Senin, 30 Mei 2016

Responding Paper Suku Sunda Wiwitan



A.    Asal-Usul Sunda Wiwitan
            Tokoh atau pendiri dari agama sunda wiwitan adalah pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat atau lebih dikenal sebagai Kyai Madrais. Sejarah mencatat Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat, lahir pada tahun 1822 sampai 1939[1]. Beliau tidak dilahirkan di Gebang, tetapi di susukan Ciawigebang yang kemudian dititipkan kepada ki Sastrawadana di cigugur dengan pesan kelak dapat meneruskan perjuangan leluhurnya dalam usaha menentang penjajahan, selain itu, untuk mengelabui kompeni dipesankan pula agar anak tersebut diakui sebagai anak Ki Sastrawardana, tetapi karena akhirnya diketahui bukan anak ki sastrawardana, maka disebut pula bahwa anak tersebut dinyatakan sebagai anak titipan R. Kastewi dari Sususkan Ciawigebang.
            Pada usia 10 tahun pengeran Kusuma Adiningrat berkerja pada Kuwu Sagahariang sebagai gembala kerbau, dikenal dengan nama taswan, tetapi ketika akan meninggalkan Sagahariang, ia berpesan kepada teman-temanya bahwa nama sebenarnya adalah Madrais, anak Ki Sastrawardana dari Cigugur. Sekitar tahun 1840 pangeran Kusuma Adiningrat kembali ke Cigugur dan mendirikan peguoran/pesantren dengan
mengajarkan Agama Islam yang kemudian dikena sebagai Kyai Madrais. Kyai Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah.
            Namun disisi lain Pemerintahan Belanda berupaya buruk kepada kyai madrais yaitu dengan tuduhan bahwa kyai madrais melakukan pemerasan kepada rakyatnya, penipuan kepada rakyatnya. Pemerintahan Belanda memasukan Kyai Madrais ke tahanan dan mengasingkannya ke Merauke. Setalah kembali ke marauke tahun 1908, rumah Kyai Madrais tetap diawasi, bahkan diadakan pejagaan dan para pengikutnya dilarang mendatangi lagi rumah Kyai Madrais. Dengan adanya pengawasan dari pemerintahan belanda, Kyai Madrais tidak lagi membuka pesantren, tetapi terus berusaha dalam bidang pertanian. Ketika sibuk dalam usaha pertanian, para pengikutnya ada kesempatan lagi untuk dapat bertemu dengan Kyai Madrais. Tetapi hal inipun diketahui, dan akibatnya kerap kali pula keluar penjara, sampai akhirnya setelah ditekan dengan keharusan menyanjung Pemerintahan Belanda di pesantren/paguronya, barulah Kyai Madrais dibolehkan meneruskan tuntunannya.
            Disamping sejarah asal-usul agama sunda wiwitan, terkemas pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh yang dimiliki oleh agama sunda wiwitan, diantaranya tokoh-tokoh yaitu:
a)      Madrais (1833-1939), selaku pendiri dan sebagai “Rama Pencipta”.
b)      Tejabuana, anak Madrais sebagai “Rama Pangwedar” atau “Rama Penerus”.
c)      Jatikusuma, menantu tejabuana sebagai “Rama Penyusun”.
d)     Subagyaharja, sebagai “Rama Penyalur”.[2]
B.     Pokok-Pokok Ajaran Kepercayaan Agama Sunda Wiwitan
           Pokok-pokok ajaran kepercayaan agama sunda wiwitan terekspresikan pada pemikiran Ki Madrais sebagai berikut:
a)      Percaya Ka Gusti Sikang Sawiji-Wiji (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa).
b)      Ngaji Badan(intropeksi/retropeksi diri).
c)      Akur Rukun Jeng Sasama Bangsa (hidup rukun dengan sesama).
d)     Hirup ulah misah ti mufakat (mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat).
e)      Hirup kudu silih tulungan (hidup harus tolong menolong).[3]
1.      Konsep Ketuhanan
Dalam kepercayaan Agama Sunda Wiwitan atau adat acara Karuhun Urang, Hakekat Tuhan ada di Atas Segala-Galanya, Maha Tunggal. Tuhan adalah esa tapi dzanya ada di mana-mana, maha kuasa, maha adil, maha asih, maha, murah, maha bijaksana.
2.    Pandangan tentang Manusia
            Sebutan manusia dibedakan menjadi “jalma” atau “manusa”. Disebutjalma karena ngajalma (menjelma) atau mewujud menjadi mahluk yang disebut manusia dengan kodrat dan cirinya yang haus melaksanakan cara hidup dan cara kemanusiaan.
            Manusia harus menyadari kemanusiaannya di samping hidup sesuai dengan nalurinya, juga memiliki akal dan budi manusia tidak hanya merasa hanya hidup, melainkan juga dapat merasakan sedalam-dalamnya arti hidup dalam kehidupan, merasa bahwa wujud keagungan alam semesta hanyalah berasal dari cipta  dan Karsa Tuhan Yang Maha Esa.
            Disamping mengagugkan keesaan Tuhan, manusiapun berkewajiban mewartakan kebesaran dan keagungan tuhan, dimana setelah merasa dan rumasa, maka budi nurani manusia mewajibkan pula untuk menyembah tuhan, dalam iman serta percaya dan taat akan segala perintahnya yang harus tampak pada prilaku keseharian.
            Pandangan tentang manusia, ikatan dengan tanah dan bangsanya merupakan hokum yang secra eksplisit terungkap dalam tuntunan “Roroning Tunggal Ora Dadi Sewiji”. Dengan kata lain, kehidupan saling melengkapi. Kesatuan dalam keanekaragaman, siang dan malam, pria dan wanita, bahagia dan derita dan sebagainya, ia merupkan sesuatu yang alamiah.

§  Pandangan Tentang Alam Semesta
            Penciptaan alam semesta dimulai dari cahaya. Cahaya dibagi menjadi empat yaitu cahaya putih, kuning, merah dan hitam. Cahaya putih melambangkan air, cahaya kuning melambangkan air, cahaya merah melambangkan api, dan cahaya hitam  melambangkan tanah. Untuk itu alam semesta ini terbentuk dalam unsur air, angin, api, dan tanah.
            Angina memeiliki dua sifat yaitu terdengar dan terasa. Api memiliki tiga sifat yaitu terlihat, terasa, dan terdengar. Air memiliki empat sifat yaitu terlihat, terasa, teraba, dan terdengar. Sedangkan tanah memiliki lima sifat yaitu terlibat, terasa, teraba, terdengar, dan tercium.
C.    Upacara Keagamaan Agama Sunda Wiwitan
            Upacara adat lekat sekali dengan kegiatan agama-agama local, termasuk agama sunda wiwitan. Dalam agama sunda wiwitan terekspresikan dalam 5 kegiatan upacara khas agama sunda wiwitan.[4] Diantaranya, yaitu:
a)      Sembahyang dalam Agama Sunda Wiwitan
Setiap mahluk hidup diberi daya hidup, terutama manusia yang memiliki naluri, rasa, merasa dan merasakan, memiliki pikir, berpikir, dan memikirkan, sebagai ekspresi perwujudannya ialah Olah rasa.
Olah rasa atau samadi adalah suatu upaya kea rah kesadaraan diri dalam penghayatan untuk mencapai kesadaran illahi, menyadari kemahaesaaan tuhan, keagungan serta segala sifatnya yang maha sempurna atau segala yang ada di dalam semesta. Sikap dalam Sembahyang
D.     Etika dalam Agama Sunda Wiwitan
      Sebagai pedoman tuntunan budi luhur adalah cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa. Cara adalah ketentuan prilaku hidup, sedangkan ciri adalah perwujudan sifat[5].
1.      Cara ciri manusia terdiri dari :
a.       Wules Asih
b.      Undak Usuk
c.       Tata Krama
d.      Budi Daya Budi Basa
e.       Wiwaha Yuda Nagara
2.      Cara-Ciri Bangsa
           Adanya suatu bangsa adalah kehendak Tuhan, seseorang yang menjadi anggota bangsa juga merupakan kehendak tuhan sebab pada saat seseorang hendak dilahirkan tidak bisa menolak atau meminta ingin menjadi anggota suatu bangsa tertentu. Antara bangsa satu dengan bangsa yang lain berbeda, perbedaan ini juga merupakan kehendak tuhan. Upacara Keagamaan dalam Kepercayaan Agama Sunda Wiwitan
      Agama Jawa Sunda adalah sebuah sistem kepercayaan yang banyak melakukan praktek upacara keagamaan. Upacara keagamaan ini dilakukan dalam rangka menanamkan udi luhur kepada para anggota. Beberapa upacara dapat disebutkan, seperti:
1.      Tanggan satu Sura, merupakan tahun bagi orang Jawa dan orang Sunda yang sekaligus juga merupakan hari raya bagi warga Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang atau ADS.
2.      Saresehan yang secara rutin diadakan seminggu sekali.
3.      Upacara peringatan Maulid Nabi.
b)      Upacara menubuk padi yang dilakukan pada 22 Djulhijjal. Upacara memiliki makna tersendiri bagi mereka.
c)      Upacara Kematian
      Setiap orang yang meninggal berarti ia pulang ke “Jagat Peteng” (Alam Gelap). Oleh sebab itu, ketentuan yang harus dilakukan pada orang meninggal adalah:
§  Dibungkus dengan kain hitam, yang berarti kematian itu memasuki alam yang gelap.
§  Dimasukkan peti berkayu jati yang berarti manusia telah pulang kea lam yang sejati
§  Dibagi dalam peti kayu jati disempan arang, kapur dan beras. Ketiga benda-benda yang dimasukkan kedalam peti ini mempunyai makna tersendiri, arang dimaksudkan melumpuhkan roh atau makhluk halus yang berada di dalam kayu jati, kapur dimaksudkan untuk mencegah agara mayatnya tidak diganggu orang yang masih hidup, beras dimaksukan bahwa hidup manusia sangat tergantung pada beras sebagai bahan makanan sehari-hari.[6]
DAFTAR PUSTAKA

Djajadiningrat, “Cakrawala Agama-Agama Local”, Serambi Baca, Jakarta,           1999.
Effendi Djohan, “Tradisi dan Kepercayaan Local Pada Beberapa Suku di Indonesia”, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 1999.

Ekadjati, Edi S, "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah", Pustaka            Jaya, Jakarta, 1995.
Hadiwijono Harun, “Religi Suku Baduy di Indonesia”, Gunung Mulia:        Jakarta, 1985.
            Badan Litbang Agama Departemen  Agama RI, Jakarta, 2004.






[1]Effendi Djohan, “Tradisi Dan Kepercayaan Local Pada Beberapa Suku Di Indonesia”, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 1999, Hlm, 7.
[2] Ibid, hlm 15
[3]Ekadjati, Edi S, "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah", Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, halaman 72-73

[4]Ibid, hlm 79
[5]Djajadiningrat, “cakrawala agama-agama local”, serambi baca, Jakarta, 1999, hlm 55-59

[6] Hadiwijono harun, religi suku baduy di Indonesia”, gunung mulia: Jakarta, 1985, hlm 44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar