A. Profile Suku Asmat
Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di antara sekian banyak suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia. Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen / motif yang seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek moyang dari suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak berhenti sampai disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli suku asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk mengenang arwah para leluhurnya.[1]
Suku Asmat berada di antara Suku
Mappi, Yohukimo dan Jayawijaya diantara berbagai macam suku lainnya yang ada di
Pulau Papua. Papua sendiri adalah propinsi paling timur Indonesia yang
menyimpan kekayaan alam dan budaya. Dengan luas sekitar empat ratus dua puluh
ribu kilometer persegi, Papua menjadi pulau terbesar kedua di dunia setelah
Greenland. Selain luas, Papua juga berlembah, sebagian rawa- rawa dan hutan
lebat. Sebagaimana suku lainnya yang berada di wilayah ini, suku Asmat ada yang
tinggal di daerah pesisir pantai dengan jarak tempuh dari 100 km hingga 300 km,
bahkan Suku Asmat yang berada di daerah pedalaman, dikelilingi oleh hutan
heterogen yang berisi tanaman rotan, kayu (gaharu) dan umbi-umbian dengan waktu
tempuh selama 1 hari 2 malam untuk mencapai daerah pemukiman satu dengan yang
lainnya. Sedangkan jarak antara perkampungan dengan kecamatan sekitar 70 km.
Dengan kondisi geografis demikian, maka berjalan kaki merupakan satu-satunya
cara untuk mencapai daerah perkampungan satu dengan lainnya.
Secara umum, kondisi fisik para
anggota masyarakat Suku Asmat, berperawakan tegap, hidung mancung dengan warna
kulit dan rambut hitam serta kelopak matanya bulat. Disamping itu, Suku Asmat
termasuk ke dalam suku Polonesia, yang juga terdapat di New Zealand, Papua
Nugini. Suku Asmat yang berjumlah kurang lebih 65.000 jiwa dan mendiami daerah
rawa-rawa di bagian selatan propinsi Irian Jaya ini merupakan salah satu suku
asli Papua. Mereka hidup di desa-desa yang jumlahnya berkisar antar 35 sampai
2000 jiwa.Suku Asmat adalah salah satu suku di Papua yang memiliki kebudayaan mengukir
dan memahat sejak dari masa nenek moyangnya. Berawal dari cerita legenda
Fumeripits, yaitu seorang yang pandai mengukir dan memahat, yang kemudian
merupakan pencipta cikal bakal manusia suku Asmat. Patung kayu hasil kerajinan
mereka diakui dunia internasional sebagai hasil karya seni berkelas tinggi.
Darah seni ini mengalir dengan tanpa sengaja karena dalam kehidupan sehari-hari
mereka menggunakan peralatan yang berhubungan dengan kayu.
Kehidupan modern tidak mencapai
wilayah ini kecuali beberapa tahun terakhir. Sebagian besar wilayah ini masih
berupa wilayah hutan lebat yang belum dirambah manusia. Meski demikian nasib
para seniman sejati tak lepas dari perhatian dunia Internasional. Pada akhir
tahun enam puluhan, para pemahat suku Asmat menerima bantuan dari PBB demi
upaya mempertahankan kelestarian seni patung mereka. Di kota Agat anda bisa
mengunjungi museum yang menampilkan koleksi patung kayu dan hasil kerajinan
mereka. Konon patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral. namun kini
membuat patung bagi suku asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi. sebab
hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat pesta
ukiran.mereka tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp. 100 ribu
hingga jutaan rupiah diluar Papua.[2]
B. Adat Istiadat Suku Asmat
Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat juga mempunyai ritual atau acara-acara khusus, yaitu:
1.
Kehamilan
Selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan
baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung atau ibu
mertua.
2.
Kelahiran
Tidak lama setelah kelahiran bayi dilaksanakan upacara selamatan
secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu,
alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya di beri ASI sampai
berusia 2 atau 3 tahun.
3.
Pernikahan
Pernikahan berlaku bagi suku Asmat yang telah berusia 17 tahun dan
dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai
kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya
piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Jhonson,
bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Jhonson, maka pihak
pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan
tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tingal dalam satu atap.
4.
Kematian
Bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya
disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat
umum jasadnya dikubur. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa
Asmat dan pemotongan ruas jari tengah anggota keluarga yang ditinggalkan.[3]
C. Upacara-upacara Suku Asmat
1. Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur
mayat orang yang telah meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah.
Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut
mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang
kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena
mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya
kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat
Asmat.[4]
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang
datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan
oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan.
Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah
meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan
dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir
figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi
kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan
sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka, sementara
bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa
tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka
keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka
percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau
memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani
mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari
yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan,
dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit
meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan
segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya
di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup
semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi
masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian.
Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari sampai
berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya.
Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan
menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik
bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa
diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung
dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan
di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai
bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh
orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung,
terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu
yangtingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu
lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian
dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan
terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari
luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang
meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian,
sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga
tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di
pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur,
keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.[5]
2. Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat
membuat perahu-perahu baru.Dalam proses pembuatan prahu hingga selesai, ada
berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas
kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut
ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali penarik
dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat
mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di
sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak
sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak
dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik
perahu meminta bantuan kepada kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di
belakang dan selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara
khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat.
Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di
bagian dalam dan di bagian luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga
diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal atau berbentuk
burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu.
Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik
perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang
paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan
nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing
untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri
dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak
dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun,
ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan
dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah
selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas
-manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan
perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.[6]
3. Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu
kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab berhubungan dengan
pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga.
Dulu, upacara bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah
mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota
keluarga dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau
saudara yang telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran
patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung
berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam
masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang
disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan
persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan.
Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan antara wanita dan
pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud
untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk
memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini,
karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru
dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan
bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh
keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan
terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari
anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain
bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan
diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu
panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang
ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan
mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau
Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak
diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan
ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.[7]
4. Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang
(yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe
rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang
amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama
marga (keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan
baik yang bersifat religius maupun yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga
dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan yang akan
direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang
masuk. Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru,
yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti
oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan
tifa.[8]
D. Mitologi Suku Asmat
Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin
bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di
seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menururt
keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu
tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia
tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak
petualangan. Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo
misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungai ke
arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang
ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat
membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang
mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor
burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali, kemudian ia membangun rumah yew dan mengukir
dua patug yang sangat indah serta membuat sebuah genderang em, yang sangat kuat
bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan
kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung
yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan
menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu
nenek-moyang orang Asmat.
Orang Asmat juga percaya akan adanya
kekuatan-kekuatan magis yang kebanyakan adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal
-hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti
dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan
pemburuan binatang.
Kekuatan magis ini juga dapat digunakan
untuk menemukan barang yang hilang, barang curian atau pun menunjukkan si
pencuri barang tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk
menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.[9]
[2]
Koentjaningrat, Sejarah Teori Antropologi, ( Jakarta: UI PRESS, 1980),
h. 97.
[3] Koentjaningrat, Pokok-pokok Etnografi,
( Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 127.
[4] Dea Sudarman, Menyingkap Budaya Suku
Pedalam Irian Jaya, ( Jakarta: Delata Pamungkas, 1993), h. 35.
[5] Dea Sudarman, Menyingkap Budaya Suku
Pedalam Irian Jaya, h. 36.
[6] Koentjaningrat, Pokok-pokok Etnografi,
h. 131.
[7] Koentjaningrat, Pokok-pokok Etnografi,
h. 132.
[8] Dea Sudarman, Menyingkap Budaya Suku
Pedalam Irian Jaya, h. 39.
didalam video ini ada cara pembuatan rumah Bujang suku asmat