A. Asal-usul Orang Sakai di Kepulaun Riau
Suku sakai merupakan suku terasing yang mendiami provinsi Riau. Dari
tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai
Dalam. Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah
menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan
dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan
berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan suku
lainnya.[1]
Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai,
K-ampung, A-nak, I-kan. Hal tersebut mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di
kampung, di tepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan
yang cukup airya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian
besar orang Melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai berkonotasi
merendahkan dan menghina karena kehidupan orang Sakai dianggap jauh dari kemajuan.
Pada tahun 1984 yang lalu diperkirakan populasinya berjumlah
sekitar 6500 jiwa atau sekitar 1400 keluarga. Suku bangsa ini diperkirakan
sebagai sisa-sisa kelompok ras melayu yang lebih dulu datang ke daerah ini,
kemudian terdesak oleh gelombang melayu yang lebih muda. Bahasa yang mereka
pakai memang dapat digolongkan ke dalam kelompok bahasa melayu tetapi dengan
beberapa ciri sendiri. Masyarakat ini umumnya masih melakukan kegiatan mata
pencarian berburu dan meramu di hutan-hutan atau menangkap ikan di
sungai-sungai.[2]
B. Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
Salah satu di antara ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai yang juga
dianggap oleh orang Melayu atau oleh golongan suku bangsa lainnya sebagai
ciri-ciri orang Sakai, adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada
“animisme”.[3]
Adapun inti dari agama
nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘,
atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu
juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki
kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai
berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.[4]
Suku sakai tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting
berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan
perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan
bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak
Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan
dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan
secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai.
Adapun upacara tersebut antara lain: 1) Upacara kematian, 2) Upacara kelahiran, 3) Upacara pernikahan, 4) Upacara penobatan batin
(orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (ife cycle) ada juga
upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya: 1) Upacara menanam padi, 2) Upacara menyiang, 3) Upacara sorang sirih, 4) Upacara tolak bala.
Adapun upacara-upacara
adat dan keagamaan suku Sakai akan lebih dijelaskan berikut ini:
1.
Upacara Perkawinan, Perkawinan masyarakat Sakai ini biasanya diawali dengan hubungan
yang serius dan mendalam pada setiap personal. Namun hubungan ini selalu
melibatkan pengawasan dari orang tua bahkan masyarakat, biasanya pengawasan
ketat dilakukan oleh pihak gadis. Ketika kedua belah pihak merasa bahwa
hubungan diantara si perjaka dan si gadis sudah nampak makin serius, maka orang
tua si perjaka menyuruh anaknya untuk melamar si gadis. Biasanya upacara perkawinan diselenggarakan setelah
satu bulan hingga dua bulan setelah prosesi lamaran. [6]
Bahan-bahan lamaran biasanya diberikan oleh pihak calon mempelai
laki-laki kepada mempelai perempuan. Bahan untuk melamar. Terdapat perbedaan
antara masyarakat Sakai dahulu dengan sekarang dalam hal lamaran. Pada zaman
dulu, bahan-bahan yang dipersiapkan meliputi: (Sirih pinang selengkapnya; kain
dan baju persalinan; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; sebuah mata
uang riyal yang terbuat dari perak; sebuah beling; dan sebuah mata tombak).
Sementara bahan-bahan yang dipakai sekarang meliputi: (Ranjang yang
terbuat dari besi, yang dilengkapi dengan kasur, serpal, bantal, guling serta
kelambu; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; dan radio atau tape
recorder).
Bahan-bahan untuk upacara perkawinan, (Sebuah mata uang/ riyal jika pada lamaran tidak wajib namun, untuk
mas kawin ini wajib baju sepersalinan lengkap, sepotong pakaian untuk dipakai
sehari-hari, sebuah cincin dan gelang yang terbut dari perak, dan sejumlah mata uang sudah dalam satuan
rupiah tergantung kesepakatan).
Tempat Pelaksanaan Upacara perkawinan diselenggarakan dirumah
"batin". Tata Pelaksanaan Menurut Suparlan: tata laksana perkawinan
pada masyarakat Sakai sah dikatakan apabila memenuhi tahapan-tahapan berikut:
Prosesi Lamaran (lamaran dilakukan oleh seorang "batin", perempuan
tua yang dipercaya oleh orang tua laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud
keluarga). Lalu "batin" memberi daun sirih sebagai simbol pinangan.
Dan jika diterima lalu barang-barang lamaran diserahkan, kemudian menentukan
hari perkawinan. Penyerahan Mas Kawin (merupakan tahap awal dari upacara, dan
penyerahan mas kawin dilakukan dirumah "batin" dan tempat
dilangsungkannya perkawinan). Upacara Pengesahan Perkawinan (upacara ini dilakukan
di rumah "batin" setelah selesai menyerahkan mas kawin. Agar status
perkawina tidak hanya sah secara adat, perkawinan juga dihadiri petugas
pencatatan sipil (KUA) setempat. Agar secara administratif sudah dianggap sah dan terdaftar dan diakui pemerintah.
Pesta Perkawinan (setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka
ditabuhlah gendang betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat
segera dimulai, pesta berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara
makan-makan dan minum-minuman[7]. Yang unik dari suku Sakai ini yaitu
pengobatan oleh dukun yang mereka sering sebut dengan Tenung.
D.
Interaksi
kepercayaan orang sakai dengan agama-agama lain
Sistem kepercayaan pertama pada suku sakai itu sama dengan sistem
kepercayaan pada suku-suku lain di Indonesia yaitu percaya kepada benda-benda
yang dianggapnya memiliki kekuatan magis (animisme, dinamisme). Kemudian mereka
percaya juga percaya dengan makhluk-makhluk ghaib yang mereka sebut dengan
“antu”. Antu itu hidup seperti manusia hanya saja beda alam. Antu ini biasanya
sering mengganggu manusia untuk berbuat jahat. Antu berkeliaran di pohoh-pohon,
semak-semak, di dalam hutan dan hidup di sekeliling masyarakat suku sakai.
[2] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 330
[3] Pasurdi
Suparlan, Ibid, h. 194
[4] Pasurdi
Suparlan, Op.Cit, h. 197
[5]http://onlineallarticles.blogspot.co.id/2011/10/makalah-adat-istiadat-suku-sakai.html, diakses pada
tanggal 17/03/2016
[6] Pasurdi Suparlan, Op.Cit, 179-183
Tidak ada komentar:
Posting Komentar