jeneng wedok (nama
wanita). Anggapan orang Samin ketika bayi menangis dalam bayi itu berarti sang
bayi sudah ada roh dan telah mendapatkan tempat ngenger (mengabdikan hidup). Sama seperti masyarakat Jawa, pada
umumnya masyarakat Samin juga mengenal brokohan
bancakanmbel-mbel yang dibagi-bagikan kepada tetangga dinamakan mbrokohiturunan. Kemudian setelah sang
bayi berusia lima hari dibuatkan juga mbel-mbelsepasaran,
lalu pada saat bayi berusia sembilan hari juga dibuatkan mbel-mbel selapan.[6]
Penanaman tembuni bagi anak laki-laki ditanam di dalam rumah agar si anak
laki-laki itu ketika dewasa bisa membantu sang ayah dalam mencari penghasilan.
Sementara itu, anak perempuan tembuninya ditanam di luar rumah dengan harapan
si anak cepat mendapat jodoh.
b) Upacara Khitan atau Ditoreh
Masyarakat Samin sebenarnya tidak mengenal khitan atau
sunat. Mereka mempunyai pandangan, mengapa anggota tubuh yang sudah ada sejak
lahir harus dikurangi atau dihilangkan. Tidak ada upacara resmi dalam
melaksanakan sunat atau ditoreh, hanya
si anak dibawa ke bong supit, yang disebut dengan istilah calak. Masyarakat Samin mengatakan bahwa disunat atau ditoreh itu mengandung pengertian
memperindah alat kelamin.[7]
c) Upacara Perkawinan
Dalam perkawinan, ini harus didasari atas suka sama
suka (pada demen) dan tidak ada unsur
paksaan. Monogami adalah prinsip dari perkawinan mereka.[8]
Hal yang unik dari prosesi perkawinan masyarakat Samin
ialah adanya masa magang, serta tidak
melibatkan aparat pemerintahan atau petugas pencatatan sipil. Cukup dihadiri
orang tua atau wali dan beberapa saksi, perkawinan sudah sah. Perkawinan
menurut ajaran Saminisme, ialah alat untuk meraih keluhuran budi yang
selanjutnya untuk menciptakan atmaja (keutamaan) yaitu seorang anak yang mulai.
Perkawinan bukan saja pertemuan antara seorang laki-laki dan perempuan saja,
melainkan kedua pasangan ini nantinya harus menjadi satu, teman hidup, teman
tidur, dan sebagainya sampai maut yang memisahkan mereka.[9]
Sebelum dilangsungkan upacara perkawinan terlebih
dahulu diadakan peminangan dari calon pengantin laki-laki ke calon pengantin
perempuan. Setelah peminangan diterima, calon mempelai laki-laki diantarkan
oleh orang tuanya ke rumah calon pengantin perempuan untuk bertempat tinggal (mbateh) dan hidup bersama dengan calon
pengantin perempuan agar hidup “rukun” (malakukan hubungan seksual), inilah hal
yang paling kontroversial dari tata cara perkawinan masyarakat Samin yaitu
hidup serumah sebelum melangsungkan perkawinan disebut juga sebagai masa magang (menunggu). Bila keduanya sudah
benar-benar bisa melakukan senggama (rukun), maka calon pengantin laki-laki
menghadap calon mertua untuk siap mengawini mempelai perempuan. Sebaliknya,
jika pada masa tunggu ini laki-laki itu tidak berhasil “menggauli” si
perempuan, apabila pihak perempuan menyatakan tidak suka atau ora demen maka perkawinan tidak bisa
dilaksanakan. Setelah keduanya merasakan suka sama suka, orang tua kedua belah
pihak mendatangi kepala Desa setempat untuk mengadakan ijab kabul dengan
mendatangkan saksi-saksi.[10]
d) Upacara Kematian
Masyarakat Samin mempunyai tata cara tersendiri dalam hal kematian. Sama seperti halnya
kelahiran, kematian juga merupakan peristiwa yang biasa. Menurut orang Samin,
orang yang mati itu disebut sebagai salin
sandhang (berganti pakaian). Ini maksudnya apabila roh lepas dari raga
(jasmani, tubuh), jiwa mereka masih tetap hidup dengan memakai jasad yang baru.
Manusia itu tidak pernah mati, yang mati dan rusak itu adalah jasadnya saja.[11]
e) Etika dalam Masyarakat Samin
Praktek pengalaman ajaran Samin yang diyakini kebenarannya pada gilirannya mempunyai implikasi yang sangat kuat pada pembentukkan watak dan karakter mereka. Beberapa watak yang menonjol dari mereka adalah:
a)
Memegang teguh janji dan menepatinya “kukoh
janji”.
b)
Jujur. Sikap seorang Samin sangat bersahaja, memiliki kejujuran yang
mengagumkan dan pantang berdusta.
c)
Sabar dan tidak suka kekerasan.
d)
Ikhlas atau “nerimo”. Mereka
orang yang ikhlas dan menerima.
e)
Santun dalam menerima tamu.[12]
Ajaran orang Samin :
a)
Angger-angger pangucap (Hukum Bicara)
b)
Angger-angger pratikel (Hukum Tindak Tanduk)
c)
Angger-angger lakonono (Hukum Perihal yang perlu di jalankan)
C. Interaksi Kepercayaan Orang Samin dengan Agama-Agama Lain
Interaksi kepercayaan orang Samin dengan masyarakat sekitar, khususnya yang ada di desa Klopoduwur dan Sambungrejo cukup baik dan akrab, terutama terhadap sesama masyarakat Samin dan juga terhadap agama lain dan masyarakat lain,karena ajaran Samin menganggap semua agama yang ada dan yang dianut banyak orang adalah baik dan kepercayaan yang dianutnya juga baik. Bahkan dikatakan sertiap manusia derajatnya sama, tidak boleh menilai orang lain tetapi menilailah diri sendiri, mereka tidak mengganggu agama lain sehingga orang lain juga tidak mengganggunya dan ajaran mereka yang paling menonjol adalah tentng budi pekerti dan menciptakan suatu kerukunan.
[1] Dra. Neng Darol Afia (ed.), Tradisi
dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan
Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998), h. 29.
[2] Titi Mufangati dkk., Kearifan
Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, (Yogyakarta:
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004), h. 20.
[3]Ibid.
[4] Neng Darol Afia, op. cit., h.
33.
[5] Neng Darol Afia, op. cit., h.
36.
[6] Tashadi dkk., op. cit., h.
107.
[7] Neng Darol Afia, op. cit., h.
37.
[8]Ibid.
[9] Ratrie Devi Aprilianti, Sejarah
Tata Cara Pernikahan Masyarakat Samin Desa Klopoduwur, Kabupaten Blora Tahun
1970-2009, Journal Of Indonesia Historis (Februari 2012)
[10] Neng Darol Afia, op. cit., h.
38.
[11] Titi Mufangati, op. cit., h.
31.
[12] Neng Darol Afia, op. cit., h.
40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar