Kamis, 02 Juni 2016
LAPORAN OBSERVASI KUTAI
sUku kutai
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Observasi
Matakuliah Agama-Agama Lokal
Dosen Pengampu : Dra. Siti Nadroh, M.A.
Matakuliah Agama-Agama Lokal
Dosen Pengampu : Dra. Siti Nadroh, M.A.
Oleh :
Mustika Diani Dewi 11140321000046
Maulaya Arinil Haq 11140321000085
M. RianSujudTaufik 11140321000077
Mustika Diani Dewi 11140321000046
Maulaya Arinil Haq 11140321000085
M. RianSujudTaufik 11140321000077
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
1.1 Upacara Adat Suku Kutai
1.2 Upacara Erau
BAB
I
PEMBAHASAN
1.1.1 Pernikahan
Upacara pernikahan adat kutai ada
beberapa tahap:
a. Acara Bedatang
Pada acara ini pihak laki-laki melakukan
kunjungan atau silaturahmi kepihak perempuan dengan membawa uang seserahan
(Sumahan) sekaligus membicarakan waktu dan tempat yang tepat untuk melaksanakan
pernikahan agar mendapat keberkahan. Kedua keluarga ini saling berunding dan
bertukar pikiran untuk menemukan keputusan yang tepat bagi pernikahan putra dan
putri mereka. Biasanya calon pengantin laki-laki tidak dilibatkan dalam acara
ini. Acara seperti ini masih dilakukan oleh masyarakat suku kutai di Desa Teratak
dan belum ada perubahannya. Masih sama seperti yang dulu.
b.
Besorong Tanda
Pada acara ini keluarga pihak lelaki berkunjung lagi kepada keluarga pihak
perempuan dengan membawa cincin yang ditujukan untuk calon pengantin perempuan
dengan tujuan mengikatnya agar sang perempuan tidak lagi bisa dilamar oleh
lelaki lain karna sudah diikat dengan cincin tersebut walaupun belum
melaksanakan akad. Mungkin bahasa gaulnya sekarang adalah tunangan, namun tidak
bertukar cincin, Hanya menyerahkan bukti pengikat saja berupa cincin. Acara
besorong tanda ini juga masih dilaksakan masrarakat di Desa Teratak dan belum
ada perubahan-perubahan yang dilakukan.
c. Beluluran,
Betimung dan Bepacara
Acara
yang ini biasanya dilakukan oleh pengantin perempuan kecuali berpacaran.
Bepacar adalah terdiri dari daun pacar yang ditumbuk halus dan diberi bentuk
bundar seperti bentuk kelereng dan diletakkan di ujung jari atau kuku telunjuk
dan ujung jari atau kuku jari manis pada masing-masing mempelai. Pacar mempelai
wanita maupun laki-laki ditempatkan pada wadah tradisional kemudian
dipertukarkan dan diarak pada mempelai masing-masing yang berada di rumah
masing-masing dengan dalam keadaan mempelai wanita maupun laki-laki duduk di
atas tilam kasturi. Makna upacara berpacar ini ialah sebagai kelengkapan
penghias pada acara naik pengantin dan sebagai tanda bahwa mempelai wanita
maupun laki-laki ini pengantin baru. Biasanya acara ini dilakukan
berturut-turut 3 sampai malam atau 1 malam saja.Beluluran yang dipakai adalah
bedak dingin (Pupur basah) yang dicampur dengan temu giring (tumbuhan sejenis
kunyit yang berwarna kuning) dengan tujuan agar kulit pengantin perempuan akan
bercahaya kuning sekuning langsat.Acara betimung ini merupakan acara
pembungkusan diri yang dilakukan dengan cara duduk diatas tungku yang
dibawahnya berisi rebusan rerempahan berupa laos, serai wangi dan sebagainya
dengan menggunakan sarung lalu tubuh kita akan ditutup dengan kain lagi atau
apa saja yang bisa dijadikan penutup hingga kepala agar uap yang dikeluarkan
dari bawah tidak akan lari kemana-mana.
d. Mendi-mendi
upacara
mendi-mendi ini ialah dimana mempelai disiram atau dimandikan dengan air
bunga-bunga yang sudah disiapkan. Bagi mempelai wanita yang menyiram oleh para
wanita dari sesepuh keluarganya dan begitu pula mempelai laki-laki
e. Bealis
menurut
keyakinan masyarakat suku kutai bahwa setiap wanita yang akan menikah harus
dicukur alisnya agar wajahnya berubah atau menimbulkan cahaya yang cantik
sehingga orang akan melihat perubahan itu pada wajahnya. makna upacara ini
ialah untuk mendapat berkah dari orang tua dan kedua memperindah dan
mempercantik diri untuk jenjang pernikahan ini.
f. Naik
pengantin atau Betatai
Upacara
naik pengantin merupakan upacara puncak dalam adat Kutai yang terdiri dari:
1.
Mengarak pengantin pria yang diiringi
oleh para keluarga dan membawa sumahan yang diiringi lantunan rabbana menuju ke
tempat pengantin wanita.
2. Sampai
ditempat kediaman pengantin wanita meengucapkan shalawat nabi dan di hamburkan
beras kuning sebagai rasa syukur menerim pengantin pria.
g. Naik
mentuha
Makna
upacara naik mentuha ialah rasa patuh dan sayang pada orang tua serta mohon doa
restu dan sebagai tanda kedua mempelai sudah siap pada kehidupan selanjutnya.[1]
Kesultanan Kutai
pernah mengembangkan tradisi penobatan Raja yang disebut Erau. Namun upacara
ini berasal dari kata eroh yang berarti "ramai". hal ini berkaitan
dengan suasana keriuhan pada waktu oenobatan raja berlangsung. walaupun sultan
itu sudah tidak ada lagi tetapi tradisi Erau ini masih di laksanakan.
Festival
kebudayaanrakyatKutai, sekaligusperayaanharijadiTenggarong. Erau dilakukan
setahun sekali yang biasanya pada bulan Juni dengan kurun waktu acara 7 hari.
Ada beberapa tahap acara erau, yaitu :
1.
H-1 acara pada malam hari ditembakkan meriam sebanyak satu kali, dan
ketika hari pertama acara malamnya ditembakkan sebanyak dua kali, haru kedua
acara malamnya ditembakkan sebanyak 3 kali begitu seterusnya hingga 7 kali
meriam yang menandakan malam terakhir upacara Erau ini.
2.
Beluluh Sultan. Acara di dilakukan di Teras Keraton, beluluh dilakukan
agar Sultan Kutai bersih dari unsur-unsur jahat. Ritual ini dilakukan besmaa
dewa-dewa dan beliannya. Dewa-dewa ini biasanya wanita memakai baju berwarna
kuning dan beliannya laki-laki dengan hiasan bentuk segitiga di kepala, hiasan
rambut panjang dan juga telanjang dada. Proses acara ini para belian yang
membaca mantra atau dalam bahasa kutai Bememang. Bememang berisi doa-doa
para belian untuk memohon keselamatan bagi Sultan Kutai.Setalah ini barulah
para abdi menggelar tikar dan beras tambak karang yang berwarna-warni, biasanya
masyarakat kutai berdatangan ke Teras Keraton karena mereka percaya bahwa beras
tambak yang telah digunakan Sultan lalu disimpan bisa mendapatkan berkah dan
keberuntungan.
3.
Menjamu Benua. Di acara ini lah para Kerajaan memberi makan kepada
makhluk gaib yang ada diseluruh Kutai Kartanegara, sekaligus memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar sultan serta kerabatnya diberi keselamatan, dan juga
berdoa untuk seluruh masyarakat Kutai. Ritual ini juga sebagai memohon
izin kepada para makhluk gaib bahwa masrakat Kutai ingin melaukan Upacara Erau.
4.
Acara selanjutnya acara dimana masyarakat Kutai disuguhi tarian-tarian
yang sangat meriah dan diakhiri penyalaan obor sebagai simbol upacara Erau
telah dibuka. Dihari-hari berikutnya yang disuguhi festisal dan expo yang
meriah.
5.
Behimburan. Behimburan merupakan acara terakhir yang sangat
ditunggu-tunggu masyarakat Kutai, dimana ketika suling di tiupkan yang biasanya
pada pukul 09.00 maka saat itulah behimburan dimulai. Behimburan yakni acara
diamana masyarakat Kutai keluar rumah dan menghimbur atau menyiram satu sama
lain dengan air bersih atau air dari sungai mahakam yang bermakna sebagai
pembersih diri masyarakat Kutai.
1.3 Sejarah Asal Usul Suku Kutai dan Bahasa Kutai
Pada awalnya Kutaibukanlah nama suku, akan tetapi nama Kerajaan/kota/wilayah tempat penemuan prasasti bukan nama suku (etnis) dan hubungan kekerabatan Suku Kutai dan Suku Dayak sangat kuat. Hanya saja pengaruh agama Islam pada abad ke-17 dan akulturasi pendatang yang menyebarkan agama Islam ( Sumatra, Cina, Banjar, Jawa ) serta perang antar kerajaan ( Dinasti Kartanegara dari Majapahit yang memenangkan peperangan melawan kerajaan Kutai Martadipura ) pada saat itu mengakibatkan budaya Suku Kutai menjadi agak berbeda dengan Suku Dayak saat ini. Oleh karena itulah Suku Kutai asli akan menyebut Suku Dayak dengan istilah Densanak Tuha yang artinya Saudara Tua karena masih satu leluhur.
Suku Kutai atau Urang Kutai adalah suku asli yang mendiamiwilayah Kalimantan Timur yang mayoritas saat ini beragama Islam dan hidup di tepi sungai Mahakam. Orang Kutai juga disebut Halok atau Halo’ karena orang kutai dahulu termasuk masyarakat Dayak namun karna adanya Islam masuk maka masyarakat yang memeluk agama Islam disebut Behalok (orang yang meningalkan adat). Jadi Halokpanggilan yang membedakan masyarakat Dayak pemeluk Islam dengan masyarakat Dayak yang tidak memeluk Islam. Lambat laun masyarakat Halok mengganti namanya menjadi Kutai.]
Suku Kutai memiliki bahasa yang bermacam-macam dan ada sub-sub suku yang sudah tidak digunakan seperti Umaa Wak, Umaa Palaa, Umaa Luhaat, Umaa Palog, Baang Kelo dan Umaa Sam. Pada masa dahulu bahasa-bahasa itu lazim dituturkan oleh urang Kutai hulu dan hilir mahakam. sementara bahasa yang sampai sekarang masih digunakan yaitu bahasa kutai Tenggarong, Kutai Kota Bangun, Kutai muara kaman dan Kutai Sengatta atau Sangatta.
1.4 Letak Geografis Suku Kutai
Masyarakat Kutai bertempat tinggal di Kabupaten Kutai kartenegara yang merupakan sebuah kabupaten di Kalimantan Timur, Indonesia. Ibu Kota berada di kecamatan Tenggarong. Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah 27.263,10 KM2 dan luas perairan sekitar 4.097 KM2 yang dibagi dalam 18 wilayah kecamatan dan 225 desa atau kelurahan dengan jumlah penduduk 626.286 jiwa pada sensus 2010. Secara geografis Kabupaten Kutai Kartanegara terlatak antara 115o 26’28” BT-117O 36’43” BT dan 1o 28’21” LU-1o 08’06” LS.[2]
1.5 Mitos-mitos Kepercayaan Suku Kutai
Sebagaimana suku lain suku Kutai juga mempunyai mitos-mitos kepercayaan yang unik, yaitu :Hiduplah seorang petinggi Jaitan layar dengan istrinya tinggal disebuah gunung, ditempat dimana mereka membuka sebuah kebun untuk keperluan hidup sehari-hari. Puluhan tahun mereka hidup sebagai suami-istri, namun dewa d kayangan belum juga menganugrahkan seorang anak pun sebagai penyambung dari keturunan mereka untuk memerintahkan negri Jaitan layar ini, sering petinggi Jaitan Layar bertapa bersama istrinya, menjauhi rakyat dan kerabatannya, memohon kepada dewata. Pada suatu malam, ketika mereka sedang tidur dengan nyinyaknya terdengar suara diluar yang begitu gegap gempita hingga menyentakan dari tidur peraduan, mereka pun bangkit dan membuka pintu untuk melihat apa gerangan yang terjadi diluar rumah. Nampaklah sebuah batu besar yang melayang dari udara menghempas ke tanah di depan mereka, suasana mlam yang tadinya gelap gulita kini menjadi terang benderang seakan-akan bulan purnama sedang memancar. Terkejut melihat batu dan alam yang terang benderang itu, petinggi beserta istrinya segera kembali masuk ke dalam rumah serta menguncinya dari dalam, mereka mendengar suara yang menyerunya “sambut mati babu. Tiada sambut mati mama” sampai tiga kali suara ini didengar oleh Petinggi Jaitan Layar, dan akhirnya dengan rasa cemas dijawabnya juga”Ulur mati lumus, tiada diulur mati Lumus” jawab si petinngi dan terdengarlah gelak tawa dari luar rumah dan berkata “ barulah ada jawaban dari tutur kita” mereka yang diluar rumah itu agaknya sangat gembira sekali, karena tutur katanya mendapat jawaban. Petinggi Jaitan layar tidak merasa takut lagi kemudian keluar bersama istrinya mendatangi batu itu yang ternyata adalah sebuah raga emas, raga meas itu lalu dibuka dan betapa terkejutnya petinggi beserta isinya tatkala melihat didalamnya terdapat seorang bayi yang diselimuti lampin berwarna kuning, tangan sebelahnya memegang sebuah telur ayam dan sebeahnya memegang kris dari emas. Pada saat itu, menjelmalah 7 dewa yang telah menjatuhkan raga emas itu, mereka mendekati Petinggi Jaitan Layar dengan muka yang gembira, memberi salam dan salah seorang dewa itu menyapa petinggi “berterimakasihlah kepada dewata karna doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak, meskipun tidak melalui rahim istrimu. Bayi ini adalah turunan dewa-dewa, karna itu jangan dipelihara seperti anak biasa” . dewa ini juga berpesan agar bayi keturunan dewa ini jangan diletakkan disembarang tikar, tetapi selama 40 hari 40 malam bayi ini harus dipangku berganti-ganti oleh para kerabat petinggi. Dan bilamana engkau memnadikan anak ini, maka janganlah dengan air biasa, asalkan tetap diberi air yang sudah diberi bunga wangi. Anak inilah yang diberi nama Putri Karang Melenu yang konon wanita yang sangat cantik pada zamannya. Dan si Putri Karang Melenu ini adalah Istri dari Aji batara Agung Dewa Sakti yang merupakan raja pertama di Kerajaan Kutai Kartanegara. Kepuhunan ialah dimana seseorang yang menginginkan sesuatu atau belum melaksanakan sesuatu akan tertimpa celaka. Maka jika kita ingin sesuatu tetapi belum bisa mendapatkannya maka masyarakat kutai percaya agar tidak terjadi kepuhunan atau tertimpa celaka itu dengan cara menjilat jari telunjuk tangan kanan lalu jari tersebut menempelkan jarinya di leher.
Langganan:
Postingan (Atom)