Kamis, 19 Mei 2016

Responding Paper Suku Trunyan


A.    Asal Usul suku Trunyan atau Bali Aga
Menurut penelitian oleh Jemes D, untuk mengetahui sejarah Desa Trunyan sulit sekali. Semua itu disebabkan karena peninggalannya berupa tulisan yang hanya berupa beberapa prasasti, yang kini disimpan di pelinggih (bangunan suci tempat persemayaman dewa). Desa Trunyan, Kedisan, dan desa Abang Dukuh ketiga desa ini terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupateng Bungli Provinsi Bali. Terkait dengan tiga desa tersebut karena mempunyai cerita yang runtut dalam pembentukannya, yang di ceritakan dari pengembaraan empat orang putra Raja Surakarta ke Bali untuk mencari bau harum yang menyengat. Namun disini akan lebih dijelaskan bagaimana desa Trunyan di Provinsi Bali tersebut.[1]
Trunyan berasal dari kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan menyan berarti wangi atau harum. yang sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi perkuburan adat masyarakat Trunyan. Pohon ini dipercaya mempunyai wangi yang semerbab yang membuat jenazah-jenazah yang diletakkan di sekitar pohon tersebut tidak mengeluarkan bau menyengat.
B.    Mite, Adat Kebudayaan dan Ritual
Mite menurut KBBI artinya cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi. Dianggap suci, ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa-dewa. Berikut Mite yangdipercayai terdapat di suku Trunyan.
1.     Mite Tentang Dewi yang Turun Dari Langit[2]
Dahulu ada seorang dewi yang terpesona dengan bau harum, yang datang dari suatu tempat di bumi yang telah turun dari langit untuk mencari sumber bau harum itu. Setelah mencari-cari beberapa waktu lamanya akhirnya berhasil menemukan. Sumber harum itu ternyata berasal dari pohon Taru Menyan, sejak itu tempat itu dinamakan Trunyan. Akhirnya sang Dewi memutuskan untuk tinggal disana. Pada suatu hari, karena marah akibat diamat-amati oleh matahari. Kemudian ia menghina sang Surya dengan cara melihatkan alat kelamin dan menunggingkan ke arahnya. Sebagai akibat perbuatannya, sang Dewi mengandung secara gaib serta melahirkan sepasang anak kembar berlainan jenis kelamin. Anak yang lahir terdahulu adalah sebuah banci, dan yang kedua seorang perempuan. Setelah anak-anaknya tumbuh dewasa sang Dewi kembali ke kayangan, dan kedua kakak-beradik itu hidup sendiri di Trunyan.
2.     Adat Kebudayaan di suku Trunyan[3]
Berikut data yang dapat kami paparkan tentang beberapa adat kebudayaan yang terdapat di suku Trunyan. Sebagai berikut:
a.      Bentuk Pemakaman
Posisi peletakan jenazah berjejer bersanding dengan yang lainnya, lengkap dengan pembungkus kain sebagai pelindung tubuh waktu prosesi. Tampak hanya bagian muka yang terlihat dari celah bambu “Ancak Saji”. Ancak Saji merupakan anyaman bambu segitiga sama kaki yang berfungsi untuk melindungi jenazah dari serangan binatang buas. Peletakan jenazah di letakkan dibawah pohon yang dikenal dengan Taru Menyan, yang dipercayai mempunyai bau harum, yang dapat memnyerap bau busuk dari mayat tersebut.
C.    Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan
a.      Sistem Religi Desa Trunyan
Ø  Pada awal mulanya memuja roh-roh (Animisme)
Ø  (Animatisme) benda-benda yang berjiwa, berperasaan seperti manusia.
Ø  Dinamisme / percaya dengan kekuatan sakti
Ø  Interaksi dengan agama Hindu muncul Dewa Ratu Panering Jagad (Bataran Katon/ Dewa Tertinggi)
Ø  Dewi Ratu Ayu Pingit dalam Dasar (Dewi Danau Batus)
b.     Upacara Kematian dan Pemakaman Trunyan
Tradisi pemakaman yaitu dengan meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar 7 ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang. Tidaklah mengherankan jika di area Sema banyak berserakan tengkorak dan tulang-tulang. Meskipun jenasah orang Trunyan tidak dikubur dan dibiarkan terbuka, konon tak menyebarkan bau busuk. Masyarakat Trunyan meyakini bahwa bau busuk jenasah telah disedot oleh pohon Taru Menyan. Memang secara logika pohon ini menebarkan aroma wangi sehingga bisa menetralkan bau di sekitarnya.
Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Desa ini juga  memiliki tiga cara unik penggolongan dalam mengupacarai mayat, yang  maknanya dikatakan setara dengan upacara pengabenan. Adapun cara tersebut adalah sebagai berikut.
1.       Jika yang meninggal adalah bayi, Tempat pemakamannya disebut “Sema Muda”. Untuk jarak diperkirakan 200 meter dari pemakaman umum. Mayat bayi tidak diletakkan begitu saja, tetapi mayat akan dikubur.
2.       Untuk mereka yang meninggal karena sesuatu yang tidak wajar seperti kecelakaan, pembunuhan, dan lainnya maka mayat dikatakan memiliki suatu kesalahan. Tempat penguburannya adalah di “Sema Bantas” yang terletak diperbatasan desa Trunyan dan desa Abang yang letaknya cukup jauh dari pemakaman umum.
3.       Untuk mereka yang meninggal wajar (normal), dalam artian meninggal karena faktor usia (bebas dari kriteria yang disebutkan sebelumnya diatas) maka akan diletakkan di pemakaman umum “sema wayah”. Mayat akan ditutupi kain kasa (kain putih) kemudian diletakkan dibawah pohon taru menyan. Mayat akan diletakkan diatas tanah dengan lubang yang sangat dangkal, berkisar 10 sampai 20 cm kemudian dipagari. Tujuan diletakkan pada lubang tidak lain agar mayat tidar bergeser mengingat keadaan tanah yang datar. Diinformasikan bahwa batasan mayat yang ada di bawah pohon taru hanyalah 11.
       Untuk masalah batasan jumlah mayat tersebut, ada pakar yang berpendapat bahwa kemampuan penyerapan bau pohon taru adalah 660 kg. Dengan perhitungan 11 x 60 kg = 660. 60 kg diasumsikan dari berat  rata-rata mayat. Tapi hal itu juga tidap dapat dipastikan, mengingat hal tersebut didasarkan atas mitos.


[1] James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta: UI-Press, 1989), h. 32
[2] James Danandjaja, Op.cit, h. 40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar