Senin, 30 Mei 2016

Tradisi Lokal Indonesia "SUKU ASMAT"

A. Profile Suku Asmat 


Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di antara sekian banyak suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia. Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen / motif yang seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek moyang dari suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak berhenti sampai disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli suku asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk mengenang arwah para leluhurnya.[1]
Suku Asmat berada di antara Suku Mappi, Yohukimo dan Jayawijaya diantara berbagai macam suku lainnya yang ada di Pulau Papua. Papua sendiri adalah propinsi paling timur Indonesia yang menyimpan kekayaan alam dan budaya. Dengan luas sekitar empat ratus dua puluh ribu kilometer persegi, Papua menjadi pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Selain luas, Papua juga berlembah, sebagian rawa- rawa dan hutan lebat. Sebagaimana suku lainnya yang berada di wilayah ini, suku Asmat ada yang tinggal di daerah pesisir pantai dengan jarak tempuh dari 100 km hingga 300 km, bahkan Suku Asmat yang berada di daerah pedalaman, dikelilingi oleh hutan heterogen yang berisi tanaman rotan, kayu (gaharu) dan umbi-umbian dengan waktu tempuh selama 1 hari 2 malam untuk mencapai daerah pemukiman satu dengan yang lainnya. Sedangkan jarak antara perkampungan dengan kecamatan sekitar 70 km. Dengan kondisi geografis demikian, maka berjalan kaki merupakan satu-satunya cara untuk mencapai daerah perkampungan satu dengan lainnya.
Secara umum, kondisi fisik para anggota masyarakat Suku Asmat, berperawakan tegap, hidung mancung dengan warna kulit dan rambut hitam serta kelopak matanya bulat. Disamping itu, Suku Asmat termasuk ke dalam suku Polonesia, yang juga terdapat di New Zealand, Papua Nugini. Suku Asmat yang berjumlah kurang lebih 65.000 jiwa dan mendiami daerah rawa-rawa di bagian selatan propinsi Irian Jaya ini merupakan salah satu suku asli Papua. Mereka hidup di desa-desa yang jumlahnya berkisar antar 35 sampai 2000 jiwa.Suku Asmat adalah salah satu suku di Papua yang memiliki kebudayaan mengukir dan memahat sejak dari masa nenek moyangnya. Berawal dari cerita legenda Fumeripits, yaitu seorang yang pandai mengukir dan memahat, yang kemudian merupakan pencipta cikal bakal manusia suku Asmat. Patung kayu hasil kerajinan mereka diakui dunia internasional sebagai hasil karya seni berkelas tinggi. Darah seni ini mengalir dengan tanpa sengaja karena dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan peralatan yang berhubungan dengan kayu. 
Kehidupan modern tidak mencapai wilayah ini kecuali beberapa tahun terakhir. Sebagian besar wilayah ini masih berupa wilayah hutan lebat yang belum dirambah manusia. Meski demikian nasib para seniman sejati tak lepas dari perhatian dunia Internasional. Pada akhir tahun enam puluhan, para pemahat suku Asmat menerima bantuan dari PBB demi upaya mempertahankan kelestarian seni patung mereka. Di kota Agat anda bisa mengunjungi museum yang menampilkan koleksi patung kayu dan hasil kerajinan mereka. Konon patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral. namun kini membuat patung bagi suku asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi. sebab hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat pesta ukiran.mereka tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp. 100 ribu hingga jutaan rupiah diluar Papua.[2]

B.  Adat Istiadat Suku Asmat


Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat juga mempunyai ritual atau acara-acara khusus, yaitu:
1.      Kehamilan
Selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung atau ibu mertua.
2.      Kelahiran
Tidak lama setelah kelahiran bayi dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya di beri ASI sampai berusia 2 atau 3 tahun.
3.      Pernikahan
Pernikahan berlaku bagi suku Asmat yang telah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Jhonson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Jhonson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tingal dalam satu atap.
4.      Kematian
Bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum jasadnya dikubur. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tengah anggota keluarga yang ditinggalkan.[3]

C.  Upacara-upacara Suku Asmat

1.   Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.[4]
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yangtingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.[5]

2.   Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.[6]
3.    Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.[7]
4.   Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk. Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.[8]

D. Mitologi Suku Asmat

Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menururt keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan. Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungai ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali,  kemudian ia membangun rumah yew dan mengukir dua patug yang sangat indah serta membuat sebuah genderang em, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat.
Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang kebanyakan adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan pemburuan binatang.
Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.[9]




[1] Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Asmat  pada tanggal 11 mei 2016.
[2] Koentjaningrat, Sejarah Teori Antropologi, ( Jakarta: UI PRESS, 1980), h. 97.
[3]  Koentjaningrat, Pokok-pokok Etnografi, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 127.
[4]  Dea Sudarman, Menyingkap Budaya Suku Pedalam Irian Jaya, ( Jakarta: Delata Pamungkas, 1993), h. 35.
[5]  Dea Sudarman, Menyingkap Budaya Suku Pedalam Irian Jaya, h. 36.
[6]  Koentjaningrat, Pokok-pokok Etnografi, h. 131.
[7]  Koentjaningrat, Pokok-pokok Etnografi, h. 132.
[8]  Dea Sudarman, Menyingkap Budaya Suku Pedalam Irian Jaya, h. 39.
[9] Diakses dari http;//www.scribd.com/Suku_Asmat/5-11-2011  pada tanggal 10 mei 2016

didalam video ini ada cara pembuatan rumah Bujang suku asmat
salah satu pemakaman unik di suku asmat ialah Raja atau komandan Perang di mumikan dengan bahan-bahan tradisional tujuan memuliakan sejarah.
berbagai kesenian suku asmat ditujukan menyambut tamu , masa panen, dan penghormatan kepada roh-roh leluhur

Responding Paper Suku Nias



A.    Asal-Usul Suku Nias
Suku bangsa ini mendiami pulau Nias yang secara geografis terletak di sebelah barat Pulau Sumatera. Bersama dengan beberapa pulau kecil di sekitarnya daerah in sekarang termasuk ke dalam  wilayah kabupaten Nias, provinsi Sumatera Utara. Penduduk asli menamakan diri mereka Ono Niha,yang artinya “anak manusia”, dan menyebut pulau mereka Tano Niha, artinya “tanah manusia”[1].
Bahasa Nias termasuk dalam rumpun bahasa Austranesia, bahasa tersebar sampai ke kepulauan batu di sebelah selatan Pulau Nias. Diantaranya terdapat empat dialek Nias uatara, Nias tengah (Gomo), Nias selatan (Teluk dalam) dan dialek batu, Orang Nias hidup berkelompok dalam kampung-kampung yang biasanya mereka dirikan diatas bukit dan dipagari dengan batu atau aur berduri. Kampong tersebut mereka sebut banua, dipimpin oleh seorang siulu (bangsawan) yang mereka sebut Tuhenori atau salawa (raja) [2]
Orang Nias mengenal beberapa pelapisan sosial yang cukup tajam. Misalnya dikenal kelas-kelas sosial seperti, Siulu (bangsawan), ere (pendeta), Ono mbanua (anak negeri/orang biasa), dan golongan sawuyu (budak). Golongan siulu adalah golongan yang memerintah dalam lapisan sosial suku Nias[3].
            Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.[4]
Namun menurut Penelitian Arkeologi yang telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 Penelitian ini menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias padamasapaleolitik, bahkanadaindikasisejak30.000 tahunlampau.kata Prof. Harry Truman SimanjuntakdariPuslitbangArkeologiNasionaldan LIPI Jakarta. PadamasaituhanyabudayaHoabinh, Vietnam yang samadenganbudaya yang ada di PulauNias, sehingga  diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kin imenjad inegara yang disebutVietnam[5].
Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenekmoyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melaluijalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu Penelitian ini juga menemukan, dalam genetika orang Nias saat ini tidak adalagi jejak dar imasyarakat Niaskuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Goa Togi Ndrawa, Nias Tengah. Penelitian arkeologi terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan, manusia yang menempati goater sebut berasal dari masa 12.000 tahunlalu.Menanggapi temuan itu, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sony Wibisonom engatakan, teori tentang asa lusulma syarakat Nusantara dari Taiwan sebenarnya sudah lama disampaikan, misalnya oleh Peter Bellwood (2000).Teori Bellwood didasarkan pada kesamaan bentuk gerabah.
B.     Ajaran-Ajaran Suku Nias
1.      Keyakinan Terhadap Dewa
Suku yang pernah mencapai tingka tperkembangan megalitik yang mengagumkan ini mempunyai agama asli yang disebut Maloheadu( penyembahroh) yang didalamnya dikena lbanyakdewa, diantaranya yang paling tinggi adalah lowalangi.seperti padahasil karya buda ya mereka, merek a menyembah roh-roh dengan mendirikan patung-patung dari batu dan kayu, tugu-tugu dan arcaarwahsertaomohada yaitu rumah adat yang didirikan diatas batu-batu besar pipih dan dengan tiang-tiang kayu besar, dan penuh jugadengan ukir-ukiran.[6]
Lowalangi dipandang sebaga idewa yang terpenting karena ada banyak do’a, mantra, sumpah dan kutukan yang disandarkan kepada Lowalangi dan kekuasaannya.Lowalang imenentukan hidup dan mati manusia, memberikan berkat dan kutukan, kekayaan serta kemiskinnan.Dialah yang dipecaya selalu ada dimana-mana dan mengetahui segala sesuatu, serta menghukum yang jahat. Sedangkan Lature dano d ipercaya menyebabkan adany apenyakit, kematian, gempa bumi, angin rebut, dan lain sebagainya. Akan tetapi semua itu tidak berarti banyak dalam kehidupan religious sukunias.
2.      Keyakinan tentang jiwa
Dalam suku Nias terdapat beberapa ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk mengungkapkan pengeretian jiwa yaitu, noso dan bekhu. Noso dipandang datang dari dewa Lowalangi atau dari salah satu bentuk penampakan dewa itu.[7] Sesudah yang memiliki noso itu mati maka noso akan kembali kepada Lowalangi. Pada hakikatnya noso dianggap atau sering di uraikan sebagai nafas, hidup, dan atau asas yang dialaminya. Sedangkan bekhu tampil jika orang yang sudah mati atau mungkin bisa kita sebut arwah/roh. Bekhu pergi ke  alam orang yang sudah mati. Dalam praktiknya, bekhu sama dengan bentuk eksistensi yang baru dari orang yang mati.
3.      Keyakinan Tentang Kekuatan Ghaib
Suku Nias mengenal adanya eheha. Eheha adalah kekuatan yang berjiwa dan menjiwai, yang dapat diwariskan dari ayah kepada keturunannya atau kepada anak laki-lakinya[8]. Sebenarnya eheha ini hanya berarti bagi para pemimpin laki-laki ataupun pada orang-orang yang penting dan tidak beerlaku ataupun tidak penah terungkap adanya eheha.
4.      Mite Penjadian
Mite merupakan suatu cerita yang mempunyai latarbelakang sejarah yang dipercayai masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi dan dianggap suci serta mengandung hal-hal gaib. Bagian pertama mite ini, memiliki sumber, atau meyebutkan bahwa pada awal mula yang adalah kekacauan (khaos) dari kekacauan ini timbulah tokoh dewa yang pertama, selanjutnya mite-mite itu berbeda satu sama lain.
C.    Upacara-Upacara Suku Nias
1.      Upacara Pesta Jasa atau Pesta Kedukaan (owasa)
Tujuan pesta religius ini ialah untuk memperoleh kehormatan, nama, kedukaan, dan gelar. Jika perayaan ini diselenggarakan oleh bangsawan, pada kesempatannya mereka mengadakan korban manusia dan juga mendirikan suatu momen megalitikum.
2.      Upacara Boro Nadu
Upacara boro nadu ini adalah puncak hidup kultus suku Nias, sebab secara langsung pesta ini dihubungkan dengan penciptaan dan terjadinya suku Nias. Biasanya upacara ini diselenggarakan ditempat-tempat yang dipandang sebagai tempat nenek moyang dahulu turun dari alam atas dan sekaligus dianggap sebagai kediaman pertama nenek moyang masing-masing kelompok. Kata boro sendiri berarti suku, dasar, atau sebab. Jadi, kata  boro nadu berarti permulaan perbbuatan suci, atau asal dan sumber tertua penyucian..
Jalannya upacara boro nadu adalah sebagai berikut berbondong bondong orang mengunjungi upacara dengan pakaian yang indah akan tetapi, pada saat ini tidak di bagikan makanan. Segala permusuhan pada saatini harus dihentikan. Sebelum upacra di mulai, orang membuat patung manusia dan harimau yang pada hari upacara itu di arak ke tempat upacara dengan nyanyian dan tarian.
D.    Interaksi Kepercayaan Orang Nias Dengan Agama-Agama Lain
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi.[9] Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.



[1] Dr. Zulyani Hidaya, Ensiklopedia suku bangsa di Indonesia, h. 287
[2]Ibid, h. 288
[3]Ibid, h. 291
[4] Harun Hadiwijono. Religi Suku Murb Di Indonesia, PT Bpk Gunung Mulia: jakarta, 2007, h. 87

[6]Ibid, h. 88
[7]Ibid, h. 89
[8]Imran manan, 1989, Antropologi Pendidikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, h.3
[9] Ibid, h. 91