Kamis, 19 Mei 2016

Responding Paper Suku Sakai


A.    Asal-usul Orang Sakai di Kepulaun Riau
Suku sakai merupakan suku terasing yang mendiami provinsi Riau.  Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam.  Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan suku lainnya.[1]
Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, K-ampung, A-nak, I-kan. Hal tersebut mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di kampung, di tepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup airya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian besar orang Melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai berkonotasi merendahkan dan menghina karena kehidupan orang Sakai dianggap jauh dari kemajuan.
Pada tahun 1984 yang lalu diperkirakan populasinya berjumlah sekitar 6500 jiwa atau sekitar 1400 keluarga. Suku bangsa ini diperkirakan sebagai sisa-sisa kelompok ras melayu yang lebih dulu datang ke daerah ini, kemudian terdesak oleh gelombang melayu yang lebih muda. Bahasa yang mereka pakai memang dapat digolongkan ke dalam kelompok bahasa melayu tetapi dengan beberapa ciri sendiri. Masyarakat ini umumnya masih melakukan kegiatan mata pencarian berburu dan meramu di hutan-hutan atau menangkap ikan di sungai-sungai.[2]

B.    Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
Salah satu di antara ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai yang juga dianggap oleh orang Melayu atau oleh golongan suku bangsa lainnya sebagai ciri-ciri orang Sakai, adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada “animisme”.[3]
Adapun inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.[4]
C.    Upacara Adat dan Keagamaan Suku Sakai[5]
Suku sakai tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain: 1) Upacara kematian, 2) Upacara kelahiran, 3) Upacara pernikahan, 4) Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (ife cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya: 1) Upacara menanam padi, 2) Upacara menyiang, 3) Upacara sorang sirih, 4) Upacara tolak bala.
Adapun upacara-upacara adat dan keagamaan suku Sakai akan lebih dijelaskan berikut ini:
1.     Upacara Perkawinan, Perkawinan masyarakat Sakai ini biasanya diawali dengan hubungan yang serius dan mendalam pada setiap personal. Namun hubungan ini selalu melibatkan pengawasan dari orang tua bahkan masyarakat, biasanya pengawasan ketat dilakukan oleh pihak gadis. Ketika kedua belah pihak merasa bahwa hubungan diantara si perjaka dan si gadis sudah nampak makin serius, maka orang tua si perjaka menyuruh anaknya untuk melamar si gadis. Biasanya  upacara perkawinan diselenggarakan setelah satu bulan hingga dua bulan setelah prosesi lamaran. [6]
Bahan-bahan lamaran biasanya diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Bahan untuk melamar. Terdapat perbedaan antara masyarakat Sakai dahulu dengan sekarang dalam hal lamaran. Pada zaman dulu, bahan-bahan yang dipersiapkan meliputi: (Sirih pinang selengkapnya; kain dan baju persalinan; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; sebuah mata uang riyal yang terbuat dari perak; sebuah beling; dan sebuah mata tombak).
Sementara bahan-bahan yang dipakai sekarang meliputi: (Ranjang yang terbuat dari besi, yang dilengkapi dengan kasur, serpal, bantal, guling serta kelambu; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; dan radio atau tape recorder).
Bahan-bahan untuk upacara perkawinan, (Sebuah mata uang/ riyal  jika pada lamaran tidak wajib namun, untuk mas kawin ini wajib baju sepersalinan lengkap, sepotong pakaian untuk dipakai sehari-hari, sebuah cincin dan gelang yang terbut dari perak,  dan sejumlah mata uang sudah dalam satuan rupiah tergantung kesepakatan).
Tempat Pelaksanaan Upacara perkawinan diselenggarakan dirumah "batin". Tata Pelaksanaan Menurut Suparlan: tata laksana perkawinan pada masyarakat Sakai sah dikatakan apabila memenuhi tahapan-tahapan berikut: Prosesi Lamaran (lamaran dilakukan oleh seorang "batin", perempuan tua yang dipercaya oleh orang tua laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud keluarga). Lalu "batin" memberi daun sirih sebagai simbol pinangan. Dan jika diterima lalu barang-barang lamaran diserahkan, kemudian menentukan hari perkawinan. Penyerahan Mas Kawin (merupakan tahap awal dari upacara, dan penyerahan mas kawin dilakukan dirumah "batin" dan tempat dilangsungkannya perkawinan). Upacara Pengesahan Perkawinan (upacara ini dilakukan di rumah "batin" setelah selesai menyerahkan mas kawin. Agar status perkawina tidak hanya sah secara adat, perkawinan juga dihadiri petugas pencatatan sipil (KUA) setempat. Agar secara administratif sudah dianggap sah  dan terdaftar dan diakui pemerintah.
Pesta Perkawinan (setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka ditabuhlah gendang betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat segera dimulai, pesta berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara makan-makan dan minum-minuman[7]. Yang unik dari suku Sakai ini yaitu pengobatan oleh dukun yang mereka sering sebut dengan Tenung.
D.    Interaksi kepercayaan orang sakai dengan agama-agama lain
Sistem kepercayaan pertama pada suku sakai itu sama dengan sistem kepercayaan pada suku-suku lain di Indonesia yaitu percaya kepada benda-benda yang dianggapnya memiliki kekuatan magis (animisme, dinamisme). Kemudian mereka percaya juga percaya dengan makhluk-makhluk ghaib yang mereka sebut dengan “antu”. Antu itu hidup seperti manusia hanya saja beda alam. Antu ini biasanya sering mengganggu manusia untuk berbuat jahat. Antu berkeliaran di pohoh-pohon, semak-semak, di dalam hutan dan hidup di sekeliling masyarakat suku sakai.


[1]Uu Hamidi, MasyarakatTerasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI, (Pekanbaru: UIR, 1991), h.12
[2] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 330
[3] Pasurdi Suparlan, Ibid, h. 194
[4] Pasurdi Suparlan, Op.Cit, h. 197
[6] Pasurdi Suparlan, Op.Cit, 179-183
[7] Pasurdi Suparlan, Op.Cit, 179-183

Tidak ada komentar:

Posting Komentar